29 May 2013

MENARI DIATAS MENARA (7)



DOSA itu telah tiada…..

Dewata Naraa berhadapan dengan para dewa dalam jamuan makan malam bersama dilangit sana, dalam purnama yang kesekian kalinya, mereka menikmati gerak Rhea yang menari diatas menara…. Semua hanya bisa terdiam, bisu dalam bangunan imajinya sendiri-sendiri. Dalam INGIN mereka adalah mereka untuk menikmati aroma wanginya, ada pula yang rindu sorot matanya, ada yang mendamba renyah derai tawanya hingga ada pula yang ber ingin untuk  bisa menyentuhnya… walau semua hanya bisa dilakukan dalam angan semata… tanpa ada yang berani melangkah…

Adalah Tora, yang telah berhasil menyentuhnya, merasakan hangat tubuhnya, menikmati gelora ciumannya yang hanya diperuntukkan untuknya… Disadari dirinya telah jatuh cinta pada perempuan bumi yang selalu menyajikan buru desahan napas saat berpelukan dalam lumat ciuman yang dahsyat… yang bagi Rhea adalah hanya untuk dewa langitnya….

Semua dalam angan dan imajinya masing-masing atas Rhea, perempuan bumi yang saat ini menjadi perhatian penghuni langit. Semua hanya bisa sampai disana… sampai pada tataran medan INGIN yang tak akan pernah ada wujudnya…. Adalah Rhea yang fana meliuk sendiri… dalam NISTA nya.

“Hendaknya disadari oleh kita semua,para saudara penghuni langit semesta… bahwa kemurnian harus tetap terjaga… diri kita ini adalah kenisah yang Maha Kuasa.Diri kita ini adalah perwujudan dari DIA sang pencipta. Oleh karenanya para saudara, segera tinggalkan niatan raga yang pasti akan menghempaskan kita semua pada kehidupan yang fana…” Dewata Naraa berkata-kata perlahan, dengan suara yang sedikit cekat tersendat. Bayangan Rhea masih saja menari dalam benaknya. Namun bibirnya harus mampu berkata-kata dalam ajakan pengingkaran bersama atas naluri dan keinginan birahi yang hanya milik manusia fana….

Tora dalam hatinya bersyukur dan bahagia… bahwa dirinya telah mampu untuk menghindari kutuk yang akan terjadi padanya apabila kereta kencana saat itu ditumpanginya dengan Rhea tidak segera dihentikannya. Gejolak hatinya bahagia, karena mampu mengingkari segala gelegak dalam diri yang bisa saja terlepas, apabila dirinya tak mampu kendali….

“Tora, bisakah kau hidup tanpa perempuan yang sedang menari di menara itu?” tanya Dewata Naraa
Tora masih terdiam, dalam balutan jubah putih bersih murni dan suci. Sudah bulat tekatnya untuk kembali pada kemurnian diri. Oleh karenanya disyukurinya… bahwa dalam kurun perjalanan hidupnya… pernah merasakan gelora birahi dahsyat, namun mampu untuk segera dihentikannya. Wajahnya dingin… menatap kedepan, sambil kemudian ia mencerna lagi kata-kata dewata Naraa…
“Tidak ada pemakluman untuk itu Tora, yang ada adalah HITAM atau PUTIH… kau ada disini… yang adalah PUTIH lah dirimu… “
Tora masih terdiam… dalam desah napas pengingkaran yang tinggi, Tora kemudian berkata “aku akan tetap disini… “ walau dalam hatinya ingin ia lanjutkan lagi kalimatnya… “aku rindu desah napasnya …”

“Semua sudah jelas… kita tidak akan melumuri diri kita dengan DOSA … menikmati birahi adalah SALAH dan berat hukumnya… ini telah menjadi sebuah suratan langit… tiada yang dapat merubahnya, walau satu katapun….Sekarang kembalilah kalian pada tugas masing-masing seperti sedia kala… anggpalah ini sebagai sebuah pengalaman hidup… bahwa langit pernah diguncang oleh seorang perempuan bumi fana yang hanya akan mendatangkan DOSA….” Dewata Naraa mengeluarkan suaranya sambil menatap satu-persatu para dewa yang semua tertunduk …. Masih dalam angan dan pikirannya sendiri-sendiri MENIKMATI PELUKAN Rhea sang perempuan bumi…

“Aku merindukan kenyal payudaranya …. Namun jadilah kau bahagia dalam bahagiamu perempuanku… bersyukur atas semua yang pernah kualami bersamamu…. aku selalu mencintaimu, aku selalu ada dalam dirimu dan kau selalu ada dalam diriku. Kita akan selalu satu dalam kehidupan… dalam tarian bersama… tanpa ada gejolak birahi yang akan muncul disana… kemurnianku adalah utama…. Alam semesta lebih mulia darimu… selamat tinggal kekasihku…” Dalam hati Tora berkata-kata. Dalam pengingkaran yang tinggi, Tora membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju biliknya…

Rhea mendengar suara desah itu melalui desau angin yang menggesek bunga-bunga ilalang… hatinya pedih… luka lama menganga kembali… Rhea menghempaskan diri… dari atas menara sana… kini dalam nyata… darah berceceran dimana-mana… sungging senyum selamat tinggal… pada raga yang membuatnya tersiksa….

Semua diam… semesta bisu… saat raga Rhea terbujur kaku tak bernyawa… dibawah menara, tempatnya menari kala purnama. Para dewa diatas sana hanya bisa diam… bersyukur atas kematiannya… sehingga mereka terhindar dari DOSA…. Hingga kemurnian diri tetap terjaga….

(BERSAMBUNG)

MENARI DIATAS MENARA (6)



TITIK KESEIMBANGAN… Pergilah kasih, datanglah saat kau membutuhkanku….

Rhea terpekur sendirian, pandangannya jauh kedepan menembusi hambaran padang berbunga ilalang didepan sana… diatas bangku berayun yang tersangkut pada pohon pinus bertumpu tali tambang yang kuat… Rhea terayun dalam buaian angin malam yang semilir menyentuhi kulitnya… INGIN, PIKIR dan HARAP nya hanya tertuju pada satu saja… Tora sang Dewa Langit kekasihnya….

“Gejolak itupun selalu datang padaku setiap saat, Rhea… tapi aku tidak dapat melakukannya… “ terngiang kembali kalimat Tora pada suatu hari memutus angan saat semua telah menjadi tinggi. Rhea terasa terhempas dari bubung ketinggian dan lesak jatuh ketanah… menerbangkan debu-debu yang menebal ditanah yang selalu kering itu…. Tidak pernah tersirami … tidak pula embun… walau hanya setetes…Rekah tanah kering, membentuk garis-garis bongkahan retak menangkap tubuh Rhea yang hempas tanpa alas… tubuhnya ngilu luar biasa… nyeri dirasa pada chakra Manipura yang berasal dari matinya chakra Svadistana… Rhea tak sanggup berkata-kata banyak…. Dia hanya bisa mengernyitkan dahinya… bingung harus berbuat apa, pula canggung harus bicara apa… semua kain telah tanggal dari tubuhnya… sementara kereta kencana yang telah berpacu membubung dalam kecepatan tinggi harus berhenti dengan tiba-tiba…
“Tidak masalah… tidak apa-apa… aku akan selesaikan sendiri masalahku…” jawab Rhea, sambil menarik lagi kainnya dan melekatkan kembali pada tubuhnya… nyeri hempasan dan sesak dari debu masih terasa sesak… walau Rhea masih berusaha sungging senyum disela-sela bibirnya… Kembali lagi teringat pembicaraan malam itu… “Bukan karena aku hanya memikirkan diriku sendiri, Rhea… tapi aku harus menjaga kemurnianku… “
“Jangan kau lanjutkan kata-katamu… aku telah paham dengan semuanya itu… sudah kukatakan tadi… sebagai sebuah janjiku padamu sampai kapanpun… aku akan selesaikan sendiri permasalahan kemanusiaanku…” Rhea hanya bisa memejamkan mata… hilang segala keinginan untuk menawar atas kalimat laki-laki yang sungguh dicintainya…. Ia hanya bisa menahan rasa panas dimatanya, yang bisa berubah menjadi butiran air mata deras mengalir bila tak dengan kekuatan dahsyat untuk menahannya… agar tak merasa semakin tercampakkan untuk kesekian kalinya lah Rhea… pada mereka yang sungguh dicintainya….

Rhea menyerahkan seluruh diri dan hidupnya, saat Korento menyematkan cincin ikatan dijarinya. Sungguh hanya laki-laki itu yang dicintanya… menjadi janjinya hingga akhir masa untuk mendampingi laki-laki kecintaannya … namun menjadi porak-poranda saat Korento mencampakkannya kedalam sebuah trauma besar yang kemudian membentuk dirinya menjadi manusia yang kosong dan hampa kehilangan cinta. Hempasan demi hempasan dialaminya… atas nama melayani laki-laki yang menjadi kepala dalam rumah tangganya. Segala bentuk keindahan cinta yang tertuang dalam senggama indah tinggal puing serpih yang terserak-serak kemana-mana. Membawanya untuk mencari sebuah selasar demi menyelesaikan sendiri permasalahan kemanusiaannya. Kemurnian diri yang sedianya dipersembahkan pada suami tercinta, tinggal kepingan harap tanpa asa… menjadi hari hidup sebagai raga tak berdaya bahkan tak bernyawa…

Kini kembali lagi Rhea merasa tercampakkan… oleh laki-laki yang dengan segala keutuhan… kepenuhan hati dan gelegak rasa dicintainya… atas nama satu kata… KEMURNIAN…. Aaaah bagai tersembar petir gemuruh luar biasa….Rhea menjadi merasa seperti kain lusuh yang tersangkut dipagar peternakan diujung sana… terterpa angin tanpa bisa terbang… hingga kemudian menjadi rapuh dan rombeng berkibaran. Rhea merasa begitu KOTOR, NISTA dan tak berDAYA… yang berujung pada rasa tak berHARGA… teriakanya pada DIA sang pencipta yang entah ada dimana….  tubuh ini KAU juga penciptanya… RASA ini KAU juga pemberinya…. BIRAHI ini juga KAU yang memberikannya… yang kataMU adalah sebagai sebuah roda penggerak agar denyut hidup tetap berjalan…. Namun kini yang harus dijalaninya bagai pemisah tegas antara HITAM dan PUTIH… GELAP dan TERANG…. DINGIN dan PANAS… BENAR dan SALAH… tanpa mau mencoba bergeser untuk mengganti sudut pandang untuk bisa lebih dimengerti… bahwa ada ABU-ABU diantara HITAM dan PUTIH… seakan semua telah terketok palu memastikan satu… pilih HITAM atau pilih PUTIH… HITAM adalah NISTA dan PUTIH adalah MURNI….. Rhea terpekur meratapi dirinya sendiri…. Terpicu untuk semakin menyelam dalam lumpur yang akan menjadikannya semakin HITAM tentunya….

Rhea menghela napas panjang… dalam INGIN, PIKIR dan HARAPnya akan DAYA yang ternyata berMAKNA NISTA…. Bila NISTA lah adanya mengapa PENCIPTA menciptakannya… menciptakan sebuah lingkar kehidupan dalam bentuk KESADARAN, TUBUH dan JIWA…KESADARANnya telah penuh dengan niatan tulus kasih yang tiada batasnya pada kekasih karena kehadirannya… JIWAnya terpenuhi oleh DAYA energi semesta yang dahsyat luar biasa saat berada disamping kekasih kecintaannya… Namun….TUBUHnya … “biarlah aku sendiri yang menyelesaikan… Pergilah kasih… biar kuselesaikan sendiri… datanglah padaku saat kau membutuhkan ku untuk semakin memurnikanmu… aku hanya mahluk bumi… NISTA atau SUCI kini adalah milikku sendiri…” desisnya melemah…. Rhea tenggelam dalam dekapnya sendiri… bergumul dengan dirinya sendiri yang kemudian memunculkan sebuah KESADARAN….bahwa hidupnya adalah NISTA …. Hidupnya adalah HAMPA….

(BERSAMBUNG)

25 May 2013

MENARI DIATAS MENARA (5)




SKETSA PURNAMA :  BERSAMAMU BUKANLAH KEBETULAN, BERSAMAMU ADALAH SURATAN

Malam ini Purnama… Rhea diatas menara. Berdiam dalam hening… matanya terkatup rapat, lengket terpejam…
Seluruh tubuhnya lepas… tanggalkan seluruh tulang-belulang yang menyangga tubuhnya. Lepas segala ketegangan dari sekujur tubuhnya. Rhea seakan mematikan seluruh aliran medan magnet yang menjalar pada tubuhnya. Tubuhnya bebas, siap mengembara dalam gerakan tarinya…. Napasnya teratur, terlihat dari turun naik dadanya dalam irama yang tetap… Rambutnya tersapu angin terkibas… tak dihiraukannya. Rhea bersimpuh lepas… tanpa penyangga dalam hening yang dalam… tanpa sebuah arah tertuju…

Rhea menarik napas dalam, untuk kemudian dilepaskan semua INGIN… agar keinginan dapat berlarian kesana-kemari sesuka hati… kebebasan ingin yang tiada kendali… agar ingin punya kesempatan mutlak sebagai ingin… tanpa ada yang membatasi.
Dilepas semua PIKIR… agar pikir dapat bebas merdeka melanglang buana…. Hingga temui kebebasan pikir yang tiada batasnya… agar pikir punya wujudnya sendiri sebagai pikir… tanpa ada yang mempengaruhi.
Dilepasnya semua HARAP… agar harap dapat bebas melangkah bahkan berlari… hingga dapat sungguh teryakini… harap apa yang dicari…
Dilepasnya semua DIRI… entah hidup entah mati… agar dapat bebas menentukan sendiri… berdaya hidup ataupun berdaya mati…
Karena rangkaian kenyataan hidup yang terperangkap dalam jelma kasat manusia Rhea saat ini… adalah ruh energi bebas tanpa batas dan kendali… sebagai DIRI SENDIRI…

Saat datang di bumi… dalam telanjangnya sendiri…
Saat menjalani napas hidup… dalam pakaian aturan dan kendali yang berlaku dibumi…
Saat menentukan arah… dalam kebingungan kesana-kemari sambil dengarkan celotehan manusia dari  sana-sini… yang makin membuat semua menjadi rumit…
Saat menjadi seseorang yang selalu terpantaui … kembali lagi merasa dipantau oleh celotehan dari sana-sini… mencela saat terjerembab, memuji saat bermahkota…. Ada yang sambil lalu berceloteh… ada yang sambil berpikir pula berkata-kata…. Semua lalu berjalan sesuai dengan putaran ….
Saat tiba jelang kembali…. Pun sendiri…. Dalam kotak mati, atau bungkusan putih untuk kemudian benam dalam tanah abu debu fana dibawah sana….
Lalu mau apa….? Aliran sungai bisa berliku kemana saja… entah berbelok kekiri ataupun kekanan… pula lurus maju terus kedepan sana… namun ingat… tidak ada aliran sungai yang berbalik mundur kebelakang…. Semua bermuara disana… disamudra lepas tanpa batas…. Bercampur dalam gemulung air laut yang tak akan pernah surut…

Mau kemana pergi… ? Tentukan sendiri… lepaskan agar diri dapat sungguh menjadi diri… untuk kemudian terbentuk sendiri… apa yang menjadi ingin, apa yang menjadi pikir, apa yang menjadi harap… Semua terangkum dalam ikat DIRI SENDIRI…. Karena memang semua ada dalam DIRI SENDIRI…

Untuk kemudian diserahkan semua pada alam semesta, diakhir hidup, apa yang sudah dilakukan disini … dihidup ini sebagai sebuah pertanggung jawaban sebagai DIRI yang terjerat dalam tubuh kasat  raga manusiawi…

Dalam hening… yang tanpa tuju… segala getar energi yang lalu lalang tanpa arah disekitar ditangkapnya … warna-warni alam semesta, merah, jingga, kuning, hijau, biru, lila dan ungu…. Diserapnya untuk mengaktifkan roda-roda pusat energi di dalam diri… roda-roda itu mulai bergerak tanpa aba-aba… ditempatnya masing-masing mereka bergerak mulai dari perlahan, makin kencang, makin cepat, makin kuat…. Yang kemudian berputar dahsyat tanpa bisa dan harus berhenti…. Bebas mereka berputar… hingga pancarkan sinar terang dari masing-masing roda dalam tubuhnya… warna-warna berbaur menjadi satu, melebur menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang siap disemburkannya sebagai sebuah DAYA ….

Rhea menutup pengembaraan heningnya…. Sungging senyum masih dalam katup mata kekosongannya, bersiap untuk menggeleggakkan energi yang baru saja diserap melalui kekehingannya… untuk kemudian dibagikannya melalui gemulai tariannya, melalui liuk tubuhnya… melalui sinar mata dan sungging senyumnya pancarkan sinar-sinar yang telah berputar dahsyat pada roda-roda dalam dirinya… dan membagikannya pada manusia mana yang mampu untuk menangkapnya…

Semua mata dari segala penjuru telah siap tertuju padanya… adalah para dewata diatas langit sana… dan para manusia dibawah bumi fana… semua bersiap menantikan pancar RAGA yang penuh DAYA, dari atas menara….. siapa yang mampu menangkap gerakannya????....  Adalah semua… Namun pertanyaannya…. Siapa yang mampu menangkap MAKNA nya….??? Hanya yang paham akan keterlibatan alam semesta dalam dirinya…. Yang akan mampu mencerna MAKNA liuk tubuhnya… dalam gerak tarian persembahan pada alam semesta.

Saat gerakan telah diluncurkan… MAKNA menjadi sangatlah fana… tergantung dari siapa yang menikmatinya… Bagaimana kemampuan daya pikirnya… yang hanya sebatas raga… birahilah yang muncul disana… namun yang mampu menangkapnya melebihi batas raga… akan menjadi DAYA lah makna yang lahir disana…. Aaaah… Rhea mengembalikannya pada penikmat gerakannya… bukan urusannya… urusannya adalah mengasah RAGAnya… agar dapat menjadi DAYA… apapun penerimaan pemirsanya… bukan menjadi pikirnya… manusia bertanggung jawab sendiri atas DIRInya SENDIRI… atas INGIN, PIKIR dan HARAP nya sendiri-sendiri… Rhea tidak peduli…

Rhea tersenyum… ia mulai merentangan tangannya, menariknya kedada, tangkup tangan dan diangkatnya keangkasa… Sembah Purnama bagi seluruh jagad raya, alam semesta luas yang melingkupinya… Memasrahkan kembali pada pencipta jagad raya… untuk menentukan …. Apakah masih tetap dalam tugasnya hidup dalam raga… dibumi manusia. Karena sejatinya manusia memanggul tugasnya, saat menjalani hidup dalam jerat raga manusia. Diingatkannya kembali pada Sang Pencipta saat meniupkan roh hidup ketika ia masih dalam janin sana… Dalam gerak sembah purnama… Rhea memasrahkan kembali pada pencipta…. tugas yang harus diembannya saat menjadi manusia fana… lanjut atau hentilah kiranya…

Rhea mulai menari… dilatar belakangi Purnama bugil bulat penuh tanpa tertutupi…

Bumi chaos bila purnama tiba… ada yang hanya berani mengintip dari balik tirai…. Sampai yang berani mengayun langkah menuju menara. Mulai dari pengemis disudut negeri hingga para petinggi, semua bersiap berdiri dibawah menara, menggenggam berbagai macam upeti, mulai dari kuntum bunga melati hingga sunting hiasan sanggul emas murni… dari tahun ketahun… mereka hanya bisa membawa upeti-upeti itu ke menara, lalu membawanya kembali pulang… yang akhirnya diserahkan pula pada perempuan penguasa rumah tangga dalam negeri… karena upeti tidak akan pernah terjamahi oleh Rhea perempuan penari….

Adalah Kuomo, yang sedari tadi telah bersiap menikmati pertunjukan liuk tunggal diatas sana, disusul Uraim yang baru saja hadir dengan tergopoh-gopoh dan jengkel melihat sudah ada manusia terlebih dahulu tiba disana… Belum lagi Diema, dengan langkah tenang mendekati menara, sambil memegangi pelipisnya yang luka terkena lemparan sodet penggorengan Dienta istrinya saat ia mulai bersiap-siap melangkah menuju menara… suara Dienta makin sayup tak dihiraunya lagi…“Bedebah kau lelaki setaaaan… pergilah kau melihat pertunjukan alam setiap purnama bulat… kau tinggalkan aku menikmati selimut malam ini sendiri… “ teriaknya memaki.

Langit terang diatas sana… suara kibasan sayap membahana memekakkan telinga… dari seluruh penjuru mereka semua bersiap melesak turun … menuju menara… tepat disela-sela antara bumi dan langit sana… seperti biasa… para bidadari sudah lebih dulu berbaris bersusun rapi… menapaki selasar pelangi… turun dari langit … untuk curi gerak tari Rhea manusia bumi….

Seorang dewa bersayap nampak mulai terbang mendekati menara…. Namun kemudian lesak laju naik lagi keudara… saat dilihatnya seorang dewa bersayap lainnya muncul menuju arah yang sama…. Dewa itupun segera kepakkan sayapnya kuat berbalik mengangkasa,saat muncul dari kejauhan dewa bersayap lainnya yang laju menuju titik yang sama….  Setiap dewa bersayap memancarkan sinarnya… maka terang benderanglah langit yang seharusnya malam gulita… suara sinar bertabrakan menimbulkan bising seantero angkasa… semua dewa bersayap menuju arah yang sama… menara… hingga muncullah dari kejauhan sana… Dewa Naraa, perlahan ia mengepakkan sayapnya menuju menara… dan berdiri tepat dihadapan Rhea. Seluruh dewa yang sedianya bersiap pengepakkan sayap menuju menara, terhenti, dan hanya sanggup sembunyi dibalik apapun yang sekiranya sanggup untuk menutupi, dibalik bintang, dibalik awan, dibalik tiang langit bahkan dibalik benda-benda langit yang bertebaran diatas sana… nyali menjadi ciut, saat Dewata Naraa pula hadir dan berdiri dihadapan Rhea. Semua Dewa memicingkan mata, menatap tajam pada Rhea, apakah perempuan itu menyadari kehadiran Yang Mulia Penguasa Langit semesta raya….

Rhea tetap larut dalam gerak tarinya, matanya masih terpejam tanpa tengarai Yang Mulia Penguasa Langit telah berdiri dihadapannya. Naraa memandangi gerakan Rhea yang bebas penuh merdeka… dadanya sesak saat dilihatnya Rhea menundukkan kepalanya, menarik napas dan kemudian menengadahkan kepala sambil membuka matanya… Sinar mata Rhea terang memancar dari kedua bola matanya…. Tajam menatap kedepan…. Dewata Naraa siap sungging senyum dan merentangkan tangannya… Namun….. ada ragu disana… ketika disadarinya… tatapan Rhea bukan mengarah padanya…. Dewata Naraa masih memandangi Rhea, yang sungging senyum dan merentangkan kedua tangannya …. Rhea berlari menghampirinya… saat Dewata Naraa akan menangkap tubuh Rhea… dirasakannya seseorang berada dibelakangnya…. Rhea lari menghambur masuk dalam pelukan seseorang yang berada tepat dibelakannya…  

Semua terjadi dengan begitu cepatnya…. Seluruh langit gelegar gemuruh suara para dewa… memaki … menghujati… atas nama iri… mengapa diri tidak berani…. Para Dewa mulai menyalahkan diri sendiri, kembali ciut nyali… mengapa tidak seberani dewa nekat yang kini berdiri dibelakang Dewata Naraa pemimpin langit…. Menangisi diri mengapa tidak mampu seberani laki-laki bersayap yang saat ini dapat menikmati jemari Rhea membelai pipi. Tak berani menunjukkan dada bidangnya tempat untuk Rhea dapat meringkuk manja bagai bayi…. Dewata Naraa memejamkan mata merasa panas… segera lesak membubungi tinggi, menutup pintu langit untuk kemudian terpekur memandangi… dari tempat tersembunyi…

Semua lidah kelu… baik mahluk langit maupun bumi… seakan napas terhenti… laki-laki bumipun tak henti memaki, merasa tak memiliki peluang lagi… saat perempuan bumi rengguk dalam dekapan dewa langit yang tinggi….  
Dewa Tora memejamkan mata… merasakan betul keberadaan Rhea dalam peluknya… saat hatinya terasa bahagia… saat Rhea memilih untuk menyeruak masuk dalam pelukannya.

“Tak kuijinkan siapapun menyentuhmu, perempuanku…. Tak pula yang tertinggi sekalipun… karena aku telah memilihmu dan kau telah memilihku… “
“Namun Tora… jangan pernah kau tanggalkan sayapmu…”
“Serahkan semua padaku… apa yang akan kuhadapi diatas sana… jangan kau cemasi apa yang akan terjadi… menemukanmu bukanlah kebetulan, tetapi sudah suratan…”
“Kita akan menari bersama disini… Kita bisa MENARI DIATAS MENARA….saat kau merindukanku… ”
“Sssst… perempuanku… itu semua urusanku…. Adalah sebuah kebebasanku untuk bisa mencintaimu dan dicintaimu…” Dekapan hangat Dewa Tora membuat Rhea kemudian hanya sanggup berkata… “Jangan tinggalkan aku, kekasihku…”



24 May 2013

MENARI DIATAS MENARA (4)





BUKAN CINTA BIASA
Tora membalikkan tubuhnya, saat terdengar Cafa memanggil namanya. Dalam sekejap pandangannya terpaku pada perempuan bumi yang saat itu berdiri tidak jauh dibelakangnya. Pakaiannya hitam, dengan rambut terurai berwarna hitam kecoklatan. Tora tercekat memandangi perempuan yang saat itu pula memandanginya dengan tatapan setajam mata elang. Keduanya bertatapan … bumi pun turut cekat, hening semua terdiam… seakan hanya terdengar bunyi debar membahana dari ribuan jantung manusia yang kemudian turut beku, terpaku mematung sesaat…

Diatas sana dari sela-sela awan muncul semburat sinar-sinar yang kemudian bak sulur-sulur tipis mulai menghujani bumi… awanpun mengalah, bergeser pergi… membuka tirai tabir langit yang sedianya gelap mendung tertutup awan, kini tertinggal mentari bulat mulai rekah senyum lebar tebar sinar keseluruh permukaan… aaaah… dahsyat… Bumi tiba-tiba menghangat dan dingin mulai beringsut perlahan menguap pergi berlari mengikuti awan…

Terdengar suara petir dari langit sana, diikuti kilat menyambar… yang kemudian disusul derai genit suara bidadari yang seakan bebas lepas dari gelapnya semesta… mereka mulai sibuk memasang kembang goyang puluhan jumlahnya disela sanggulnya, menyematkan gelang-gelang kaki yang menimbulkan bunyi gemerincing saat langkah diayunkan….. pula segera sibuk memasang kembali sayap-sayap yang berwarna-warni untuk kemudian menyusun barisan bersiap terbang menuju bumi… Menggunakan kain sutra berwarna cerah sebatas mata kaki, terbelah disamping, hingga nampaklah kaki mulus para bidadari dalam bentuk yang sempurna, berjalan berlenggok bersiap-siap untuk menari… Tangan-tangan berjari lentik siap membawa bokor isi kembang harum mewangi, serta tungku dupa bubuk beraroma setanggi… Kepak sayap mereka berirama seiring dengan terdengarnya sangkakala dan harpa langit  yang mulai melantunkan simphoni yang tercipta alami …

Bumi sontak harum mewangi… tiada sela sisi bumi yang tak terlewati … pula dipenuhi taburan kembang merah, kuning, jingga yang tiada henti hujani bumi… dibawah lengkung bianglala yang pula tak mau ketinggalan segera melesat dari langit menuju bumi, persilahkan para bidadari dan penguasa langit untuk kunjungi … tanah bumi yang sedianya gelap mendung …. kini rekah bersinar kembali….

Pandangan Tora masih lekat tajam menusuk bola mata Rhea… PENDAR SIRAT SINAR MATA Tora membuat darah Rhea mendidih bergetar … keringat dingin mulai bercucuran di tubuh mereka… Keduanya masih bertatapan… kepul asap setanggi dari  dupa para bidadari dilangit sana segera menyeruak menyelimuti keduanya… dari ujung kaki hingga ujung kepala… mengangkat dan menerbangkan mereka menuju angkasa… antara bumi pijak dan langit lepas.

Tanpa aba-aba… dalam gulungan dupa harum yang mempesona, keduanya meliuk melenggok berpelukan menarikan gerakan tari kahyangan yang terjadi begitu saja…. Ciptaan mereka berdua… Terbang…. Terbanglah mereka tinggi dalam gulungan asap dupa setanggi yang semakin mewangi… Menyusuri padang berbunga ilalang… mewelati burung-burung yang menganga tercengang … iri… melesat dahyat tembusi gemulung awan yang mulai memutih, Tora memeluk Rhea … Merengkuhnya dalam dekap erat… terbang berputar-putaran bagai gelombang pasang samudra … Jutaan panah asmara lesat dari atas langit sana… melatar belakangi tarian surga mereka… yang makin panas membara… sayap Tora yang sedianya masai basah, tak berdaya… perlahan mengembang, melebar dan mulai bertenaga… diiringi desah napas memburu menggelegak… saat bibirnya menjalar dileher Rhea yang menengadah menatap langit yang sedianya gelap dan kini benderang….  

Dibumi sana Cafa masih ternganga, tak sanggup berkata-kata… memandangi lesat laju Tora dan Rhea yang mengangkasa….
Dilangit sana Dewata Naraa dan segenap jajarannya… larut memandangi keduanya dengan gundah gulana….

Keduanya terpejam… berputar disela bumi dan langit… ya… antara bumi dan langit… mereka menarikan tarian cinta disela-selanya…. Ini BUKAN CINTA BIASA…. 

(BERSAMBUNG...)