Januari 2, 2013
Artikel ini adalah serangkaian jawaban, atas pertanyaan dari seorang gadis cantik, seorang penari balet, bernama MIMI sebagai sumber karya tulisnya. Mimi adalah putri dari sahabatku Maria Dewantini Dwianto Korompis, MIA panggilannya. Kami satu kelas sejak kelas II dan III SMA, di Santa Ursula jurusan A4. Kelas yang telah membentuk kami : aku dan MIA menjadi seorang yang kuat dan tangguh ....
Aku yakin, MIMI pun akan sekuat dan setangguh MIA mamanya....
Dear Mimi sayang....
Tante minta maaf, karena keterlambatan membalas email Mimi. Mudah-mudahan masih bisa membantu Mimi untuk menyelesaikan karya tulisnya.
1. Cerita singkat pengalamanku di dunia seni tari tradisional.
Dalam keluargaku, semua anak harus bisa 4 hal : Musik, Menari, Berenang dan Sepatu Roda. Aku tidak tau apa alasan kewajiban harus bisa sepatu roda... hehehe. kalau untuk alasan yang lain masih masuk akalku...
Oleh karenanya kami ber 4 (aku bungsu) dari 4 bersaudara semua harus bisa ke 4 hal tersebut. termasuk kakak laki-lakiku. (yang hanya satu2nya itu).
aku mulai menari sejak aku usia 4 tahun (TK kecil) waktu itu, dan tari yang kupelajari ketika aku usia 4 tahun itu adalah BALLET. Setelah masuk SD kelas 1, aku mulai deiperkenalkan tari tradisional JAWA. Menurut ibuku, basic dari tari tradisional adalah tari JAWA. kalau sudah bisa tari JAWA, mau menari apaaapun akan lebih mudah. (itu alasan beliau, yang ternyata kubuktikan setelah aku belajar tari tradisional lainnya). Itu kata ibuku, padahal ibuku bukan penari… Hebat juga ibuku… darimana beliau tau yaaa….???
Selama aku berlatih
tari JAWA, aku kemudian banyak pentas dimana-mana, karena kebetulan aku
berlatih di P dan K (Departemen Pendidikan dan Kebudayaan). Guru tari
Jawaku adalah almarhum Bapak Yono. Seorang laki-laki berbadan
gemuk, dan berkacamata. Jadi banyak sekali kesempatanku untuk mengikuti
acara-acara yang diselenggarakan oleh pemerintah. (jaman dulu, semua acara
masih tersentral dari pemerintah, tidak seperti sekarang ini… ) Oleh karenanya
pengalamanku menari untuk acara-acara pemerintah dan kenegaraan menjadi
sangaaaat banyak. Selain tari
tradisional, aku juga mulai berlatih tari-tari kreasi baru. Saat itu aku
dilatih oleh asalah satu putri angkat dari Alm Bapak Bagong Kusudiardjo yang
bernama mbak Haryati Abelam. Oleh karenanya aku juga menguasai tari kreasi
baru. Aku ingat kala itu aku sempat menari tari Angsa di acara Aneka Ria
anak-anak asuhan Kak Seto dan Kak Henny Purwonegoro di TVRI, menari untuk peringatan hari Anak-anak Nasional, dan aaah masih banyak lagi....
Kelas
4 SD, aku mulai belajar tari Bali. Seperti yang telah kukatakan sebelumnya,
bahwa kata ibuku bila memiliki dasar tari JAWA akan lebih mudah bagiku untuk
mempelajari tarian daerah lain. Aku senang sekali bisa menari Bali. Aku ingat
betul, ketika aku sudah menguasai tari pendet, lalu aku mulai diajari tari
berikutnya yaitu tari Panji Semirang… Astaga aku girang luar biasa… sampai aku
bilang ke kakakku… “ Mbik, besok kita mulai latihan tari Panji Semirang…
Asiiiiiik….” Tentu saja aku berlatih bersama kakak-kakak perempuanku, mbak Budi
dan mbak Yayik.
Ternyata
ibuku benar. Aku dengan mudah belajar tari Bali. Bagiku ternyata tari Bali
lebih cocok untuk karakter diriku. Akhirnya, aku lebih banyak menari Bali,
dibandingkan tari JAWA dan daerah lainnya (tarian nusantara : seluruh daerah).
Guru tari Baliku adalah mbak Ni Ketut Sukarni. Aku sangat mencintai mbak Karni.
Karena mbak Karni lah aku kemudian tumbuh menjadi seorang penari. Bagiku, mbak
karni adalah guru yang luar biasa. Beliau mengajariku dengan sangat keras,
tanpa ragu-ragu beliau menarik pundakku sambil menahannya dengan lutut… tidak
peduli jeritanku dan air mata yang meleleh menahan sakit yang luar biasa. Bagiku
yang sangat penting adalah, mbak Karni juga mengajariku tentang ekspresi. Bagaimana
menghayati sebuah tarian dan menampilkannya dalam sebuah ekspresi, sehingga
membuat tarian menjadi begitu bernyawa. Istilah Balinya adalah me “TAKSU”.
Ditangan
mbak Karni, aku mulai banyak mengikuti lomba-lomba tari bali Remaja, tidak
langsung juara tentunya. Tapi terus ikut, lagi-lagi ikut… dan akhirnya berakhir
di tahun 84 sebagai Juara I tari Bali remaja se DKI Jakarta setelah sudah sejak
tahun 78 aku mengikuti lomba. Itu sudah paling tinggi, jadi ya sudah berhenti
sampai disitu.
Pengalamanku
yang sangat berharga lainnya, selain meraih juara I tari bali remaja se DKI
tahun 84 itu adalah aku menjadi salah seorang penari istana, saat aku masih
kelas VI SD. Kala itu tidak ada yang menyangka aku masih SD, karena badanku
yang tinggi besar. Tugasku adalah menari untuk acara jamuan makan malam bersama
dengan tamu-tamu negara yang bekunjung ke Indonesia. Antara lain, Raja Spanyol,
Raja Brunei, Raja Thailand, Ratu Belanda, dan banyak tamu negara lainnya. Aku
sangat bangga dengan semua itu.
Tapi
pengalaman menariku tidak selalu membuatku bangga dan senang, tapi aku juga sempat
kecewa. Kenapa? Aku mendapat surat tugas dari istana untuk menari di Belanda
sebagai wakil dari Indonesia, dengan resiko aku menginggalkan sekolah selama
hampir 2 (dua) bulan. Orang tuaku melarang. Aku harus tetap bersekolah. Selain
juga ketika itu tidak diijinkan pula dari sekolah (you know Ursula as well… or
ask your mom Mimi…).
Sejak
itu aku benci menari…. Aku stooooop menari…. Aku mutung… aku ngambek… aku
marah. Aku tidak mau lagi menari. Ada yang hilang rasanya dalam diriku. Kecewa
luar biasa…. Dan jadilah diriku galau…. (hehehe…) akhirnya aku menyibukkan diri
dengan mengikuti kegiatan Marching Band di Ursula, hingga aku lulus SMA tahun
1987. Aku tinggalkan dunia tari…. Dalam keadaan marah besar. Tari sudah menjadi
jiwaku… kenapa aku dilarang pergi ke
Belanda untuk menari? Itu alasan mendasarnya. Walaupun aku menjadi seorang
mayorette yang cukup dikenal, karena sempat pula meraih penghargaan sebagai
mayorette terbaik, tapi jiwaku tidak sepenuh saat aku menari….
Aku
mulai menari lagi tahun 2005… setelah 18 tahun aku vakum tidak bersentuhan lagi
dengan dunia tari dan seni. Itupun entah kenapa, pada suatu hari mbak Karni
menghubungiku dan mengajakku untuk ikut bergabung dalam sebuah kelompok
kesenian Puri Gita Nusantara pimpinan Bapak DR. Permana Agung Drajatun. Ketika
itu Puri Gita Nusantara akan melakukan kunjungan kesenian ke ISI, Bali. Agak
ragu awalnya, karena badanku sudah melar dan melebar. Wajarlah… 18 tahun aku
tidak pernah bergerak sama sekali. Tapi betapa gembiranya hatiku, saat aku
mulai menari… dan sepertinya tubuhku bergerak sendiri. Gerakan-gerakan yang
sudah kutinggal lama mewujud kembali secara otomatis… (yaaaah walaupun ada juga
yang lupa-lupa…) tapi waaaah… masih oke juga aku ternyata …..
Ternyata
memang seni tari sudah mendarah daging betul dalam diriku. Oleh karenanya sejak
2005 hingga kini, aku kembali lagi menari…. Gerakan-gerakan tari sudah seperti
aliran darah yang terus bergejolak dalam diriku setiap detik tarikan napasku.
2,
3, 4, Perkembangan tari tradisional saat ini. Apakah benar bahwa semakin lama
tari tradisional semakin kalah pamor dibandingkan tari modern/barat? bagaimana
minat/apresiasi remaja masa kini terhadap tari tradisional? mengapa remaja
cenderung lebih suka dengan tari modern/Barat atau tari2 seperti gangnam style,
shuffle, dan lain-lain?
Jujur…
Tari tradisional kita lebih mendapat apresiasi di luar negeri, dibandingkan
dinegeri kita sendiri. Saat ini, yang terjadi honor penari tradisional jauh
lebih kecil dibandingkan dengan honor penari latar, dengan basic tari modern.
Padahal, tari tradisional (menurutku…) lebih sulit dibandingkan dengan tarian
modern.
Ada
2 hal yang mungkin dapat dijadikan alasan ya… :
a. 1. Dari sisi gerakan tari : Mungkin ini
disebabkan karena tarian tradisional gerakannya monoton, lamban dan tidak progresif. Sementara tarian modern
sangat dinamis dan selalu mengikuti perkembangan. Ada saja gerakan-gerakan baru
yang diciptakan untuk dapat mengikuti arus perkembangan jaman. Sementara Tari
tradisional….. Tari Pendet, dari jaman dulu sampai sekarang ya begitu saja….
b. 2. Dari sisi kejiwaan/mental : Ini
menurutku cukup penting adalah, bahwa kalau tarian tradisional itu dianggapnya
tidak bergengsi, kuno. Dan akhirnya, supaya bisa dibilang modern maka anak-anak
muda sekarang lebih memilih tarian-tarian modern. Disamping juga honornya lebih
besar… hehehe… (ini bukan materialistis… tapi realistis…)
5. Bagaimana cara membuat remaja jaman sekarang lebih tertarik pada tari tradisional?
Dalam
perkembangannya sekarang ini tarian tradisional sudah banyak dimodifikasi.
Contohnya, Tari Trunajaya, yang tadinya durasi 15 menit, saat ini telah
dipotong menjadi hanya 7-8 menit. Disesuaikan dengan selera pasar modern saat
ini. Kenapa? Karena penonton modern saat ini bosan dengan tarian yang monoton
dengan durasi yang panjang. ( aku cukup setuju dengan upaya ini. Dan ini aku
katakan sebagai sebuah usaha untuk membuat tari tradisional kembali diminati).
Contoh lain :
tahun 2005, aku membuat sebuah pagelaran tari Cak, dengan Tema acara : BALI 60
MENIT. Aku buat ketika itu di Kafe Tenda Semanggi (KTS) sayang sekali sekarang ini area itu sudah
ditutup. Tepatnya di belakang Pacific Place.
Acara
tersebut aku buat dengan 3 alasan :
a. 1. Aku
membuat pagelaran Tari Kecak, tetapi tidak lebih dari 60 menit. Dengan asumsi
penonton akan bosan bila pagelaran tari tradisional disajikan dalam durasi yang
lama.
b.
2. Aku
membuat acara itu ditengah-tengah kafe, sehingga semua orang bisa menonton
dengan gratis. Sehingga setiap orang (dari seluruh lapisan usia) dapat
menikmati acara itu.
a. 3.
Memperkenalkan
budaya tradisional kepada masyarakat kota.
Paling tidak,
aku berusaha untuk memperkenalkan kepada anak-anak yang berada di tengah kota
Jakarta tentang tari tradisonal. Tujuanku bukan untuk menekankan cerita atau
filosofi dari Tari Sinta Obongnya. Tapi paliiiiiing tidak, anak-anak pernah
melihat dan tahu bahwa tarian tradisional itu ada dan indah… itu dulu aja…
waaah sudah lebih dari cukup.
Sebenarnya
kegiatan itu mau kubuat berseri (berkelanjutan) : BALI 60 MENIT, KALIMANTAN 60
MENIT, PAPUA 60 MENIT, dll… tapi karena terbentur pendanaan, apalagi untuk
kegiatan tradisonal tidak banyak sponsor yang berminat. Kalau menghadirkan
artis-artis luar negeri malah banyak promoter yang berebut ya… Karena itulah maka
cita-cita tersebut belum dapat kuwujudkan.
Itu salah
satu usahaku untuk membuat anak-anak remaja tertari kedengan tari tradisonal.
Dear Mimi,
itu pertanyaan no 2,3 dan 4 aku gabung, karena pada dasarnya jawabannya hampir2
sama ya….
Mudah-mudah2an
tulisanku ini bermanfaat. Sekali lagi aku minta maaf atas keterlambatanku
mengirim kembali tulisan ini ya Mimi…. Peaceee
Salam sayang