02 June 2013

MENARI DIATAS MENARA (TAMAT)








Dia adalah DEWA LANGIT…. Bersamanya aku akan MENARI diatas MENARA…. sebagai sebuah angan dan harapan….

Cafa menangis sejadinya… tak sanggup menatap mayat Rhea yang bersimbah darah, dipanggilnya Tora dengan lantangnya… langit tak jua bersuara… senyap… semesta sedang dalam dekap syukurnya… ALHAMDULILLAH…. Langit putih, bumi bersih….


EPILOG

Keduanya berjalan tanpa lelah menyusuri tebing curam bebatuan dibukit itu. Hira dengan penuh semangat berjalan lebih dahulu dari Leon. “Ayo abang… jalannya pelan-pelan banget sih… nanti keburu sore kita tiba di mercusuar itu…”
Leon hanya tersenyum memandangi perempuannya itu, kemudian mengedipkan sebelah matanya… “Iiiih genit abang… bukannya mempercepat langkah, malah kedip-kedip lagi… Ayo…” Hira kemudian menarik tangan Leon untuk mengikuti langkahnya. “Aaah lihat saja… nanti adek buru-buru begitu… pasti nanti cepat lelah… kita tidak diburu waktu kan dek?”
“Ya memang tidak diburu waktu bang… tapi nanti kalau terlalu sore kan repot lagi jalan kembalinya pulang…”
“Tenang saja dek…. “ tiba-tiba ponsel Leon berbunyi nyaring. Leon segera mengambilnya dari saku dan melihat nama penelpon diseberang sana. “Dek… Suheri telpon…” katanya menunjukkan nama penelpon dari seberang sana.
“Ya sudah angkat saja, bang…”
Leon mengangguk dan segera menjawab deringan dari selulernya itu. “ Yaaa mbak Cathy… baik-baik mbak… Hira juga baik-baik…”
“Sampai mana kalian…?” tanya Cathy yang selalu ingin tau itu.
“Sebentar lagi kami tiba didekat menara mercusuar itu...”
“Aduuuh udah deh… bilang Hira… nggak usah aneh-aneh … tempat itu berbahaya Leon…”
“Iya mbak… gak apa-apa… kan ada saya yang menemaninya…”
“Kamu juga jangan ikut-ikutan bego-begoan begitu Leon… Hira kalau dituruti, bisa minta yang aneh-aneh dia nanti… bisa-bisa minta nyebur kelaut… juga kamu ikutin lagi…”
“Ya enggak lah mbak… Tenang aja… saya jaga Hira…”
Hira mengernyitkan dahi, menunggu Leon yang masih berjalan perlahan sambil menjawab telepon dari Cathy Suheri.
“Hayoooooo abaaaang…. Buruaaaan…. Kak Cathy udah deeeh jangan berisik aaah….” Teriak Hira.
“Tuuuuh kan… dengar kan mbak… Hira baik-baik kok…” jawab Leon. Hira sudah tidak peduli lagi dengan Leon yang masih sibuk bicara dengan Cathy. Ia segera berjalan tanpa menoleh-menoleh lagi.
“Ya sudah… baik-baik kalian ya… bilang Hira jangan maksain kalau memang sudah gak kuat… lagian kenapa sih gak naik mobil aja kesananya… kenapa harus lewat jalur tebing…? Trus mobil kalian dimana?”
Aaaaah bukan Cathy Suheri namanya kalau tidak ingin tahu semua urusan… selalu ingin jadi ketua panitia penyelenggara semua acara.
“Mobil kami ada di penginapan, mbak. Hira mengajak berpetualang nih….”
“Haduuuuh… sudah deh… jangan terlalu diturut-turutin itu si Hira… Kamu juga mau aja lagi… anak itu sakit Leon… kamu harus ingat-ingatkan dia ya…”
“Tenang mbak… saya akan jaga Hira… Dia tidak akan sakit… dia aman bersama saya…”
“Ya sudah… baik-baik kalian ya… bla…bla…bla….” Leon memandang Hira sambil kemudian tertawa, melihat Hira yang memberikan isyarat tangannya menggambarkan kecerewetan Cathy Suheri sahabat mereka. Leon segera berjalan lebih cepat menyusul Hira, dan memeluknya dari belakang, setelah selesai pembicaraan dengan Cathy. Baru beberapa langkah, terdengar lagi dering seluler di tangan Hira… “Haduuuuuh… Suheri ini… “ Kata Leon sambil tertawa, saat Hira menunjukkan nama penelponnya. Keduanya tertawa terbahak-bahak, sambil berpelukan menyusuri tebing berbatas laut, menuju ke menara mercusuar. Tak dihiraukannya dering panggilan dari telpon seluler dari Cathy Suheri di ponsel Hira. “Tadi sudah bicara sama abaaaang kan kak…. Cukuplaaah…” Kata Hira bicara dengan benda berdering itu, tanpa mengangkat ponselnya. Leon hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Perjalanan mereka kali ini adalah menuju menara mercusuar kuno di tepi pantai laut selatan. “Menara itu sebenarnya sudah tidak digunakan bang… hanya… dulu… konon kabarnya… menara ini adalah tempat seorang perempuan bumi yang merindukan kehadiran dewa langitnya. Ia menari diatas menara itu saat purnama, menanti hadirnya Dewa Langit sang kekasih….” Celoteh Hira dengan penuh semangat menceritakan cerita legenda yang pernah terjadi di menara itu. “Perempuan itu selalu menari disaat bulan purnama bang… berharap kekasihnya akan datang menghampiri dari atas langit sana… berjuta-juta malam ia menunggu dewa langit kekasihnya itu… “ Hira terhenti untuk menghela napas. “Aaaah perempuanku ini… kadang ada miripnya juga dengan Cathy Suheri kalau sudah bercerita… seakan-akan paling tau dia … sementara yang diceritakannya itu adalah hanya sebatas konon kabarnya… sebatas legenda” kata Leon dalam hati. “Ini bukan sekedar legenda bang… “ Hira melanjutkan lagi kata-katanya. Leon sempat tersentak, seakan Hira mendengar apa yang dikatakannya dalam hati. Namun Leon tetap diam dan menanti apa kelanjutan cerita Hira tentang perempuan tadi. “Jadi… karena sang dewa langit itu tidak muncul-muncul dari balik langit sana… kemudian perempuan itu bunuh diri bang…” Dada Leon tiba-tiba terasa sesak.

Hira menarik tangan Leon untuk segera beranjak dari tempat itu…  tepat dibawah menara tempat tujuan mereka yang saat ini padat dikerumuni penduduk setempat. “Abang, sudah yuk kita pulang… aku nggak nyaman bang ditengah-tengah kerumunan itu… aku gak tega lihat mayat itu… “ Hira memejamkan matanya. Leon terpaku disitu, masih berdiri menatap mayat perempuan itu sambil kemudian menoleh pada seorang laki-laki disebelahnya. “Bunuh diri mas…. Lompat dari menara itu… “ kata laki-laki itu. Leon tercekat. Hirapun sama.  
Keduanya bertatapan, saling melemparkan pandangan penuh makna. Dada Leon serasa bergemuruh, seakan mengingat dan merasakan sesuatu. Demikian pula Hira. Keduanya seakan-akan terlempar kembali pada suatu masa yang entah kapan, entah dimana…. mereka sendiri tak tahu. Hanya seperti sebuah kilat yang muncul sesaat lalu hilang. Keduanya hanya bisa diam.
Perlahan Hira menoleh pada mayat perempuan itu dan memicingkan matanya. Dikaki kanan mayat itu tersemat gelang kaki emas, seperti yang digunakannya. Seperti tersengat aliran listrik dengan daya yang sangat besar, tubuhnya mulai terasa dingin, bibirnya pucat dan keringatnya mulai mengucur. Leon melihat Hira mulai menggigil dan segera menariknya menjauh dari kerumunan itu dan membawanya ke warung tidak jauh dari sana. Didudukkannya Hira disalah satu sudut warung dan segera Leon memesan segelas teh panas manis. Hira masih terdiam. Pandangannya masih terasa berkunang-kunang.
“Hira….maafkan abang, seharusnya kita tidak berlama-lama ditempat itu. Seharusnya abang dengarkan tadi saat adek mengajak abang pergi dari tempat itu” Desis Leon sambil memeluk Hira erat. Seakan ia tak ingin terjadi sesuatu dengan perempuannya. “Abang tidak ingin kehilanganmu….” Leon menatap tajam bola mata Hira. “Sayangku … dengar abang…. abang tidak ingin kehilanganmu, untuk kedua kalinya… saat ini… abang disini, abang selalu ada untukmu… abang akan selalu disini…” pelukannya semakin erat. Hira ledak tangis tak tertahankan. Keduanya berpelukan, berciuman… Tenggelam dalam rasa, sepakat untuk membentuk makna, tanpa kata-kata…. dalam dunia nyata, mereka tak akan terpisahkan…. Untuk kedua kalinya…."berdua kita akan MENARI DIATAS MENARA, dek…. Selamanya…."


T A M A T


Mampang, Medio Juni 2013






No comments: