Dia
adalah DEWA LANGIT…. Bersamanya aku akan MENARI diatas MENARA…. sebagai sebuah
angan dan harapan….
Cafa
menangis sejadinya… tak sanggup menatap mayat Rhea yang bersimbah darah,
dipanggilnya Tora dengan lantangnya… langit tak jua bersuara… senyap… semesta
sedang dalam dekap syukurnya… ALHAMDULILLAH…. Langit putih, bumi
bersih….
EPILOG
Keduanya
berjalan tanpa lelah menyusuri tebing curam bebatuan dibukit itu. Hira dengan penuh
semangat berjalan lebih dahulu dari Leon. “Ayo abang… jalannya pelan-pelan
banget sih… nanti keburu sore kita tiba di mercusuar itu…”
Leon
hanya tersenyum memandangi perempuannya itu, kemudian mengedipkan sebelah
matanya… “Iiiih genit abang… bukannya mempercepat langkah, malah kedip-kedip
lagi… Ayo…” Hira kemudian menarik tangan Leon untuk mengikuti langkahnya. “Aaah
lihat saja… nanti adek buru-buru begitu… pasti nanti cepat lelah… kita tidak
diburu waktu kan dek?”
“Ya
memang tidak diburu waktu bang… tapi nanti kalau terlalu sore kan repot lagi
jalan kembalinya pulang…”
“Tenang
saja dek…. “ tiba-tiba ponsel Leon berbunyi nyaring. Leon segera mengambilnya
dari saku dan melihat nama penelpon diseberang sana. “Dek… Suheri telpon…”
katanya menunjukkan nama penelpon dari seberang sana.
“Ya
sudah angkat saja, bang…”
Leon
mengangguk dan segera menjawab deringan dari selulernya itu. “ Yaaa mbak Cathy…
baik-baik mbak… Hira juga baik-baik…”
“Sampai
mana kalian…?” tanya Cathy yang selalu ingin tau itu.
“Sebentar
lagi kami tiba didekat menara mercusuar itu...”
“Aduuuh
udah deh… bilang Hira… nggak usah aneh-aneh … tempat itu berbahaya Leon…”
“Iya
mbak… gak apa-apa… kan ada saya yang menemaninya…”
“Kamu
juga jangan ikut-ikutan bego-begoan begitu Leon… Hira kalau dituruti, bisa
minta yang aneh-aneh dia nanti… bisa-bisa minta nyebur kelaut… juga kamu ikutin
lagi…”
“Ya
enggak lah mbak… Tenang aja… saya jaga Hira…”
Hira
mengernyitkan dahi, menunggu Leon yang masih berjalan perlahan sambil menjawab
telepon dari Cathy Suheri.
“Hayoooooo
abaaaang…. Buruaaaan…. Kak Cathy udah deeeh jangan berisik aaah….” Teriak Hira.
“Tuuuuh
kan… dengar kan mbak… Hira baik-baik kok…” jawab Leon. Hira sudah tidak peduli
lagi dengan Leon yang masih sibuk bicara dengan Cathy. Ia segera berjalan tanpa
menoleh-menoleh lagi.
“Ya
sudah… baik-baik kalian ya… bilang Hira jangan maksain kalau memang sudah gak
kuat… lagian kenapa sih gak naik mobil aja kesananya… kenapa harus lewat jalur
tebing…? Trus mobil kalian dimana?”
Aaaaah
bukan Cathy Suheri namanya kalau tidak ingin tahu semua urusan… selalu ingin
jadi ketua panitia penyelenggara semua acara.
“Mobil
kami ada di penginapan, mbak. Hira mengajak berpetualang nih….”
“Haduuuuh…
sudah deh… jangan terlalu diturut-turutin itu si Hira… Kamu juga mau aja lagi…
anak itu sakit Leon… kamu harus ingat-ingatkan dia ya…”
“Tenang
mbak… saya akan jaga Hira… Dia tidak akan sakit… dia aman bersama saya…”
“Ya
sudah… baik-baik kalian ya… bla…bla…bla….” Leon memandang Hira sambil kemudian
tertawa, melihat Hira yang memberikan isyarat tangannya menggambarkan
kecerewetan Cathy Suheri sahabat mereka. Leon segera berjalan lebih cepat
menyusul Hira, dan memeluknya dari belakang, setelah selesai pembicaraan dengan
Cathy. Baru beberapa langkah, terdengar lagi dering seluler di tangan Hira… “Haduuuuuh…
Suheri ini… “ Kata Leon sambil tertawa, saat Hira menunjukkan nama penelponnya.
Keduanya tertawa terbahak-bahak, sambil berpelukan menyusuri tebing berbatas
laut, menuju ke menara mercusuar. Tak dihiraukannya dering panggilan dari telpon
seluler dari Cathy Suheri di ponsel Hira. “Tadi sudah bicara sama abaaaang kan
kak…. Cukuplaaah…” Kata Hira bicara dengan benda berdering itu, tanpa
mengangkat ponselnya. Leon hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Perjalanan
mereka kali ini adalah menuju menara mercusuar kuno di tepi pantai laut
selatan. “Menara itu sebenarnya sudah tidak digunakan bang… hanya… dulu… konon
kabarnya… menara ini adalah tempat seorang perempuan bumi yang merindukan
kehadiran dewa langitnya. Ia menari diatas menara itu saat purnama, menanti
hadirnya Dewa Langit sang kekasih….” Celoteh Hira dengan penuh semangat
menceritakan cerita legenda yang pernah terjadi di menara itu. “Perempuan itu
selalu menari disaat bulan purnama bang… berharap kekasihnya akan datang
menghampiri dari atas langit sana… berjuta-juta malam ia menunggu dewa langit
kekasihnya itu… “ Hira terhenti untuk menghela napas. “Aaaah perempuanku ini…
kadang ada miripnya juga dengan Cathy Suheri kalau sudah bercerita… seakan-akan
paling tau dia … sementara yang diceritakannya itu adalah hanya sebatas konon
kabarnya… sebatas legenda” kata Leon dalam hati. “Ini bukan sekedar legenda
bang… “ Hira melanjutkan lagi kata-katanya. Leon sempat tersentak, seakan Hira
mendengar apa yang dikatakannya dalam hati. Namun Leon tetap diam dan menanti
apa kelanjutan cerita Hira tentang perempuan tadi. “Jadi… karena sang dewa
langit itu tidak muncul-muncul dari balik langit sana… kemudian perempuan itu bunuh
diri bang…” Dada Leon tiba-tiba terasa sesak.
Hira
menarik tangan Leon untuk segera beranjak dari tempat itu… tepat dibawah menara tempat tujuan mereka yang
saat ini padat dikerumuni penduduk setempat. “Abang, sudah yuk kita pulang… aku
nggak nyaman bang ditengah-tengah kerumunan itu… aku gak tega lihat mayat itu… “
Hira memejamkan matanya. Leon terpaku disitu, masih berdiri menatap mayat
perempuan itu sambil kemudian menoleh pada seorang laki-laki disebelahnya. “Bunuh
diri mas…. Lompat dari menara itu… “ kata laki-laki itu. Leon tercekat. Hirapun
sama.
Keduanya
bertatapan, saling melemparkan pandangan penuh makna. Dada Leon serasa
bergemuruh, seakan mengingat dan merasakan sesuatu. Demikian pula Hira.
Keduanya seakan-akan terlempar kembali pada suatu masa yang entah kapan, entah
dimana…. mereka sendiri tak tahu. Hanya seperti sebuah kilat yang muncul sesaat
lalu hilang. Keduanya hanya bisa diam.
Perlahan
Hira menoleh pada mayat perempuan itu dan memicingkan matanya. Dikaki kanan
mayat itu tersemat gelang kaki emas, seperti yang digunakannya. Seperti
tersengat aliran listrik dengan daya yang sangat besar, tubuhnya mulai terasa
dingin, bibirnya pucat dan keringatnya mulai mengucur. Leon melihat Hira mulai
menggigil dan segera menariknya menjauh dari kerumunan itu dan membawanya ke
warung tidak jauh dari sana. Didudukkannya Hira disalah satu sudut warung dan
segera Leon memesan segelas teh panas manis. Hira masih terdiam. Pandangannya
masih terasa berkunang-kunang.
“Hira….maafkan
abang, seharusnya kita tidak berlama-lama ditempat itu. Seharusnya abang
dengarkan tadi saat adek mengajak abang pergi dari tempat itu” Desis Leon
sambil memeluk Hira erat. Seakan ia tak ingin terjadi sesuatu dengan perempuannya.
“Abang tidak ingin kehilanganmu….” Leon menatap tajam bola mata Hira. “Sayangku
… dengar abang…. abang tidak ingin kehilanganmu, untuk kedua kalinya… saat ini…
abang disini, abang selalu ada untukmu… abang akan selalu disini…” pelukannya
semakin erat. Hira ledak tangis tak tertahankan. Keduanya berpelukan, berciuman…
Tenggelam dalam rasa, sepakat untuk membentuk makna, tanpa kata-kata…. dalam
dunia nyata, mereka tak akan terpisahkan…. Untuk kedua kalinya…."berdua kita
akan MENARI DIATAS MENARA, dek…. Selamanya…."
T A M A T
Mampang, Medio Juni 2013
No comments:
Post a Comment