25 June 2013

Tutur malam, sebelum semua berakhir…



Malam ini…
Aku ingin menuturkan penggalan cerita, dari buku Perempuan Keumala, sebagai penghantar lelap…

Aku tidak tahu, mengapa aku ingin menyampaikan adegan itu… Romantisme malam terakhir, sebelum semua berakhir…

Kubacakan kata-kata dalam rangkaian kalimat cerita dengan perlahan… lembut… penuh makna, penuh cinta… agar tak kau rasakan… bergantinya hari… menuju mati…

Dengarlah tuturku…

..... “Seharusnya bahagialah Keumala saat ini, diiringi alunan musik, teriakan puja-puji, sambil memeluk putri terkasih, hidup menjadi begitu sempurna rasanya.
Tapi jauh di dasar hati, cemas tak terkendali sejak pagi tadi. Hatinya berdebar kencang, pikirannya mereka-reka apa gerangan pertanda yang ia terima. Ia mencoba mengingat kembali apa yang terjadi pagi tadi. Suara elang hitam raksasa memecah keheningan…. Suara gemuruh kepak sayap ribuan burung yang memenuhi angkasa. Lolongan anjing tak hentinya menambah suasana kengerian yang tercipta. Dan, tiba-tiba terdengar suara yang sangat menyayat hatinya. Tak ingin ia ingat-ingat kata-kata sedih itu. Namun, sepertinya gemuruh sambutan rakyat di sana tak mampu menghilangkan suara-suara yang sejak gelap pagi tadi selalu terngiang di telinganya. Teringat kembali pembicaraan terakhir bersama belahan jiwa malam hari, sebelum esok galleys bertolak menuju medan pertempuran.
“Adinda Keumala yang kupuja, sebuah kenyataan kejam di dalam dunia yang harus dialami oleh manusia terutama perwira seperti kita ini layaknya adalah membunuh atau terbunuh. Melawan atau mati. Orang membunuh adalah untuk mempertahankan diri, dan yang telah membunuh pasti akan mati terbunuh juga,” katanya dengan tatapan tajam menghunus ke mata Keumalahayati, seakan ingin menyampaikan sebuah arti yang belum terdapati. Keumalahayati hanya membalas tatapan itu dengan sejuta pertanyaan di dalam hati, kiranya kalimat ini adalah kalimat ungkapan diri dan hati.
“Keukanda kekasih hati, bila darah terus tertumpah, manalah mungkin jiwa akan tenang. Bila manusia terus-menerus saling beradu mati, bilakah terjadi damai di bumi dan damai di hati.”
“Negeri sedang diincari oleh pencuri-pencuri yang ingin menguasai seluruh hasil kekayaan bumi. Bila tak lah mungkin dengan kepala dingin, maka benda-benda tajam itulah yang ‘kan mengakhiri.” Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief berdiri, menghampiri sebuah lemari tua di sudut bilik sebelah utara. Dibukanya perlahan, dan diambilnya sebilah keris dengan sarung terbuat dari gading gajah yang licin berkilat berwarna hitam pekat.
Keris itu adalah keris kerajaan yang diberikan kepada Laksamana Mahmuddin, atas jabatannya sebagai Panglima Armada Selat Malaka. Ditariknya perlahan pangkal senjata itu dan diangkatnya ke udara.
“Dalam hidup seorang perwira, yang ada hanyalah hidup atau mati, untuk menciptakan sebuah perdamaian atau untuk membalas kematian. Keris ini akan menjadi saksi, aku kembali dalam hidup atau dalam mati.”
“Keukanda, jangan bicara mati sebelum ajal terjadi. Pantang bagi seorang perwira untuk bicara mati sebelum segalanya terbukti.”
“Adindaku Keumalahayati, ketika perwira berlaga di medan perang, petaka dan keberuntungan sulit untuk diramalkan. Ketika panji-panji sudah dinaikkan, tambur-tambur sudah ditabuhkan, terumpet sudah dilengkingkan, yang ada di pikiran hanyalah membunuh atau dibunuh, hidup atau mati. Keumala kekasih hatiku tercinta, hidup harus selalu siaga, harus selalu berjaga. Karena iring-iringan penjemputan surga tak akan ada yang dapat menerka kapan mereka tiba. Oleh karenanya istriku tercinta, ibarat minyak dalam pelita harus selalu terisi penuhlah kiranya, agar tetap dapat menyala sehingga tidak mati dengan tiba-tiba saat kita membutuhkannya. Pahamlah kau kini, kekasihku, itu semua agar kita tidak mati sia-sia hanya karena kelalaian kita. Kita harus selalu bersiap atas apa yang akan terjadi esok hari karena kematian tak dapat ditolak lagi bila telah tertulis dalam lembar kertas suci Ilahi. Selalu bersiaplah kita untuk hadapi mati esok pagi,” katanya sambil memandangi keris beracun yang akan dibawanya pergi.
“Masukkan kembali kerismu itu, Keukanda. Malam ini tak ingin kulihat ada benda tajam dingin berlalu-lalang di antara kau dan aku. Biarlah semua itu berjalan seiring dengan rencana Illahi, tidurlah Keukanda belahan jiwaku sebelum hari berganti.” Keumala memeluk suaminya erat dari belakang. Terasa nyaman dalam kehangatan punggung laki-laki gagah pujaannya. Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief menyarungkan kembali kerisnya dan membalikkan badan menyambut dekapan istrinya.
“Peu* sayang...? Cemas sekali wajahmu?”
“Hana peu-peu* , Keukanda….”
“Tidurlah, adindaku sayang… tidurlah dalam pelukku. Rindu ini tak akan pernah usai. Cinta ini tak akan pernah berakhir.”
Keduanya saling mendekap, saling melemparkan getaran-getaran kasih yang kemudian tertumpah dalam desahan napas yang mengantar menuju yang tinggi. Tak ada lagi yang bisa diucapkan dengan kata-kata, keduanya terbuai dalam larutnya malam yang makin bertambah pekat. Keduanya saling membelai dan saling memanggut, bersatu dalam derai peluh yang membasahi tilam sutra beledu. Tak ada yang ingin membuang waktu, semua harus tercurah saat itu sebelum hari kemudian berlalu.
Hingga tengah malam menuju bergantinya hari, Tuanku Mahmuddin tetap tak dapat pejamkan mata. Ia dekap erat penuh kasih istri tercinta yang telah tertidur dalam pelukannya, dengan lembut ia mengusap anak-anak rambut tipis di dahi perempuan tercintanya, mencium lembut keningnya, sambil tak henti bibir berdesis penuh cinta,

“Keumala…, Keumala belahan jiwa
padanyalah badan bersanding….”

Perempuan Keumala,
Halaman 77-81

25 Juni 2013
00:00


* apa/ada apa
* tidak ada apa-apa



No comments: