31 July 2013

Kucing Garong

Yu Lasmi jengkel bukan kepalang ketika ada seekor kucing bertengger diatas gerobak gado-gadonya.
“Oalaaah kucing gendeng… sejak kapan kucing kok doyan sayuran. Kucing ndak normal ya kamu ini… Hayo sana minggat… “ Yu Lasmi sibuk menghalau kucing yang langsung melompat dan segera lari entah kemudian menyelusup kemana.
“Aneh tenan, kucing kok nyantroni gerobak gado-gado… opo yang dicari, wong nggak ada yang bisa dicolong… Cari apa kucing itu disini?” Yu Lasmi melongok-longok semua bahan-bahan gado-gadonya, mulai dari sayur mayur hingga bumbu-bumbunya.
“Eeeealaaah… kucing gendeng, kok ya nemu-nemunya terasi yang sudah kututup rapet disitu… waduh… Leeee…. “ teriaknya memanggil Kamal sang asisten. Kamal yang sedang menurunkan termos nasi dan bungkusan piring segera menghampiri sambil tergopoh-gopoh.
“Dalem Bu De…” Katanya sopan.
“Sana beli terasi lagi… cepet ya. Beli tiga bungkus.”
“Lha yang itu kenapa Bu De?”
“Lha ini kamu lihat sendiri, tutupnya sudah terbuka… diobok-obok kucing.”
“Tapi masih utuh kok, Bu De…”
“Lha ya iya utuh… tapi mana tau sudah dijilati… wis tidak kepake lagi. Aku ndak mau tamuku kena penyakit. Sana cepet, nanti keburu ada tamu kan ndak lucu kalo kita tidak bisa cepat melayani hanya gara-gara ndak ada terasi.” Yu Lasmi bersungut-sungut sambil menyerahkan uang sepuluh ribu rupiah pada Kamal.
“Mereknya Ojolali lho ya, Mal… Jangan dibeli kalau ndak merek Ojolali lho yoooo….”
“Inggih, Bu De…” Kamal segera menyambar uang dari tangan Yu Lasmi, kemudian bergegas meraih sepedanya dan menghilang.
“Kenapa toh, Yu… Pagi-pagi kok sudah ribut.” Tanya Sarwono yang baru saja tiba di pangkalan ojek.
“Lha ya itu toh Sar, terasiku diobok-obok kucing. Padahal sudah kututup rapet-rapet lho, kok ya masih tajem ya penciumannya. Tau aja ada terasi di sini.”
“Oooalaaah, Yu… Kalo yang namanya kucing itu, jangankan ditutup, wong disimpen dibawah kolong saja dia bisa mengendus kok… barang enak je…”
“Baah… porno kali kau Sar…” Togar si tukang ojek kesasar dari Tarutung ke Jakarta ikut menimpali.
“Lho… apanya yang porno, Gar…”
“Itu tadi… biar dikolong bisa diendus… karena barang enak kau bilang…”
“Weleeeh baru ngomong gitu aja kok sudah porno. Pikiranmu itu yang mencong… wong lagi ngomongin terasi kok dibilang porno. Dasar Mbatak edan…”
Togar, hanya nyengir saja ketika dibilang Batak edan… Terserahlah Sarwono mau bilang apa, sudah kawan sendiri. Ia tak sakit hati. Coba kalau orang lain yang baru kenal, sudah babak belur dilibas olehnya.
“Laaah lama sekali Kamal ini beli terasi. Sudah keburu datang nanti tamu-tamuku…” Yu Lasmi gelisah. “Mana harus dibakar dulu… waduuh… mana ini?”
“Baaah… harus dibakar dulu rupanya, Yu?”
“Lha ya iya toh Gar, biar wangi dan sedep.”
“Ah kalau dikampungku tidak usah dibakar juga sudah sedap, Yu…” Sambar Togar lagi.
“Weeeh dikampungmu sih semuanya sedap… wong pralon saja dimakan…” Jawab Sarwono enteng.
“Eeeh… pagi-pagi kok sudah ribut… mbok ya prihatin sama terasiku ini thoooo…” cegah Yu Lasmi.
“Entah itu si Sarwono… tak habisnya ledek-ledek aku. Kalau tidak ada Yu Lasmi ini sudah kubantai kau, Sar…”
“Weleeh… kok kaya nyawa punyanya sendiri saja, main bantai…” jawab Sarwono tenang.
“Naaah… itu dia si Kamal. Mal, lama banget toh kamu ini beli terasinya…”
“Yang merek Ojolali susah Bu De… jadi dalem pulang dulu ke rumah, wong yang ada terasi merek itu Cuma di warung Yu Jum.”
“Ealaaaah… untung bisa cepet balik, kalo tidak kan kita bisa ndak jualan hari ini. Nuwun ya Mal… wis sana beresin lagi itu barang-barang. Untung belum ada yang dateng. Aku tak mbakar terasinya dulu.” Yu Lasmi mulai sibuk menyalakan tungku dibelakang nya, tempat ia merebus air untuk menyeduh teh sajian gratis supaya tidak seret setelah makan gado-gado.
 “Sudah buka belum, Yu…?” Seorang perempuan setengah baya dengan dandanan ala burung merak menongok kearah gerobak. Rambutnya disasak tinggi, aroma parfume mahal merebak kemana-mana. Eeeem ini aroma parfum Poison… Yahud memang aromanya. Cocok untuk ibu-ibu sosialita dengan dandanan ala jambul merak. Cincin sebesar cobek gado-gadonya yu Lasmi bertengger di kedua jari tengah tangannya. Belum lagi cincin berlian dijari-jari yang lain… kilau-kilau saingan sama lampu hias jalanan. Lipstik merah menyala, dengan sapuan bedak putih yang agak kurang rata menyempurnakan penampilannya yang ingin menunjukan ke high class an nya, tapi malah koyo boneka ondel-ondel…
“Oooh, ya… ya… sudah bu… sebentar ya…” Yu Lasmi segera berdiri sambil masih menggenggam garpu terasinya.
“Eeem, betul juga ya….. sedap kali aromanya…” Togar mengendus-endus aroma terasi yang lalu didepan hidungnya.
“Kandani kok ya… sana  bilang sama orang dikampungmu sana… sebelum diolah… bakar dulu, biar sedep…. Jangan langsung dicaplok aja….” Ujar Sarwono.
Harusnya Togar tidak bicara begitu karena aroma terasi Yu Lasmi sebenarnya sudah tertiban dengan aroma parfume dari kedua ibu-ibu socialita yang sedang memesan gado-gado.
“Duh… maaf lho ya bu… ini saya lagi mbakar terasi. Ya… mau pesan berapa?”
“Buatkan dua ya…”
“Oh.. boleh, bu. Pedes atau ndak?
“Eeem saya pedes, pake lontong. Mir… jij pedes gak?”
Perempuan yang dipanggil Mir tadi hanya menggeleng, sambil tetap menyeka-nyeka matanya yang merah dan basah. Yu Lasmi menangkap. Sambil mulai mengulek gado-gadonya, dalam hati berkata, “pasti perempuan yang satu  itu sedang bermasalah. Makanya pagi-pagi gini sudah nangis Bombay sesenggukan begitu. Malah tidak sempat dandan, lha wong sepertinya hanya pake daster. Tapi tetap saja, dasternya orang kaya, ya tetap mahal. Singapore Silk… mana mungkin gak mahal. Ck…ck…ck… Singapore Silk kok buat daster… kalau gak kelebihan duit yang gak mungkinlah…”  Lha….  Yu Lasmi kok tau itu Singapore Silk ya….???? Wong ndeso kok ngerti Singapore Silk.
“Yang satu gak pedes ya…”
“Yang gak pedes pake lontong atau nasi?”
“Mir, jij pake lontong atau nasi?”
“Gak usah, ik sayurnya aja…”  
“Oh ya, tunggu sebentar ya bu, silahkan duduk dulu….” Jawab Yu Lasmi lugas.
Kedua tamunya duduk manis di bangku panjang depan gerobak gado-gado. Ibu yang seperti merak tadi mengeluarkan kipas besar dan kemudian mulai mengipasnya. Kegerahan dia tampaknya karena butir- butir keringat mulai mengalir di kening sebelah kanan. Dari angin kipasannya tersebarlah aroma parfumenya yang keras… mungkin satu botol sendiri dia semprot ke tubuhnya…
“Iiiih panasnya… ampun deh ya… “ Ia segera menyeka guliran keringat itu dengan lembar tissue yang disobeknya dari gulungan diatas meja. Yang diajak bicara masih diam, malah kelihatan seperti menahan tangis, karena matanya terus berkaca-kaca, walaupun airmata tertahan tak mengalir.
“Sudah lah Mir… Jangan terus-terusan mewek begitu. Lihat deh jij… jadi awut-awutan begini… “
Madam Mir masih terdiam, menggigit bibir bawah yang tebal.
Jij gak malu sama rival jij… kalau penampilan jij kaya gembel begini? Makin seneng dia nanti Mir kalau liat jij jadi belel gini.”
“iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiihhhhh…. Pengen kujambak perempuan sundal itu… kucakar mukanya biar jelek, jadi suamiku gak sudi lagi sama dia…dasar janda gatel… maen samber aja laki orang.” Madam Mir mulai lagi bercucuran airmata.
“Itu kan memang rencana kita kemarin. Makanya udah deh, jangan nangis melulu… justru sekarang ini jij mestinya dandan, trus kita langsung serbu tuh rumah janda gatel itu.”
“Ngapain dandan? Biarin aja dia tau kalo dia udah nyerobot suami orang… biar dia tau gimana sakitnya hatiku…”
Dari balik gerobak, Yu Lasmi melirik kepada kedua tamunya. Ia mendengar betul celotehan ibu-ibu eeeh…. Madam-madam itu.
“Eeem… si mewek itu habis mergokin suaminya selingkuh sama janda rupanya… pantesan mukanya jadi awut-awutan gitu…” kata Yu Lasmi dalam hati. Memang jadi janda itu gak enak… bener aja salah… apalagi salah… Kalau orang laki-laki khususnya suami orang sudah terpikat sama janda… paaaassstiiiii yang disalahkan jandanya, apapun alasannya. Siapa toooh yaaaa…. Yang mau jadi janda…
Tak lama kemudian terdengar suara dering telpon selular dari dalam tas perempuan dengan tampilan seperti merak itu.
“Helooo schat… “ tertahan sebentar, kemudian dilanjutkannya lagi. “Ini lagi sama Mire… kasian dese booo… lakinya kesangkut jendes… nih ada disebelah ik… eh Mi… jij mau ikutan kita gak? Kita mau serbu rumah itu jendes siang ini booo…. Didaerah Kali deres… daerah gak elit gitu deh… tapi mau gak mau… biar kapok dese…ik juga belum tau masalah sebenernya apa, abis Mirenya mewek melulu nih… tapi ya namanya juga sama temen, siapa yang gak kasian liat dia… makanya mau ik gebuk itu pere… biar kapok…pasti pere kampung deh… biasalah apa lagi kalo gak ngejar duit…  “
Yu Lasmi mencuri pandang lewat ekor matanya. Telinganya tidak lepas mendengarkan ocehan perempuan yang asik mengipas-ngipas masalah.
“Jangan sebut nama ik Jane deh… kalo ik gak bisa selesaiin masalahnya si Mire. Udah… buruan jij kesini.. ik tunggu ya... diwarung gado-gado ujung jalan. Terpaksa juga ini kita makan disini ya Mir… jam segini restaurant belum ada yang buka… ya gak apa-apa deh… sekali-sekali ngerasain makanan sampah… hahaha…. Makanannya orang susah….”
“Waduuuuuuh…. “ Kata Yu Lasmi dalam hati sambil agak tersinggung juga dikatakan gado-gado sampah. Dalam hatinya berkata, “Wong kucing cuma ngendus belum nyaplok trasinya aja sudah tak lempar balok kok…. Bisa-bisanya gado-gadoku dibilang sampah… Sabar…. Sabar…. Kamu itu yang otaknya isinya sampah… Wong masalahnya aja belum tau kok udah main gebuk. Nuduh orang cuma ngejar duit lagi… astagaaaa… sabar yo Lasmi… sabar…”. Yu Lasmi segera menyelesaikan pesanan kedua ibu-ibu itu dan meletakkan piring dihadapan mereka.
“Ini yang gak pedes gak pake lontong…. Yang ini pedes pake lontong ya bu… selamat makan… oh ya… itu krupuk putih ada di kaleng ya…” Saji nya dengan tetap ramah.
Perempuan yang bernama Jane yang masih memegang telpon genggamnya hanya mengibaskan tangan. Sementara si mewek Mire hanya diam saja, kemudian mulai menarik piring gado-gado lebih dekat. Yu Lasmi tersenyum melihat kelakuan kedua perempuan tadi. Dalam pikirannya… “Aaah… ya bagaimana laki-laki betah deket sama ibu-ibu eeeh… madam-madam ini, wong omongannya kok gak ada yang manis… semua bawaannya emosiiiii terus”.
Jane mematikan telpon genggamnya, dan memasukkannya kedalam tas.
“Eh Mir.. si Mia mau nyusul… jadi bisa kita labrak bertiga nanti si pere sundal itu…” Kata Madam Jane selesai pembicaraannya dengan Mia, yang nama aslinya Salmiatun.
Mire masih diam.
“Emangnya jij mergokin gitu… Bang Akmal sama itu pere?”
Mire menggelengkan kepala.
“Lha trus…?”
“Sudah sebulan ini ik minta dibeliin cincin… yang itu lho Jane… yang Ik pernah bilang itu… model cincin berlian terbaru kan sudah keluar … Model Esperanza… ”
“Hoooo… yang model baru itu…iya… iya… trus…”
“Ya trus tetep abang gak beli-beliin… ik kesel laaah…. Katanya belum ada uangnya… mosok, dia habis beli mobil baru, bilangnya gak ada duit…”
“Trus…”
Yu Lasmi terkaget-kaget mendengarkan omongan meraka dibelakang gerobaknya, dirinya pura-pura sibuk mengelap-ngelap piring yang sebenarnya masih bersih. Cuping telinganya tidak lepas mendengarkan pembicaraan mereka, yang sambil asik mengunyah gado-gado sampah… istilah si burung merak itu.
“ Ya trus ik ngoprek tasnya bang Akmal… nemu struk dari toko berlian…”
“Nah tuh … dese beliin …”
“Tapi bukan buat ik
“Lhaaaa…. Buat siapa dong…?” Tanya Jane sambil melotot-lotot.... Astaga… cocok banget deh aaah… buat pemeran figuran bagian tukang kompor di sinetron… jadi cerita makin memanaaaaas…. Jadi rating penonton makin meningkat… hedeeeew….
Jij tau dari mana kalo itu bukan buat jij?”
“Ya tau laaaah…. Mana mungkin abang beliin aku yang murahan gitu… Cuma tujuh juta lima ratus…. Yang ik mau kan bukan yang itu….”
“Waduuuuh…. Tujuh juta lima ratus dibilang murahan….” Kata Yu Lasmi dalam hati… “wah ... itu uang semua apa pake campuran daun rambutan ya….?”
“Abang gak pernah beliin ik cincin yang murahan gitu… pasti semua diatas duapuluh jutaan… jadi ik curiga… itu pasti bukan buat ik… lagian Esperanza itu harganya limapuluh enam juta… mosok jauh banget … lima puluh enam, jadi cuma dibeliin yang kelas tujuh jutaan… apa kata duniaaaa kan Jane… yang ik pake buat harian kaya ini aja gak kurang dari duapuluh juta Jane…keterlaluan kan si abang” sambil terbata-bata Mire menunjukkan cincin yang digunakan sambil menyuap gado-gadonya.
“Waduuuuh…. Buat cincin aja limapuluh enam juta… Masya Allah…” kata Yu Lasmi lagi dalam hati.
“Waaaah udah gak bener deh bang Akmal kalo gitu… Ik aja kemaren dibelikan sama kang Asep murah sih…Cuma sekitar tiga puluh jutaan… udah keselnya minta ampun….” Kata madam Jane yang ternyata nama aslinya Nurjanah… Lha kok Yu Lasmi tau…? Ya tau lah… wong tadi sempat telpon lagi buat konfirmasi passport, mau terbang ke Honolulu, dia nyebut namanya Nurjanah… hasyaaaah… Nurjanah kok iso dadi Jane lho yaaaa…..
“Waaah bener…. Pasti buat si pere itu… soalnya kalau buat kita kan udah gak mungkin kan Mir…?” Jane kembali membuka kipasnya, sambil tangan kanannya menyuap gado-gado.
“Tuh kan… bener kan… cocok dia… kalau jadi peran pembantu antagonis, bagian manas-manasin…” Batin hati Yu Lasmi… Ealaah… Yu Lasmi kok ya tau istilah peran antagonis lho yaaaa…. Opo kuwi Yu….????
“Pere itu kan pere kelas kere…. Jadi kalau dikasih yang harga segitu udah kaya ketiban rejeki dari langit kan Jane…” Jawab Mire sambil menyeka bumbu kacang yang celemot diujung bibirnya.
“Embeeeeeer…. Dese pasti udah girang banget ya… secara…. Gak mungkin lah kalo gak karena sama bang Akmal dese bisa pake cincin berlian… Tapi ngomong-ngomong… jij yakin kalau cincin itu buat si pere itu? Jij kenal gak sama pere itu? Jij tau kalau cincin itu buat pere itu dari mana? Jij… bla… jij… bla… jij…. Bla….” Hujan pertanyaan untuk madam Mire dari madam Jane alias Nurjanah.
“Belum… ik gak tau… ik kira-kira ajah… “
“Maksudnya….?” Jane mengernyitkan dahinya dan yang ditanya hanya menaikkan bahunya. Yu Lasmi dalam hati berkata, “Cilaka, kalau ternyata sudah dilabrak dan ternyata salah… jiah, malunya luar biasa… kok bisa begitu ya…” Yu Lasmi berpikir sambil pura-pura merapikan sayur-sayurannya. Walaupun tetap … telinga bagai radar siap mendengarkan lanjutan kisah kedua madam yang sedang frustrasi dihadapannya.
“Sebenernya, ik sudah temukan buktinya… nih…” Mire menyerahkan foto kepada Jane. Terlihat gambar dengan latar belakang sebuah kamar rumah sakit.
“Ik nemu ini ditas tangannya bang Akmal. Ini waktu mertua sakit di kampung. Ini pere jendes itu… ternyata udah dibawa sama abang ke kampung… sakit ati gak sih ik… Abang ternyata naik jabatan di kantor dan ini fotonya… yang diajak pelantikan malah si pere jendes ini… bukan ik… itu kan udah mengibarkan bendera perang namanya kan…? Nih liat… sama kan orangnya… yang di rumah Sakit sama di foto kantor ini…” Sambil menyerahkan foto lainnya lagi.
“Iiiiih… iya juga Mir… ikutan panas ik deh…” Jane membelalakkan matanya.
“Coba kalau jij jadi ik… gimana rasanya… ancur kan, Jane….?” Jane pun menganggukkan kepalanya kuat-kuat…
“Ik mulai lihat perubahan bang Akmal akhir-akhir ini. Jangankan diajak liburan ke London, ke Hongkong waktu ada sale aja gak mau. Alasannya sibuk. Padahal di London lagi ada obralan kan bulan lalu itu…” Mire menghela napas.
“Hoooo… iya bener… “
“Belum lagi kemarin, Ik bosen sama dekorasi kamar… ik ajak ke Da’Vinci… eeeeh malah pulang kampung ke Makasar. Emang sih mamak mertua masuk rumah sakit… tapi itu kan urusan dia… entar kek, kalau udah selesai belanja baru berangkat,  jadi Ik belanja furniture jadi gak sendirian. Ya ini… foto ini waktu ik lagi susah-susah pilih-pilih perabotan… eeeh gak taunya … dia lagi gandeng jendes ke mamaknya… dasar laki-laki… brengsek…Diem-diem, belaga manis-manis, gak taunya selingkuh. Apa sih kurangnya ik kalau dibandingin sama pere ini coba…. Pere kampung, jendes lagi…”
“Lagian kenapa Jij gak ikutan pergi tengok mertua?”
“Iiiih…. Ngapain? Mertua Ik cerewetnya selangit… ih males… biar aja abang sendiri yang urus itu mamaknya…ik gak sabar ngadepin mertua… males banget… ”
“Waduuuuh… lha gimana gak ditinggal selingkuh kalau begitu ya…” bisik Yu Lasmi dalam hati.
Ik juga mengerasain perubahannya di ranjang… belakangan ini bang Akmal dingin… dulu-dulu biasanya kalau ik minta, selalu dikasih… ini pake alesan… capek lah, pusing lah… gimana gak emosi coba….?”
“Iiiih kalau ik sih, kalau kang Asep gak colek ik dua hari aja… heeeem kepala ik mumeeeet rasanya, bawaannya emosiiii… bang Akmal udah mabok kepayang sama tuh jendes berarti Mir”
“Ya pastinya… pingin ik goreng itu pere… bangsaaat… dan yang paling nyakitin, bang Akmal suka salah sebut… dia kan panggil ik kan mam ya Mir… eeeh suka keceplosan panggil nduk… emangnya ik genduk-genduk tukang jamu apa…? Dasar… begitulah kalo selingkuh sama pembantu… “ cerocosan disertai dengan derai air mata tak terbendung teruuuus saja mengalir… Yu Lasmi geleng-geleng kepala.
“Berapa semua Yu….” Tanya Madam Jane.
“Gado-gado dua, ambil kerupuk gak bu?”
“Gak… gak… kerupuk cuma bikin ribut…” jawab Jane…
“Hedeeeew… biasa aja kali jawabnya…. Gak usah pake tarik urat begitu…” Bisik Yu Lasmi dalam hati, walaupun bibirnya tetap sungging senyum.
“Hooo… iya… iya… gado-gado dua, jadi duapuluh ribu…”
“Iiiiih… mahal amat … duapuluh ribu… dideket rumahku, sepiring cuma enem ribu…. nih, lima puluh kembali tigapuluh…” kata madam Jane sambil menyerahkan uang lima puluh ribuan. Yu Lasmi menerimanya dan segera memberikan uang kembali sambil mengatakan “Terima kasih banyak ya bu… sering-sering mampir ya…” katanya tanpa lupa melempar senyum. Keduanya tanpa menoleh lagi segera masuk kedalam mobil.
Togar segera menghampiri yu Lasmi, “Ah… ngeri kali itu mereka tadi… eeeh Yuk… ini fotonya tertinggal dimeja… “ Togar memandangi foto tadi. “Baaah… Jauh kali lah bedanya, perempuan yang di foto ini dengan ibu yang menangis-nangis tadi… cantik yang inilah… muatan local aslinya yang nampak.. kalau ibu yang tadi, cantik karena poles-poles itu… mana pelit lagi… katanya cincin berliannya harganya limapuluh juta… mosok beli gado-gado sepiring sepuluh ribu aja, dibilang mahaaaaal…. Baaaaah ”
“Husssh… kamu ini… kok ikut-ikutan menilai tho… siapa yang suruh kamu ikut-ikutan kasih komentar….” Jawab Yu Lasmi mendekati Togar, dan ikutan melihat foto-foto yang tertinggal.. Yu Lasmi ternyata juga penasaran sama foto yang tertinggal itu.
“Waaah, lah kalo aku jadi suaminya… sudah langsung tak pecat itu kalau istriku begitu. Lha wong sak enak nya sendiri gitu kok minta disetiai sama suami… gak usah pake lihat foto itu… mau kaya apa perempuan selingkuhannya, kalau aku kok ya masuk akal kalau suaminya selingkuh. Itu ibu yang kepetan (kipasan=menggunakan kipas) terus itu tadi… suaminya pasti yo selingkuh itu… belum ketauan aja… “ Sarwono mendekat, dan kemudian duduk dibangku depan gerobak.
“Eaaaalaaah… kamu kok ya nambah-nambahi…. Ikut-ikutan manas-manasi”
“Lho… ini tenan (bener) lho yu… aku saja yang ndengerin capek kok, yu… opo lagi suaminya… ya pantes lah kalo suaminya jadi kucing garong, makan dirumah tetangga…enakan makan ditetangga yang cuma ikan asin, daripada makan makanan mewah dirumah sendiri tapi rasanya paaaiiiiit….. “
“Huuuussss…. Kamu ini kok enak aja… ngatain orang Kucing Garong..” Yu Lasmi menepuk pundak Sarwono.
“Iya… akupun pening dengarnya, berlian lah, perabotan lah… Hongkong, London… tapi waktu mertua sakit, gak mau tengok… Baaah…. Janganlah si Tiur begitulah… bisa selingkuh juga aku nanti…”
“Oaaaalaaah Togaaaar… Togar…. Wong cuma tukang ojek aja kok pake selingkuh… besok pagi mau makan apa aja masih bingung, kok mau selingkuh…” Sarwono menimpali. “Tapi bener juga kata Togar yu… Mumet ndengernya… Trus ketimbang sepuluh ribu aja kok ya dikomentari… “
“Eeeh kalian ini… denger ya… itu tadi bisa dipake buat contoh… yang paling penting dalam berumah tangga  itu adalah niatan untuk mau. Niatan untuk mau saling mencintai, saling mau menyatu dan yang lebih penting lagi adalah… mau saling terbuka… kalau suami istri itu mau saling terbuka, saling mau tau apa kebutuhan masing-masing, misale suami mau tau istri butuhnya apa, istri juga mau tau suami butuhnya apa….  ya sudah pasti harus disesuaikan dengan kemampuan lho ya… terus saling mau dan bisa menerima apa adanya, saling mau ngerti, saling mau memahami, saling mau mengisi…. Karena gak semua pasangan juga mau … mungkin bisa saling ngerti… tapi sebenernya belum tentu mau… jadi bentuknya adalah berkorban… naaah itu yang trus bisa jadi masalah…. Dalam hubungan berumah tangga itu jangan pernah merasa bahwa itu semua dilakukan sebagai sebuah pengorbanan… susah itu… kalau yang namanya berkorban, itu ada batasannya, ada sesuatu yang dikorbankan… sementara kalau cinta, itu bukan pengorbanan, tapi itu semua harus dilakukan dengan kesadaran, kebebasan, ketulusan dan senang hati…. Jadi hubungan antara suami dan istri itu tidak menuntut pengorbanan lho sebenernya… tapi membutuhkan … ya itu tadi… saling mau untuk membuka diri… Wis tho… percaya sama aku…. Kalau kalian seperti yang kuomongin tadi… yakin… gak akan ada itu… selingkuh-selingkuhan kaya itu tadi… wis sana… pada kerja lagi… biar bisa dapet hasil, trus bisa kasih oleh-oleh buat istri-istrimu… hayoooo… Sarwono, Togar… inget pesenku… istri-istri kalian itu disayang… ya… jangan mentang-mentang laki-laki trus mintanya diladeni terus…. Perempuan itu cuma butuh disayang… diperhatikan… dicintai… wiiiiis sana… aku kok malah pidato terus ini…” Yu Lasmi menutup bicaranya dengan mengangkat piring-piring kotor yang masih tergeletak dimeja gerobaknya, memunggungi Sarwono dan Togar yang masih mencerna apa maksud omongan Yu Lasmi tadi…

Medio Mampang, tulisan tak terselesaikan sejak tahun 2008… (Fiiiuh…Kemane ajeeeee….?)

Diselesaikan Tgl 31 Juli 2013




24 July 2013

Gado-gado Yu Lasmi ; Bingung Mas....



Yu Lasmi si penjual gado-gado di ujung perempatan gang itu, tidak pernah kesiangan. Ia selalu sudah siap dengan segala macam sayur-mayur bahan gado-gadonya sejak matahari meletik di pagi hari dan baru kemas-kemas pulang setelah matahari mulai condong ke barat.
“Kok rajin banget sih Yu… pagi-pagi selalu sudah buka” Tanya Amin si tukang ojek, sambil menyedot rokoknya hingga kempot.
“Laaah… bang Amin ini gimana toh… orang itu kadang suka bingung cari sarapan. Pagi-pagi suka bingung cari warung, belum ada yang buka…”
“Lah, Yu… apa ya gado-gado pantes toh buat sarapan… “
“Yo pantes-pantes aja toh bang, wong buktinya orang ya antri mau pesan gado-gadoku buat sarapan juga lho…”
“Eh.. jangan salah, Min. Kalo gado-gado Yu Lasmi ini cocok-cocok aja buat makan disetiap waktu… nggeh mboten Yu? Kamu tau nggak, Min, orang nyari gado-gadonya Yu Lasmi bukan cuma karena rasanya saja, tapi juga gara-gara Yu Lasminya… gimana gak ngantri wong yang jualan uuuayuuuu tenan…” Sarwono ikutan bicara.
“Wezz gombal kamu Sar, kamu ngomong gitu biar dapet sarapan gratis, yo Sar” Yu Lasmi tersipu.
“Mboten, Yu… ini bener. Wong saya itu kemarin, pagi-pagi nganter tamu ke daerah Tomang sana… kan jauh toh ya. Lha kok waktu mau balik, ada penumpang yang minta dianter ke sini, cuma gara-gara mau beli gado-gadonya Yu Lasmi. Waktu aku tanya, lho tau gado-gado Yu Lasmi juga toh mas? Trus dia jawab, ya tau toh mas… wong gado-gado itu gak cuma bikin kenyang perut, tapi juga bikin kenyang mata… Trus kutanya lagi… bikin kenyang mata gimana toh mas? Dia jawab lagi… lha kalo yang jual semlohe begitu kan itu namanya kenyang lahir bathin toh mas… itu dia… mantab kan? Bisa buat sangu seminggu. Min… bayangin dari Tomang lho… nyampe kesini, Cuma mau makan gado-gado sambil nontonin Yu Lasmi ngulek… weeeuedaaan tenan…”
Lambe mu, Sar… wis kamu mau apa? Pedes atau ndak?” Sambil pura-pura merengut, padahal dalam hati ge er juga….
“Waduuuuh …. Alhamdulillah… aku dapet sarapan ini? Yo jangan pedes toh Yu… wong pagi-pagi gini… bisa panas nanti perutku sampai siang…” jawab Sarwono langsung mendekat ke gerobak Yu Lasmi… Lumayan, dapat sarapan. Tapi anehnya Sarwono gak pernah tega kalau mau nge bon. Padahal Yu Lasmi sudah beberapa kali bilang kalau belum bisa bayar, bisa di catat saja dulu. Tapi ya namanya juga Sarwono, gak pernah bisa kalau gak bayar, malah kadang harga gado-gado yang cuma lima ribu tanpa telur, atau enam ribu pake telur itu bisa jadi dibayar sepuluh ribu tanpa kembali. Mantab kan? Tapi kalau tidak pake uang kembali seperti itu, Sarwono biasanya dikasih gratis krupuk, biar makan bisa jadi lebih meriah kata Yu Lasmi. Weleeh...
“Yu… gado-gadonya dua…” Pinta seorang laki-laki perlente bersama seorang temannya yang baru saja turun dari mobilnya. Wanginya luar biasa, aroma parfum Antheus keluaran dari merk Channel… Heeem … gak banyak yang tau aroma itu. Lha kok Yu Lasmi tau ya?  Hehehe ….
“Oooh.. iya mas, pedes ndak?” Tanya Yu Lasmi sambil melempar senyum manis. Senyum kepada pelanggan itu harus hukumnya bagi Lasmi… namanya juga orang dagang… ya toh…
Kamu pedes gak?” Tanyanya pada laki-laki kawannya yang sudah duduk di bangku panjang.
“Dikit…”
“Sedeng saja ya mas…kalau mas yang ini?” sambar Yu Lasmi.
“Sama in aja lah…”
“Ooh iya mas… silahkan duduk dulu. Sebentar ya saya buatkan.”
Laki-laki yang tadi berdiri disamping Yu Lasmi membuka kaleng krupuk, mengambil krupuk yang berwarna putih itu dan segera menyusul duduk dihadapan kawannya yang sudah asyik tenggelam oleh berita-berita di Koran pagi, yang diambilnya dari meja panjang.  Sebenarnya Yu Lasmi tidak pernah menyediakan koran di meja warungnya, tapi ada saja loper koran yang meletakkannya disana. Akhir bulan, entah siapa juga yang membayar tagihan korannya, sampai sekarang Yu Lasmi sendiripun tidak pernah paham.
“Walah… partai apa lagi… ini? Milih logo kok ya aneh-aneh… kepala kucing. Apa coba maknanya?” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lah biasa kan… demokrasi… semua boleh punya aspirasi. Kalau merasa aspirasi tidak terpenuhi… ya bikin partai lagi…”
“Heem… iya ya… trus kalau sudah bikin partai baru, dan gak sepaham, trus bikin partai tandingan…”
“Ya iya… kaya partai yang tadi kamu lihat… apa? Partai kucing? Kalau nanti pecah, namanya jadi Partai Kucing tandingan… seru juga lho, Men…Atas nama demokrasi toooh? Sah-sah saja…”
“ Heeeh… demokrasi kok malah jadi kaya main-mainan aja…”
“Itulah… trus masyarakat dicekokin harus milih… lha… nongol aja barusan, gimana orang bisa kenal? Pe de banget?”
“Sebentar lagi banyak muncul selebritis-selebritis baru nih… semua orang balapan masang foto diri… wah… makin bingung. Akhirnya malah milih gara-gara ganteng atau cantiknya aja, bukan karena partainya…”
“Ya bisa jadi… atau malah nggak milih sama sekali… lha wong pusing mau milih yang mana…”
“Semua partai pasti tujuannya baik toh?”
“Lha ya harus yang baik-baik toh kalau mau nyusun visi misi partai…”
“Tapi kita gak tau pelaksanaannya kaya apa…”
 “Bisa jadi… itu kawan kita si Haris, kemarin bilang sama aku, setiap liat titik strategis penginnya pasang baliho foto dia gede-gede. Biar orang kenal katanya. Berapa duit itu? Trus yang dipikirin gimana caranya untuk bisa pasang foto gede-gede. Bukannya mikirin program kerja yang bisa ditawarkan demi memenuhi kebutuhan rakyat itu apa, tapi malah mikir gaya berfotonya gimana?”
“Eh … kalo Haris kan memang berduit, man… Biarin aja…”
“Lah trus kalau caleg-caleg yang lain itu gimana? Apa ya semua orang punya duit?”
“Ya itu resiko dia lah… pinter-pinternya dia cari sponsor… semua itu kan tergantung kepentingannya…”
“Sedih juga…”
“Kenapa harus sedih…?”
“Apa lagi kepentingannya sekarang ini… kalau nggak UUD…?
“Ujung-Ujungnya Duit maksudmu?”
“Ya iyalah… mana ada sekarang orang yang mbahas UUD itu Undang-Undang Dasar. Sekarang ini kan singkatan UUD lebih dikenal Ujung-Ujungnya Duit. Coba tanya sana sama anak SD, mana mereka tau UUD itu Undang-Undang Dasar? Wong pelajaran sekarang ini gak lagi mikirin itu. Kemajuan dan perubahan jaman katanya.”
“Iya juga ya… “
“Ya memang iya… bukan sekedar iya juga… lihat saja, berapa persen sih dari caleg-caleg itu yang bener-bener bisa njalanin program kerja sesuai dengan kebutuhan rakyat? Yang jadi targetnya kan kesejahteraan… kesejahteraan diri sendiri maksudnya… bukan kesejahteraan rakyat. Lihat saja jumlah partai bererot begitu banyaknya. Berapa duit itu? Bikin partai kan gak kecil duitnya…? Semua aliran dana tumplek blek di situ. Bagaimana bisa mbangun Negara, wong uangnya malah muter disitu…”
“Yang katanya Pesta Demokrasi ya…”
“Ya iyalah… Berapa dana yang muter di tahun 2009 yang katanya atas nama pesta demokrasi.”
“Iya mas, mbok ya buat nambahin modal gado-gado saya aja ya mas, malah karuan. Kelihatan hasilnya. Atau buat nyekolahin anak-anak di kampung-kampung pelosok sana…” Celetuk Yu Lasmi sambil mengelap tangannya ke celemek dan siap mengangkat piring gado-gado pesanan.
“Nah… loe denger sendiri? Yu gado-gado aja cerdas… kok malah orang-orang ini balapan mau pada nge top sendiri. Ya nggak Yu?”
Yu Lasmi Cuma tersenyum sambil meletakkan piring ke hadapan kedua orang tamunya.
“Ealaaah, cerdas apanya toh mas, lha wong orang kaya saya ini kan mikirnya yang gampang-gampang aja. Buat masang foto sebesar rumah begitu ongkosnya seribu kali lipat dari modal saya bikin warung mas… padahal ya cuma dipasang sebentar. Selesai pemilu ya sudah harus dicopot-copot lagi. Abis itu orang sudah lali meneh… Kalau buat modal warung kaya saya gini kan bisa buat hidup sampai tua toh… Bisa buat nyekolahin anak… sukur-sukur bisa buat naik haji.”
“Nah kalo Yu sendiri mikirnya gimana?”
“Laaaaah, lha wong sekarang ini banyak banget mas partainya. Saya malah jadi bingung.  Apa itu namanya… orang yang pada mau jadi anggota dewan itu?”
“Caleg… Calon Legislatif, Yu…”
“Iya… itu …. Calegnya buaaanyak banget. Mulai dari tukang kulkas sampe artis semua bisa jadi caleg. Yang penting punya duit toh mas, supaya bisa pasang-pasang foto kaya gitu itu.”
Kedua tamu Yu Lasmi manggut-manggut. Tanpa ragu yu Lasmi kemudian ikut duduk di bangku panjang warungnya.
“Waah… aneh kok mas, kalo jaman saya kecil dulu, kita gak pernah tau siapa anggota dewannya. Sekarang ini foto-foto dipajang-pajang, tapi ya tetep juga kita ndak kenal siapa dia, tetep ndak tau…. Lha yang untung kan ya artis-artis itu toh ya mas. Mending jadi artis dulu aja baru ikutan nyalon jadi caleg. Jadinya sudah pasti menang toh? Lha sudah dijamin fansnya pasti milih dia… Nah… Kalo sudah menang trus bingung kalo dah disuruh kerja, lha wong biasanya cuma baca scenario bikinan orang, trus acting di depan kamera, sekarang disuruh beneran mikir sendiri. Opo yo iso kuwi? Jangan-jangan dia merasa lagi acting di depan kamera. Lah ini kehidupan nyata je… bukan cuma sekedar dongeng, kaya di sinetron itu tho…. Trus yang memang sudah sekolah tentang Ilmu Pemerintahan mau pada jadi apa ya mas? Sudah sampe banyak yang mati digebuki di sekolahnya… eeeeh… pas lulus kalah saingan sama artis-artis atau sama orang-orang berduit….”
“Ya itu yang namanya demokrasi, yu. Semua mempunyai hak yang sama untuk memilih dan dipilih.”
“Lha kalo partainya sebanyak gitu ya gimana milihnya toh mas?”
“Ya tergantung… Yu ini sreg dengan partai yang mana?”
“Laah lha wong semua partai itu ngomongnya sama je mas…pasti yang bagus-bagus toh ya…”
“Nah kalo menurut yu sendiri gimana?”
“Kalau saya sih mikirnya gini mas… Nuwun sewu lho ini ya mas, bukannya mau ngajari. Tapi ini cuma pikiran saya saja. Lha wong namanya juga cuma tukang gado-gado… ya pasti lah kepinterannya cuma sebates gado-gado aja…”
“Lho… gak apa-apa toh, yu. Justru omongan wong cilik seperti Yu Lasmi ini yang malah natural. Gimana Yu? Ayo ngomong aja…”
“Kalo menurut saya… ini menurut saya lho mas…”
“Iya Yu… kita berdua ndengerin kok…” Kata seorang tamu sambil menyuapkan gado-gado ke mulutnya.
“Partai itu ndak usah banyak-banyak, mas…”
“Heem… gitu?”
“Iyo… misale dua aja, atau yaaah paling tidak tiga lah kaya dulu itu lho… Pe tiga, Golkar sama PeDeI. Jadi kita nggak bingung. Itu tadi cuma contoh lho mas…”
“Heeem… Trus…”
“Nah kalau partainya cuma ada dua atau tiga… em… buat contoh aja nih mas, Indonesia ini partainya ada dua. Misalnya Partai Korek sama Partai Gunting. Nah… masing-masing partai itu maju atas dasar program kerja mas… “
“Wah Yu Lasmi ini ternyata paham juga dengan yang namanya program kerja toh yu…”
“Lah kalau saya kan ya cuma denger-denger saja kalau orang-orang ngomongin apa itu yang namanya program kerja. Program kerja itu kan Itu toh mas ya kegiatan-kegiatan gitu toh mas…?”
“Yah… kira-kira begitu lah… trus gimana yu?”
“Ya partai itu berdasarkan program kerja saja… jadi ndak usah banyak-banyak… bingung mas… yang milih nanti. Wong-wong cilik kaya saya ini kan ya kasian toh…”
“Maksud Yu Lasmi?”
“Gini… untuk masa pemerintahan lima tahun kedepan ini, misalnya Partai Korek menawarkan program kerja pembenahan pendidikan. Nah trus Partai Gunting menawarkan program pembenahan kesehatan. Nah kita masyarakat ini tinggal milih, kita cocok sama programnya siapa? Jadinya rakyat itu gak cuma dibujuk-bujuk untuk milih aja, tapi juga diajak mikir… Negara kita ini lima tahun kedepan mau mbenahi apa? Kesehatan atau pendidikan. Nah kan rakyat malah jadi pinter toh mas, wong diajak mikir.  Jadi partai itu gak usah yang muluk-muluk gede-gede maunya… misalnya pendidikan, ekonomi, kesehatan, agama, semua itu tadi dijadikan satu, mau di pek sendiri. Ya gak ketanganan toh kalau semua-semua mau ditangani?”
Kedua tamu Yu Lasmi manggut-manggut.
“Kan lebih baik mbenerin satu bidang aja tapi yang bener-bener gitu lho mas… dari pada maunya ini dan itu, tapi malah bingung mau mulai dari mana.”
Kedua laki-laki itu mengernyitkan dahinya.
“Nah trus juga kita ini kan katanya Pancasila, eh tapi ngomong-ngomong kita ini masih Negara Pancasila ndak toh mas?” Yu Lasmi mengernyitkan dahinya.
“Laaah, Yu ini gimana toh? Ya masih lah”
“Ndak, saya cuma tanya saja, takut salah… siapa tau sudah diganti. Lha wong sekarang ini kok kayanya Pancasila itu sudah kurang top kaya jaman saya dulu.”
Keduanya saling pandang. Nampaknya muncul keraguan dalam raut wajah mereka. Ada benarnya juga… kemana Pancasila sekarang ya?
“Trus hubungannya dengan Pancasila opo Yu?”
“Ndak… saya melihatnya, sekarang ini kok jadi ada partai-partai untuk golongan-golongan dan kepercayaan-kepercayaan tertentu. Wah ndak berani ah mas… nanti saya dianggap ngomongin… opo… mas… itu lho… sar..sar… gitu…
“Maksud Yu, SARA?”
“Lha… ya itu… SARA… salah omong malah warung saya digulung…”
“Ndak lah yu… ini kan cuma omong-omongan pinggir jalan aja… hayo apa yu?”
“Ndak… gini lho mas, kan lebih bagus kita ini rukun toh? Jadi ya ndak usah pake partai yang pake dasar agama-agama gitu. Soalnya agama itu artinya dalem banget je mas… urusan kita sama Gusti Allah. Yang penting kita ini hidup percaya dengan adanya Gusti Allah… mau pake jalan yang mana, itu kan pilihan kita sendiri toh ya…ndak usah bengak-bengok kita ini opo.”
“Ya… ya… trus hubungannya dengan partai tadi apa yu?”
“Ya itu tadi mas, jadi partai itu ya sifatnya umum saja, jadi malah bisa menjaring keinginan orang banyak. Ndak dibatesi. Misale… saya ini kan orang islam yo mas, tapi kalo saya tertarik sama programe partai yang bukan islam kan malah jadi keliatannya saya ini murtad toh…padahal yang saya turut itu bukan agamane tapi program partai ne… Trus misalnya, partai buruh lah, partai petani lah, partai gado-gado lah… lha nanti kan yang milih jadi cuma sedikit toh ya mas, lha kaya saya ini pasti akan milih partai gado-gado wong saya ini tukang gado-gado… lha gimana ngitung menang kalahnya? Malah jadi cuma sedikit toh dapet suarane… weleeeh kan jadi bingung toh mas? Gitu maksud saya… Wis ah mas… saya tak ngelayanin tamu yang lain dulu ya…” Yu Lasmi beranjak bangun dari duduknya dan kembali menuju gerobak gado-gadonya. Meninggalkan kedua tamunya yang masih melenggong melihat sosok Yu Lasmi si penjual gado-gado dengan segala ocehan panjang lebarnya. Ya pantas saja kalau banyak orang datang ke warung gado-gado Yu Lasmi ini. Ternyata tamu-tamu tidak hanya dilayani dengan sepiring gado-gado dengan ulekan yang yahud, tetapi juga diajak mikir, sambil ternganga pula melihat gaya bicaranya yang lugas… aaah mencurigakan juga ini si Yu Lasmi, bener sekedar tukang gado-gado… atau jangan-jangan dia komandan intelligent…. Hasyaaah… ada-ada aja….  Siapa yang mau… komandan kok disuruh pake celemek dan belepotan bumbu kacang….
“Oh ya mas, doyan susu kedele ndak? Kalau doyan, saya kasih panjenengan berdua susu kedele bikinan ku sendiri lho…”
“Wah ya doyan banget Yu… boleh-boleh…” Jawab salah satu dari kedua tamu yang tadi asyik bincang-bincang dengannya.
“Le… tolong ambilkan susu dele nya dua ya, buat mas-mas yang itu…” teriak Yu Lasmi pada Kamal, anak laki-laki tanggung yang membantu seluruh akrifitas warungnya. Asisten kalau kata orang gedongan.
“Men, kalau orang kaya Yu Lasmi ini dapet kesempatan sekolah udah jadi professor kali ya…”
“Hehe… bisa jadi… tuh duit daripada dibuang-buang buat bikin baliho mending buat nyekolahin anak-anak di pelosok sana. Biar orang-orang makin pada pinter. Yu Lasmi aja gak sekolah bisa mikir. Apalagi kalo dikasih kesempatan sekolah…”
“Jadi kamu mau pilih mana? Partai Korek atau Gunting?”
“Aku pilih partai gado-gado aja, kalau si Yu Lasmi ini bikin partai gado-gado… “ Jawab laki-laki itu sambil menyuapkan gado-gado pamungkasnya.


Mampang, 19 Desember 2008.
Tulisan ini kubuat sebagai kenangan pemilu 2009.
Saat lamaran beberapa partai  untuk bergabung terpaksa tak ku-amin-i….
Editing renew : Mampang, 24 Juli 2013