04 December 2013

Ketika IMAM begitu dekat dengan UMATnya.

Ketika kita melihat para IMAM berkhotbah di Altar, adalah menjadi sebuah gambaran bahwa IMAM adalah suara Tuhan yang menyampaikan Kabar Suka Cita dariNYA. IMAM selalu diposisikan untuk menjadi sesuatu yang berbeda dengan kami para AWAM. Sehingga IMAM sendiri kadang terlanjur dikondisikan hanya melulu urusan TUHAN dan KETUHANAN.
Namun ada fenomena menarik yang kualami saat Karnaval dan Festival Budaya Kampung Johar Baru, yang diselenggarakan pada tanggal 17 November 2013 yang lalu. Ketika itu seorang IMAM (yang biasa kami sebut dengan panggilan ROMO) yang sudah seperti bagian dari keluarga kami sedang berkunjung ke rumah dan melihat kesibukan yang dilakukan oleh anak-anak muda Johar Baru yang tergabung dalam SEKOLAH KOMUNITAS JOHAR BARU yang sering disebut dengan SKJB.
Beberapa pertanyaannya kujawab dengan penjelasan, bahwa kegiatan ini adalah kegiatan pemberdayaan masyarakat yang telah berlangsung lebih kurang satu tahun, dengan tujuan untuk membina dan membangun masyarakat Johar Baru yang terkenal sebagai Kampung tawuran, menjadi Kampung Pendidikan. Dan dari hasil audiensi dengan bapak Walikota, beliau menyampaikan sebuah slogan yang menurutku sangat tepat yaitu ; “INI BARU, JOHAR BARU…”. Kegiatannya terdiri dari pendidikan informal, yang dilakukan malam hari sepulang mereka bekerja atau berkegiatan. Pendamping mereka adalah kawan-kawan dari Jurusan Sosiologi yang dikomandani oleh Profesor Paulus Wirutomo. Ada banyak kegiatan yang dilakukan selama satu tahun ini, antara lain workshop stensil art, workshop gerak dan tari, theater, etnomusicology, mendongeng, usaha kecil dan banyak lagi. Kegiatan belajar ini ditutup dengan Karnaval dan Festival dengan menggelar arak-arakan dengan pakaian bermodel FESTIV bikinan mereka sendiri dari barang-barang bekas atau barang-barang yang mudah didapat, seperti daun kering, biji-bijian, botol plastic bekas, kantong plastic dan sebagainya.
Dari perbincangan panjang dengan Romo Mateus Batubara, OFM tentang kegiatan karnaval dan festival Budaya Kampung Budaya Kampung Johar Baru itu terbersit dalam benakku untuk mengajaknya berpartisipasi.
“Heeeem…. Gini…. Romo mau ikut kegiatan ini?”
“Maksudnya?”
“Begini… Romo ikut dalam kegiatan ini. Aku nanti nari, Mo…. Romo mau ikut?”
“Heeeh… saya tidak bisa menari….”
“Eeeeh jangan salah Romo… apa Romo pikir anak-anak itu bisa menari? Apakah Romo kira      
  mereka bisa main music? Semua berangkat dari nol Romo… hayoooo… ikut… Heeeem 
  pertanyaanku, Mo… apakah kalau ROMO itu trus gak boleh ikut kegiatan seperti ini?”
“Aaaah…. Tidak juga…. Bukan begitu… tapi permasalahannya, saya tidak bisa menari… nari apa 
 saya?”
“Nanti akan ada fragment CAK JB (Kecak Johar Baru)… Romo bisa ikut dalam fragment itu”.
“Aaaah… yang benar sajaaaa….”
“Ini bener Romo… “
Sejenak Romo Mateus Batubara, OFM tercenung… aku tidak tahu apa yang ada dalam benaknya… entah sekedar karena merasa tidak bisa menari… atau lebih karena posisinya sebagai seorang IMAM sekaligus BIARAWAN yang membuatnya agak risih juga untuk turut serta dalam kegiatan AWAM yang penuh hingar bingar… ada rusuhnya juga disela-sela bicara… dan segala macam hal duniawi lainnya… Mungkin juga… seperti biasa laaah yang kita tahu kan kalau Romo itu identik dengan suasana keTUHANan… Aku tidak tahu juga… mohon koreksi apabila saya salah ya Romo...
Tibalah waktunya latihan… Wayan, koreografer handal yang selalu dahsyat dalam berkarya mulai mengingatkanku untuk berlatih. Made istrinya beberapa kali mengatakan…”Bisa Romo… Romo bisa… gampang kok…” dan akhirnya Romo Mateus Batubara OFM pun melepaskan sandal alas kakinya…. Dan mulai ikut berlatih. Tidak tanggung-tanggung. Beliau berperan sebagai SRI RAMA, dalam Fragment tari KECAK yang berjudul KEMBALINYA SHINTA.
Cerita dalam fragment itu dimulai di Taman Kerajaan Alengka, tempat RAHWANA (diperankan oleh NGURAH) menyembunyikan SHINTA. SHINTA nampak bersedih, dan selalu terbayang wajah SRI RAMA suaminya. Ketika SHINTA sedang merindukan SRI RAMA, RAHWANA datang dan berusaha untuk menarik hati SHINTA. RAHWANA berusaha untuk memaksa SHINTA memenuhi keinginannya untuk menjadi istri. Saat RAHWANA sedang memaksa SHINTA, datanglah SRI RAMA yang melepaskan anak panahnya, dan kemudian berhasil membunuh RAHWANA. Dengan hati yang sangat bahagia, SRI RAMA mengajak SHINTA untuk kembali pulang. Dan fragment pun selesai.
Apapun cerita fragmentnya bagiku tidak penting. Tetapi yang membuatku angkat topi adalah kerendahan hati seorang IMAM untuk mau ikut bergabung bersama dengan kegiatan AWAM yang membuat kami menjadi merasa begitu dekat. Hingga ada seorang ibu yang mengatakan bahwa “Aaaah… ternyata, Romo itu bukan figur yang sombong ya… Romo kok mau ya…?” dan aku mendapat beribu komentar yang sangat positif dari banyak orang. Salah satunya adalah dari DR.FRANCISIA SEDA yang lebih dikenal dengan panggilan ERI SEDA. Beliau mengatakan, “Aaaaah… hebat sekali… seorang Romo telah membuktikan hidup mengGEREJA bersama dengan masyarakat biasa… saya salut sekali…”
Untuk Romo Mateus Batubara, OFM. Terima kasih banyak atas keikut sertaannya dalam kegiatan ini. Bagiku, ini adalah bukti bahwa seorang IMAM tidak hanya bisa berdiri di Altar Suci, tetapi juga mau untuk peduli dan bergabung bersama kami…. Mauliate Godang Amang Romo… Tuhan Memberkatimu… Amin.

Mampang, 04 Desember 2013

EM

25 November 2013

LITUHAYU (2)

SIANG

Aku hanya ingin ingat-ingat hidupku saat ini…
Tak ingin ku ingat lagi hidupku masa lalu…
Semua kini kumiliki…
Tak seperti dulu yang penuh debu…

Aku ingin lakukan apa yang aku mau…
Tak peduli suara sumbang dari kanan dan kiri…
Usahaku maju…
Itu memang karena otakku sendiri….

Jenang gempol[1], kopi pahit…
Jempol pahit….
Siapa yang tak kenal…
Silahkan coba, taruhan nyawa kalau tidak ketagihan….

Tapi bayangan perempuan itu…
Sering membuat otakku kaku….
Bedebah memang kamu….
Aku benci, aku benci kamu….

Lituhayu membenahi dagangannya sambil bibirnya menyanyi bait demi bait sambil rengeng-rengeng[2]. Kedai jempol pahitnya tidak pernah sepi pengunjung. Semua mencari jempol pahit untuk pengisi perut dipagi hari. Jempol pahit Lituhayu memang sudah terkenal sampai kemana-mana. Dagangannya ya hanya jenang gempol dan kopi pahit, jangan sekali-sekali minta gula padanya…
“Jenangnya sudah manis mas… “ jawabnya setiap dimintai gula. “Nek minum e nganggo manis meneh, mundak kelegen[3] mas…” ramah Hayu melayani tamu-tamunya. 
“Itu anak si Kumari, sudah besar ya… sudah gadis.” Lituhayu menganggukkan kepala setiap ada orang yang membicarakannya… kadang hanya melirik dan menarik sedikiiit saja ujung bibirnya.
“Yu… tumbas jenange[4]….”
Lituhayu mendongakkan kepalanya, saat suara merdu seorang gadis kecil berusia kurang lebih lima tahun memintanya untuk dilayani.
“Heiii cah ayu… kamu mau beli bubur?”
Anak kecil itu menganggukkan kepala sambil tersenyum. Nampak lesung pipi disudut bibir kirinya. Aaaiiiih cantiknya. Lituhayu memandangi anak perempuan cantik itu dengan seksama. Rambutnya lurus terurai, tidak terlalu panjang. Pipinya gembil, mengundang siapapun yang melihatnya pasti akan mencubitnya dengan gemas. Matanya bening, indah dan tajam, memandangi Lituhayu dengan tatapan yang dalam, sambil bibirnya tetap menyungging senyuman manis.
“Kamu sendirian?”
Anak kecil itu mengangguk.
“Mana mbokmu?”
Anak perempuan gembil itu menunjuk kearah jalan desa.
“Heeeem… gitu… kamu pasti lari duluan ya… “ kata Lituhayu sambil mengambil mangkok dan mulai menyendokkan jenang gempolnya. Menyelipkan daun pandan dan mengucurkan santan kemudian mengulurkannya pada anak itu.
“Heem… sini, duduk disini, disebelahku… aku tidak akan membuatkan kopi pahit untukmu. Tapi aku punya bekal wedang jahe. Kamu mau?“
Anak kecil itu mengangguk lagi, sambil mulai menyendokkan jenang gempol ke bibirnya yang mungil.
Lituhayu memperhatikan anak perempuan kecil itu dalam-dalam. Senang sekali ia menatap anak itu menyendokkan jenang buatannya dengan begitu lahap…. Angin semilir bertiup sepoi perlahan… heeeem… nyaman rasanya. Lituhayu meletakkan gelas wedang jahe disamping kiri bale-bale tempat duduk anak kecil itu, dan pula turut duduk disamping kanannya. Sepoi angin membelai-belai wajahnya, memainkan anak-anak rambut didahinya… sambil mengajak anak kecil itu bicara, Lituhayu mulai merasakan kedua kelopak matanya semakin lama semakin berat. Ia menghela napas sambil berusaha untuk membelalakkan matanya. Desir sepoi angin nyaman semakin terasa…. Dan semakin lama, Lituhayu merasa semakin nyaman, dalam bincang-bincangnya dengan anak perempuan cantik yang masih asik menikmati jenang gempol buatan tangannya. Pandangan matanyapun makin berat…. Makin berat… dan sosok anak kecil dihadapannyapun semakin kabur… kabur… kabur dan menghilang….
“Aaaah… aku rasanya mengantuk sekali…” kata Lituhayu pada anak kecil itu. Lanjutnya, “Kamu tidak dicari oleh simbokmu?”
“Tidak, dia sudah tahu aku mau makan jenang disini….” Jawabnya sambil meletakkan piring bekas makannya di tempat belakang bale-bale tempat Lituhayu mencuci bekas makan para tamu dan langsung mencucinya.
“Aaaah kamu anak yang manis, makananmu habis tanpa sisa… dan langsung kau cuci sendiri piring kotor ditempat aku mencuci piring. Aku tidak pernah melihatmu? Baru kali ini aku melihatmu dipasar ini. Kamu pasti bukan orang sini. Siapa namamu?”
“Simbok yang selalu mengajariku untuk mencuci piring setelah makan… dan simbok selalu berpesan untuk tidak menyisakan makanan… kasihan makanan yang disisakan… teman-temannya masuk perut dia ditinggal sendiian… nangis dia nanti… itu kata simbokku. Piring yang tadinya bersih… harus kembali bersih.”
“Hoooo gitu…” Lituhayu membelalakan matanya. Kalimat itu sepertinya sudah tidak asing ditelinganya. Terngian lagi suara simboknya, “Kasian dia wuk kalau disisakan dipiring… nangis dia nanti. Oleh karenanya, kamu harus bisa ukur sendiri, seberapa yang kamu mau. Jangan kurang jangan lebih… yang pas saja…supaya piring yang tadinya bersih, kembali jadi bersih…” kata Lituhayu dalam hati.
“Mana mbokmu?”
“Itu… simbokku disana… bekerja.”
“Kamu ditinggal sendiri…?”
“Aku harus bisa main sendiri saat simbokku kerja. Kadang aku ikut membantu simbok. Jadi aku tau apa yang dilakukan simbokku. Dan aku juga bisa melakukan apa yang simbok lakukan. Supaya aku bisa membantu, saat simbok membutuhkannku. Kadang simbokku pergi berhari-hari….”
“Lalu kamu sama siapa kalau simbokmu pergi?”
“Sama simbah. Aku diasuh simbahku kalau simbok pergi…”
“Aaaah kerterlaluannya simbokmu… pergi-pergi dan meninggalkanmu sama simbah.”
“Supaya bisa dapat uang untuk makan katanya… kalau simbok pulang, kadang bawa belanjaan banyaaaaaaak sekali… sampai gerobaknya tidak muat lagi.”
Lituhayu mengernyitkan dahinya. Ada gemuruh didalam hatinya… anak kecil itu melanjutkan kata-katanya…”Simbok banyak bawa barang-barang… pakaian, makanan, juga mainan… kata simbok ada yang dibelinya, tapi ada juga yang pemberian orang. Ada yang dari guru Sani, ada yang dari paman Bekti, ada yang dari mantri Gagak, ada yang dari Begawan Sabdo, ada juga yang dari Resi Bhrebhrama… itu yang diatas bukit sana padepokannya…”
“Itu semua untuk kamu?”
“Ya siapa lagi kalau bukan untuk aku? Aku hanya berdua dengan simbokku. Simbok bekerja keras untuk aku…”
Lituhayu mengernyitkan dahinya. Ingatan tentang masa kecilnya seakan hadir samar-samar. Anak perempuan kecil itu menoleh padanya. Lituhayu pun memalingkan wajah memandangi anak perempuan itu.
“Hampir sama dengan masa kecilku…” katanya perlahan. Namun kemudian sambungnya, “Tapi aaaah… aku lupa…” katanya lagi sambil membuang wajahnya kedepan.
“Kamu bukan lupa… tapi kamu sengaja melupakan…”
Lituhayu tersentak…. Secepat kilat ia menoleh pada anak perempuan itu. “Berani-beraninya kamu mengatakan bahwa aku sengaja melupakannya. Apa alasanmu mengatakan begitu. Tau apa kamu… dengan masa kecilku…?”
“Sssst…. Jangan ribut… “ katanya sambil menunjuk pada sesuatu. Lituhayu menoleh pada arah yang ditunjuk oleh anak kecil itu.  Terlihat seorang ibu muda, dengan bertelanjang dada memeluk seorang bayi yang juga bertelanjang dada. Terdengar lirih suara perempuan muda itu mendendangkan lagu menyayat hati…
“…. Gusti… duh Gusti junjunganku….
Bertahtalah KAU dialam semesta luas ini…
Ambilah sakit penyakit yang ada dalam tubuh anak perempuanku….

Wuk Hayu… anak simbok….
Pindahkan panas badanmu pada simbok… anakku yang cantik…
Lekat dadamu di dadaku…
biarlah sakitmu simbok yang rasakan…
biarlah sakitmu simbok yang panggul…

heeeem… heeeem…
sehat lah nak….
Sehatlah anakku…
Segarlah kamu…. Sesegar kembang melati…
Agar simbok bisa kembali melihatmu menyanyi dan menari….”


Lituhayu memandangi perempuan muda itu dalam-dalam… sekelebatan ia mengenali wajah ibu muda itu. Tapi dimana … dia lupa… dia juga mengenali langgam gita menyayat itu… tapi dia juga lupa… kapan…
“Kau tidak lupa Hayu… kau sengaja melupakannya…. Tak akan pernah bisa kita lupakan… apa yang telah terjadi dimasa lalu… kau hanya berusaha untuk menimbunnya dengan batu… agar tidak nampak dimatamu… tapi semua itu masih lah ada disitu… ditempat itu… semakin subur dan berakar… akan menjadi indah bila kau sirami dengan kasih… namun akan menjadi busuk… bila kau sirami dengan kebencian…”
Dada Lituhayu berdegup kencang… matanya memanas…. Ingin rasanya ia mencekik anak kecil yang saat ini berada disebelahnya… Lituhayu memicingkan matanya… memperhatikan betul siapa anak kecil disampingnya… dilihatnya sebuah toh[5] tepat dilipatan tangan kirinya… itu miliknya….
“Dari mana kau tahu namaku Hayu…. Siapa kamu…?”
“Jangan pernah kau memalingkan pandanganmu untuk mengelak dari apa yang pernah kau alami…”
“Siapa kamu…. Jawab aku….”
“Perempuan itu berjalan sendiri… menimang, menggendong dan menciummu sepanjang waktu… “
“Jawab pertanyaanku… Siapa kamu….”
“Bukan berarti tanpa kesalahan… banyak kesalahan pula yang telah dia lakukan… tapi bukan kamu yang berhak untuk mengadilinya… Dia telah menerima penugasan dari Pencipta untuk merawatmu… untuk menjagamu…. Untuk mendidikmu… dan dia terima itu…. Dalam usianya yang masih sangat muda…. Sendirian… tanpa bekal apapun… tanpa kawan… tanpa teman…dan... tanpa melawan...”
“Hentikaaaan…. Hentiiiiiikaaaan….. hentikan ocehanmu…. Sudah terlalu panjang kau bicara tak beraturan…. Jawab pertanyaanku… Siapa kamu….?”
Anak perempuan kecil itu menoleh pada Lituhayu …. Semilir angin mulai terasa lagi… menerbangkan anak-anak rambut anak perempuan kecil itu… terdengar lagi lantun suara ibu muda bertelanjang dada… “Pindahkan panas badanmu pada simbok… anakku yang cantik… Lekat dadamu di dadaku… biarlah sakitmu simbok yang rasakan…biarlah sakitmu simbok yang panggul…Sehatlah anakku, Segarlah kamu…. Sesegar kembang melati…Agar simbok bisa kembali melihatmu menyanyi dan menari….” . Tubuh Lituhayu terasa lemas bagai tak bertulang….
“Siapa kamu….” Lirih suara Lituhayu merendah, untuk kembali bertanya .
“Aku… aku adalah Lituhayu… masa kecilmu…”


Mampang, 25 November 2013

BERSAMBUNG





[1]. Jenang Gempol = seperti bubur sumsum.
[2]. Rengeng-rengeng = bersuara dengan suara pelan, sayup-sayup.
[3]. Mundak kelegen = jadi kemanisan
[4]. Yu, tumbas jenange = Kak, beli buburnya.
[5]. Toh = tanda lahir

20 November 2013

LITUHAYU (1)

PAGI

Jangan menyerah… Marilah segera melangkah…
Tak akan ada yang terjadi, kalau kita tidak mulai…
Aku sudah disini, dengan semua yang harus dijalani…
Bungkus semua itu dengan hati, untuk kemudian dinikmati….

Lantunan tembang sayup terdengar dibarengi dengan bunyi suara sapu lidi dihalaman rumah.
“Pagi-pagi sudah riang hati, kau Kumari…” Sapa seorang ibu yang lalu didepan halaman rumah itu, sambil mengusung kendi besar penuh berisi air.
“Menyambut hari baru harus dengan tekat dan semangat baru, yu… ini tadi ya cuma supaya tidak terasa saja kok, yu… kalau tidak sambil nyanyi… bosan aku nanti… dan rasanya jadi tidak selesai-selesai pekerjaannya…” Kumari tersenyum.
“Aku tidak pernah melihatmu sedih lho, Ri… sepertinya hidupmu itu seneeeeeng terus….”
Hayu yang masih meringkuk dibalai-balai kamarnya mendengar sayup-sayup suara simboknya berbicara dengan seseorang diluar sana. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, yang masih tak juga mau terbuka…. “Hooooaaaahem…”
“Lha memang aku ini seneng terus kok, yu… yang mau disedihkan tuh yo apa… wong ya hidup ya cuma begitu-begitu aja….” Jawab Kumari lagi, sambil merapikan gelung rambutnya yang mulai mengendur.
“Hayu mana?”
“Dia masih tidur… semalam dia sampai larut memasak buat dagangan. Jadi biarlah dia tidur … nanti kecapekan dia kalau pagi-pagi juga sudah kubangunkan…”
Hayu mengernyitkan dahinya. Simboknya ini selalu membuka aib didepan orang. “Bisakan… bilang kalau aku sedang didapur kek, atau sedang mencuci kek… kok jujur banget bilang masih tidur… Orang pasti berpikir aku ini pemalas… dan simbok adalah orang yang rajin… Huuuuuh….”
“Wis… nanti aku tak mampir… aku taruh air ini dulu ya…” Perempuan itu melanjutkan langkahnya.
Kumari melanjutkan pekerjaannya. Ia kumpulan sampah-sampah daun-daun kering… sambil melanjutkan lantunannya.

Bagai daun-daun kering yang kusapu ini…
Yang tadinya tunas, hidup dan lalu kering….
Haruskah aku gelisah… memikirkan perjalanan hidup….
Yang sudah pasti berakhir dalam jugangan[1]… seperti daun-daun kering ini…

Kumari membuang daun-daun kering yang tertumpuk dipengkinya kedalam sebuah lubang tempatnya membuang semua sampah dan kotoran.
“Aaaddddduuuuh….” Tiba-tiba terdengar pekiknya. Kakinya kotor menginjak tahi. Salah sendiri, jalan tidak lihat-lihat …. Wajahnya mengernyit sebal, matanya mulai mencari-cari ditolehnya wajah kekanan dan kekiri… Tapi… heeem apa yang terjadi. Gurat marahnya rekah berganti tarikan senyum dibibir sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sono… kamu tidak usah menarik perhatianku dengan kembangan bulu-bulu indahmu… kau kembangkan bulumu, agar reda marahku kaaaaan? Dasar mayuri[2] nakal. Kau lihat ini kakiku…. Penuh dengan tahimu… pancen[3] yo kewan[4]nek ngising sak nggon-nggon[5]…” gerutunya tapi tak bisa menghilangkan senyum diwajahnya melihat Sono burung meraknya memamerkan keindahan bulunya. Kumari memelihara sepasang burung merak putih. Yang jantan diberi nama Sono dan yang betina diberi nama Kweni.
“Mana Kweni…?” Teriaknya dari dekat jugangan. Sono tidak menjawab. Ya jelas saja tidak menjawab, dia hanya berjalan perlahan-lahan mengusung bulu-bulu putihnya yang indah. Tak berapa lama muncul dari belakangnya Kweni berjalan perlahan menghampirinya.
“Aaaaah… ini dia… Kweni, dari mana kamu.” Kumari jongkok dan segera membelai Kweni yang menghampirinya.
“Heeem… Dewata itu lucu… kalau manusia… perempuan yang berdandan cantik dengan pakaian yang megah. Bercelak dan bergincu tebal… supaya laki-laki tertarik. Tapi berbeda dengan hewan. Justru yang berbulu indah, yang menarik justru yang jantan… sementara betinanya aduuuuh eleeeek e… “ katanya sambil mengelus-elus Kweni.
“Kenapa begitu tho, mbok…?” terdengar suara Hayu yang ternyata sudah berada dibelakangnya.
“Heeeee… Wuk… sudah bangun… ??? sudah diminum air putih yang sudah simbok siapkan disamping bale-bale?”
Hayu menggelengkan kepala.
“Haduuuuh kok belum, tho nak… tunggu disini… simbok ambilkan. Bangun tidur itu harus segera minum air putih… supaya sengkolo[6] yang dibawa dari semalam tidak terbawa sampai hari ini.” Kumari berdiri dan segera melangkah.
“Tunggu… tunggu mbok… itu tadi… jawab dulu… kenapa kalau kewan itu yang jantan lebih bagus dari yang betina?”
“Hoooo itu… Gini… kalau kewan itu nak… beranak pinak itu ada musimnya. Jadi kalau memang sudah musim kawin… musim birahi, jantan-jantan itu berlomba-lomba memperlihatkan keindahannya dihadapan sang betina. Supaya betinanya tertarik dan mau kawin sama dia. Beda sama orang, yang dandan nditing[7] malah yang perempuan, supaya dipilih sama laki-laki. Kalau laki-lakinya, biarpun bosok[8] juga banyak yang mau asal kantongnya tebal. Soalnya kalau manusia itu tidak ada musim birahinya… manusia yang harus atur sendiri urusan birahinya. Kalau tidak bisa atur sendiri birahinya itu yang bahaya. Kalau kewan jelas, birahi ada musimnya… gak kaya manusia… sewaktu-waktu bisa birahi… disembarang tempat muncul birahi… lihat perempuan bening… langsung disikat… heeeem… malah lebih sopan kewan… kalau gak musimnya… ya anteng aja. “ Kumari kemudian berjalan menuju pancuran. Mencuci kakinya yang berlumuran kotoran mayuri, sebelum kemudian melangkah masuk kedalam rumah.
Hayu terpekur mendengarkan kata-kata ibunya. Kepalanya manggut-manggut. “Hoooo… begitu ya rupanya…” ia kemudian memandangi Sono yang masih berada ditempatnya sambil masih memamerkan bulunya. Tapi memang indah betul mayuri putih jantan itu… dibandingkan dengan Kweni, mayuri betina yang malah tidak menarik sama sekali. Hayu jadi ingat ketika pertama kali Sono dan Kweni menjadi bagian dari hidup mereka.
“Kumari… kubawakan kau sepasang Mayuri Putih… sebagai tanda kesungguhan hatiku mencintaimu. Ini adalah lambang cintaku yang putih bersih… oleh karenanya aku berkeliling dunia, mencari Mayuri putih yang sangat langka…” Teringat lagi Hayu akan kalimat Jagabaya[9] Boma yang berwajah bosok  seperti kata simboknya tadi dan beristri  sebelas itu. Sebelas itu yang bisa dihitung, yang tidak terhitung, walaaah… entah berapa…
“Terima kasih banyak Kang Boma… duuuuh indahnya. Terima kasih banyak ya…” Jawab simboknya kala itu, walaupun setelah Boma bosok itu pergi, simboknya bertanya… “Kita kasih makan apa ini mayurinya ya, wuk? Aku kok gak kepikir tanya tadi ya… Buat apa juga ini… malah ngeregeti[10]… wis sak adanya kita aja ya… lumayan buat duwen-duwen[11]… Orang laki kalau ada maunya… merayu setinggi langit… gayanya sebakul… lambene lamis[12]… “. Kata simboknya dengan nada tidak peduli. Aaaah…. Hayu tidak habis pikir, kalau tidak mau ya tolak saja… kenapa harus diterima. Membuat orang merasa kegeden rumongso[13]. Tapi itu pikirannya sekarang, sementara Sono dan Kweni sudah ada sejak dirinya berusia kira-kira sepuluh tahun… berarti mayuri-mayuri ini sudah berusia puluhan tahun… itu baru mayuri… belum “upeti-upeti” yang lain. Iiiih menjijikan… semua dari para laki-laki beristri. Beristripun tak cuma satu istri… beristri buannyak… dan simboknya selalu menerima semua upeti itu dengan senyum manis, wajah sumringah dan ucapan terima kasih yang mendayu. Huuuuuuh….. @#!!&^$???>….. Kembali dada Hayu bergejolak, napasnya sengal-sengal…. Bayangan perempuan itu muncul kembali. Membuatnya tersadar akan kebencian yang sudah merasuk, bercampur bersama darah dan air didalam tubuhnya. Melebur dalam napas, baur bersama semburan helaan napas yang terasa panas penuh getaran kebencian …. panaaaaas…. “Aaaaaaaah…..” teriaknya kuat-kuat… sambil kemudian berlari, naik keatas pohon, disana… diatas sana adalah tempat yang paling nyaman baginya.

Mampang, 20 November 2013

BERSAMBUNG



[1]. Jugangan = lubang tanah, untuk tempat sampah. Biasanya digali dihalaman rumah dan bila penuh kemudian ditutup untuk kemudian digali lagi lubang disampingnya atau dilahan sekitarnya.
[2]. Mayuri = burung merak
[3]. Pancen = memang
[4]. Kewan = hewan / binatang
[5]. Nek ngising sak nggon-nggon = kalau buang hajat disembarang tempat.
[6]. Sengkolo = sial
[7]. Nditing = berpenampilan rapi, tidak seperti sehari-hari
[8]. Bosok = busuk
[9]. Jagabaya = petugas keamanan
[10]. Ngeregeti = bikin kotor
[11]. Duwen-duwen = punya-punya
[12]. Lambene Lamis = bicaranya manis/merayu
[13]. Kegeden Rumongso = Gede Rasa/GR

19 November 2013

LITUHAYU

PROLOG

Malam itu hitam pekat… hujan seharian menyisakan angin dingin dan aroma genangan air. Lituhayu seorang gadis cantik duduk terpekur  disalah satu ranting lebar diatas pohon  di belakang rumahnya sambil memandangi liuk tarian api pada obor-obor penerang jalanan. Setiap sore para abdi kerajaan memasang obor disepanjang jalan menuju perbatasan antara kerajaan dan desa. Mereka menancapkan obor itu berjarak tiga rentangan tangan. Pagi hari, saat ayam-ayam jago mulai menggepakkan sayap dan berteriak memanggil matahari, para abdi mencabut tiang-tiang obor untuk dibawa kembali ke kerajaan.
Hayu merasakan dadanya sesak, ia sendiri tak tahu apa sebabnya. Semakin hari, sesak itu semakin menyeruak dalam hati, hingga hilang tarikan garis senyum yang dulu selalu hiasi wajahnya.
“Hai Pencipta Bumi Fana…. Mana nyaliMu…. Tunjukkan padaku…” teriakannya menggema menyengat semua yang ada didekatnya. “Ingin kuhapus semua jejak langkah kaki yang pernah kulalui… Ingin kutapaki hidupku saat ini sendiri… tapi mengapa perempuan itu selalu mengikutiku…” dadanya naik turun ketika ia menyebut kata “perempuan itu”. Ada bongkahan batu besar yang seakan melekat erat dipunggungnya dan menjadi beban yang begitu berat baginya. “Aku tak ingin hidup dalam bayang-bayang perempuan itu…. Bangsaaaaat…. Semua orang memujinya, membangga-banggakannya…. Dimana aku…???” Hayu mendekap kedua lututnya makin erat. Menyusupkan wajahnya disela-sela kedua lingkar tangannya. Airmata banjir dari matanya… geram makin menambah deras airmata yang mengalir dari kelopaknya.  
Lantunnya perlahan :
Mengapa… semua mata hanya tertuju padanya… Lalu aku dimana?
Mengapa… semua berpesan padaku untuk menjaganya…. Lalu aku bagaimana?
Aku tahu dia memang perempuan sempurna….
Tapi aku hanya mau mengakui dalam hati…
Gengsi kalau sampai harus ucap dari celah bibir….
Biar semua terkagum padanya…
Tapi aku tidaaaaaak…. Karena aku yang dengar dengkur ngorok tidurnya… sangat mengganggu.
Tapi aku tidaaaaak…. Karena aku yang mencium bau kentutnya… busuuuuk
Tapi aku tidaaaaaak… Karena aku tau bau jigongnya…. Baauuu sirih yang menyengat
Dimana-mana orang mengaguminya…mulai dari pengemis pinggir jalan sampai para punggawa istana… semua berlomba menarik perhatiannya.
Mulai dari pemuda-pemuda desa hingga para Begawan… semua terpesona padanya….
Mereka terbuai dengan merdu suaranyanya….
Aku tidaaaaak…. Suaranya parau bagai teriakan elang kesakitan.
Aaaaaah ….
Mereka terpesona dengan liuk gemulai tubuhnya….
Aku tidaaaaak…. Tubuhnya tambun dengan perutnya yang buncit….
Mereka terpaku menatap matanya yang kata mereka indah….
Aku tidaaaaaak…. Perempuan itu selalu menyuruhku untuk memasukkan benang kedalam lubang jarum…
Mereka semua ternganga melihat senyumnya…..
Aku tidaaaaaak… senyumnya bak kuda mbengingeh[1] kelaparan…..
Bedebaaaaaaah……
Siapa bilang dia sempurna…..
Aku benci dia….
Perempuan yang selalu bermulut manis yang membuat kumbang-kumbang selalu beterbangan disekelilingnya…  Daaaaan perempuan itu menikmatinya…. Ciiiiih……

Tangisnya makin meledak… rambutnya kusut acak-acakan. Napasnya sesak bukan buatan. Hayu seakan-akan tak ingin hidup lagi. Ia ingin segera menyusul ayahnya yang telah pergi entah kemana.
Wuk[2] Hayuuuu…. “ terdengar suara lirih yang memanggilnya. “Hayuuuu…. Dimana kamu nak…?” Terlihat seorang perempuan setengah baya keluar dari dalam rumahnya membawa damar[3] ditangan kanannya. Perempuan itu mengangkat damar sampai keatas kepalanya untuk bisa mendapatkan penerangan yang lebih luas. Matanya memicing mencari-cari…. Dimana Hayu berada.
“Ya mbok[4]… sebentar… aku masih ada disini… sebentar aku turun…”
“Waaah… masih keasikan rupanya kamu diatas sana anakku… “ Perempuan itu segera menghampiri pohon tempat Hayu duduk diatasnya. Sambil mendongak memastikan Hayu berada disana, perempuan itu melanjutkan kata-katanya, “Hayo medak[5] nak… kita maem dulu… nanti kamu masuk angin…”
“Iya… simbok masuk dulu saja … ini sebentar lagi aku turun…”
“Ya sudah ya… simbok masuk… jangan lama-lama ya, simbok tunggu dalam… nanti dingin sayurnya kalau kamu terlalu lama…”
“Ya mbok… “
Perempuan itu melangkah kembali masuk ke dalam rumah. Digantungkannya damar pada tiang didepan rumahnya. Perempuan itu sejenak menghentikan langkah untuk menggelung rambutnya yang panjang yang mulai rontok pula beruban.
Lituhayu perlahan menuruni pohon tempatnya menceracau. Matanya yang masih nampak sembab dibasuhnya dengan air di pancuran dekat pohon. Air dingin yang mengalir dari sumber mata air pegunungan itu terasa sejuk dikulit mukanya. Ia berjalan masuk kedalam rumah, dan duduk disamping simboknya. Perempuan itu mengecup kening, sambil menyodorkan piring dari tanah liat pada Lituhayu anak kesayangannya. Darah dagingnya, hidup dan matinya… Dalam hatinya, terpukau melihat betapa cantik anak semata wayangnya. Sungguh tidak salah ayahnya dulu memberi nama Lituhayu, yang artinya adalah cantik… adalah rupawan…

Bersambung
Mampang, 19 November 2013






[1]. Mbengingeh = ringkik kuda
[2]. Wuk = panggilan sayang anak perempuan
[3]. Damar = pelita
[4]. Mbok / Simbok = Ibu
[5]. Medak = turun