PAGI
Jangan menyerah… Marilah segera melangkah…
Tak akan ada yang terjadi, kalau kita tidak mulai…
Aku sudah disini, dengan semua yang harus dijalani…
Bungkus semua itu dengan hati, untuk kemudian dinikmati….
Lantunan
tembang sayup terdengar dibarengi dengan bunyi suara sapu lidi dihalaman rumah.
“Pagi-pagi
sudah riang hati, kau Kumari…” Sapa seorang ibu yang lalu didepan halaman rumah
itu, sambil mengusung kendi besar penuh berisi air.
“Menyambut
hari baru harus dengan tekat dan semangat baru, yu… ini tadi ya cuma supaya
tidak terasa saja kok, yu… kalau tidak sambil nyanyi… bosan aku nanti… dan
rasanya jadi tidak selesai-selesai pekerjaannya…” Kumari tersenyum.
“Aku tidak
pernah melihatmu sedih lho, Ri… sepertinya hidupmu itu seneeeeeng terus….”
Hayu yang
masih meringkuk dibalai-balai kamarnya mendengar sayup-sayup suara simboknya
berbicara dengan seseorang diluar sana. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, yang
masih tak juga mau terbuka…. “Hooooaaaahem…”
“Lha memang
aku ini seneng terus kok, yu… yang mau disedihkan tuh yo apa… wong ya hidup ya cuma
begitu-begitu aja….” Jawab Kumari lagi, sambil merapikan gelung rambutnya yang
mulai mengendur.
“Hayu
mana?”
“Dia masih
tidur… semalam dia sampai larut memasak buat dagangan. Jadi biarlah dia tidur …
nanti kecapekan dia kalau pagi-pagi juga sudah kubangunkan…”
Hayu
mengernyitkan dahinya. Simboknya ini selalu membuka aib didepan orang. “Bisakan…
bilang kalau aku sedang didapur kek, atau sedang mencuci kek… kok jujur banget
bilang masih tidur… Orang pasti berpikir aku ini pemalas… dan simbok adalah
orang yang rajin… Huuuuuh….”
“Wis…
nanti aku tak mampir… aku taruh air ini dulu ya…” Perempuan itu melanjutkan
langkahnya.
Kumari
melanjutkan pekerjaannya. Ia kumpulan sampah-sampah daun-daun kering… sambil
melanjutkan lantunannya.
Bagai daun-daun kering yang kusapu ini…
Yang tadinya tunas, hidup dan lalu kering….
Haruskah aku gelisah… memikirkan perjalanan hidup….
Yang sudah pasti berakhir dalam jugangan[1]…
seperti daun-daun kering ini…
Kumari
membuang daun-daun kering yang tertumpuk dipengkinya kedalam sebuah lubang
tempatnya membuang semua sampah dan kotoran.
“Aaaddddduuuuh….”
Tiba-tiba terdengar pekiknya. Kakinya kotor menginjak tahi. Salah sendiri,
jalan tidak lihat-lihat …. Wajahnya mengernyit sebal, matanya mulai
mencari-cari ditolehnya wajah kekanan dan kekiri… Tapi… heeem apa yang terjadi.
Gurat marahnya rekah berganti tarikan senyum dibibir sambil
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sono… kamu tidak usah menarik perhatianku
dengan kembangan bulu-bulu indahmu… kau kembangkan bulumu, agar reda marahku
kaaaaan? Dasar mayuri[2]
nakal. Kau lihat ini kakiku…. Penuh dengan tahimu… pancen[3]
yo kewan[4]…
nek ngising sak nggon-nggon[5]…”
gerutunya tapi tak bisa menghilangkan senyum diwajahnya melihat Sono burung
meraknya memamerkan keindahan bulunya. Kumari memelihara sepasang burung merak
putih. Yang jantan diberi nama Sono dan yang betina diberi nama Kweni.
“Mana
Kweni…?” Teriaknya dari dekat jugangan. Sono tidak menjawab. Ya jelas saja
tidak menjawab, dia hanya berjalan perlahan-lahan mengusung bulu-bulu putihnya
yang indah. Tak berapa lama muncul dari belakangnya Kweni berjalan perlahan menghampirinya.
“Aaaaah…
ini dia… Kweni, dari mana kamu.” Kumari jongkok dan segera membelai Kweni yang
menghampirinya.
“Heeem…
Dewata itu lucu… kalau manusia… perempuan yang berdandan cantik dengan pakaian
yang megah. Bercelak dan bergincu tebal… supaya laki-laki tertarik. Tapi
berbeda dengan hewan. Justru yang berbulu indah, yang menarik justru yang
jantan… sementara betinanya aduuuuh eleeeek e… “ katanya sambil mengelus-elus
Kweni.
“Kenapa
begitu tho, mbok…?” terdengar suara Hayu yang ternyata sudah berada
dibelakangnya.
“Heeeee…
Wuk… sudah bangun… ??? sudah diminum air putih yang sudah simbok siapkan
disamping bale-bale?”
Hayu
menggelengkan kepala.
“Haduuuuh
kok belum, tho nak… tunggu disini… simbok ambilkan. Bangun tidur itu harus
segera minum air putih… supaya sengkolo[6]
yang dibawa dari semalam tidak terbawa sampai hari ini.” Kumari berdiri dan
segera melangkah.
“Tunggu…
tunggu mbok… itu tadi… jawab dulu… kenapa kalau kewan itu yang jantan lebih bagus dari yang betina?”
“Hoooo itu…
Gini… kalau kewan itu nak… beranak
pinak itu ada musimnya. Jadi kalau memang sudah musim kawin… musim birahi,
jantan-jantan itu berlomba-lomba memperlihatkan keindahannya dihadapan sang
betina. Supaya betinanya tertarik dan mau kawin sama dia. Beda sama orang, yang
dandan nditing[7]
malah yang perempuan, supaya dipilih sama laki-laki. Kalau laki-lakinya,
biarpun bosok[8]
juga banyak yang mau asal kantongnya tebal. Soalnya kalau manusia itu tidak ada
musim birahinya… manusia yang harus atur sendiri urusan birahinya. Kalau tidak
bisa atur sendiri birahinya itu yang bahaya. Kalau kewan jelas, birahi ada musimnya… gak kaya manusia… sewaktu-waktu
bisa birahi… disembarang tempat muncul birahi… lihat perempuan bening… langsung
disikat… heeeem… malah lebih sopan kewan…
kalau gak musimnya… ya anteng aja. “ Kumari kemudian berjalan menuju pancuran.
Mencuci kakinya yang berlumuran kotoran mayuri, sebelum kemudian melangkah masuk
kedalam rumah.
Hayu
terpekur mendengarkan kata-kata ibunya. Kepalanya manggut-manggut. “Hoooo…
begitu ya rupanya…” ia kemudian memandangi Sono yang masih berada ditempatnya
sambil masih memamerkan bulunya. Tapi memang indah betul mayuri putih jantan
itu… dibandingkan dengan Kweni, mayuri
betina yang malah tidak menarik sama sekali. Hayu jadi ingat ketika pertama
kali Sono dan Kweni menjadi bagian dari hidup mereka.
“Kumari…
kubawakan kau sepasang Mayuri Putih… sebagai tanda kesungguhan hatiku mencintaimu.
Ini adalah lambang cintaku yang putih bersih… oleh karenanya aku berkeliling
dunia, mencari Mayuri putih yang sangat langka…” Teringat lagi Hayu akan
kalimat Jagabaya[9]
Boma yang berwajah bosok seperti kata
simboknya tadi dan beristri sebelas itu.
Sebelas itu yang bisa dihitung, yang tidak terhitung, walaaah… entah berapa…
“Terima
kasih banyak Kang Boma… duuuuh indahnya. Terima kasih banyak ya…” Jawab
simboknya kala itu, walaupun setelah Boma bosok
itu pergi, simboknya bertanya… “Kita kasih makan apa ini mayurinya ya, wuk? Aku
kok gak kepikir tanya tadi ya… Buat apa juga ini… malah ngeregeti[10]…
wis sak adanya kita aja ya… lumayan buat duwen-duwen[11]…
Orang laki kalau ada maunya… merayu setinggi langit… gayanya sebakul… lambene lamis[12]…
“. Kata simboknya dengan nada tidak peduli. Aaaah…. Hayu tidak habis pikir,
kalau tidak mau ya tolak saja… kenapa harus diterima. Membuat orang merasa kegeden rumongso[13]. Tapi itu pikirannya sekarang,
sementara Sono dan Kweni sudah ada sejak dirinya berusia kira-kira sepuluh
tahun… berarti mayuri-mayuri ini sudah berusia puluhan tahun… itu baru mayuri…
belum “upeti-upeti” yang lain. Iiiih menjijikan… semua dari para laki-laki beristri.
Beristripun tak cuma satu istri… beristri buannyak… dan simboknya selalu
menerima semua upeti itu dengan senyum manis, wajah sumringah dan ucapan terima
kasih yang mendayu. Huuuuuuh….. @#!!&^$???>…..
Kembali dada Hayu bergejolak, napasnya sengal-sengal…. Bayangan perempuan itu
muncul kembali. Membuatnya tersadar akan kebencian yang sudah merasuk, bercampur
bersama darah dan air didalam tubuhnya. Melebur dalam napas, baur bersama
semburan helaan napas yang terasa panas penuh getaran kebencian …. panaaaaas…. “Aaaaaaaah…..”
teriaknya kuat-kuat… sambil kemudian berlari, naik keatas pohon, disana… diatas
sana adalah tempat yang paling nyaman baginya.
Mampang, 20
November 2013
BERSAMBUNG
BERSAMBUNG
[1]. Jugangan = lubang tanah, untuk
tempat sampah. Biasanya digali dihalaman rumah dan bila penuh kemudian ditutup
untuk kemudian digali lagi lubang disampingnya atau dilahan sekitarnya.
[2]. Mayuri = burung merak
[3]. Pancen = memang
[4]. Kewan = hewan / binatang
[5]. Nek ngising sak nggon-nggon = kalau
buang hajat disembarang tempat.
[6]. Sengkolo = sial
[7]. Nditing = berpenampilan rapi, tidak
seperti sehari-hari
[8]. Bosok = busuk
[9]. Jagabaya = petugas keamanan
[10]. Ngeregeti = bikin kotor
[11]. Duwen-duwen = punya-punya
[12]. Lambene Lamis = bicaranya
manis/merayu
[13]. Kegeden Rumongso = Gede Rasa/GR
No comments:
Post a Comment