20 November 2013

LITUHAYU (1)

PAGI

Jangan menyerah… Marilah segera melangkah…
Tak akan ada yang terjadi, kalau kita tidak mulai…
Aku sudah disini, dengan semua yang harus dijalani…
Bungkus semua itu dengan hati, untuk kemudian dinikmati….

Lantunan tembang sayup terdengar dibarengi dengan bunyi suara sapu lidi dihalaman rumah.
“Pagi-pagi sudah riang hati, kau Kumari…” Sapa seorang ibu yang lalu didepan halaman rumah itu, sambil mengusung kendi besar penuh berisi air.
“Menyambut hari baru harus dengan tekat dan semangat baru, yu… ini tadi ya cuma supaya tidak terasa saja kok, yu… kalau tidak sambil nyanyi… bosan aku nanti… dan rasanya jadi tidak selesai-selesai pekerjaannya…” Kumari tersenyum.
“Aku tidak pernah melihatmu sedih lho, Ri… sepertinya hidupmu itu seneeeeeng terus….”
Hayu yang masih meringkuk dibalai-balai kamarnya mendengar sayup-sayup suara simboknya berbicara dengan seseorang diluar sana. Ia mengerjap-ngerjapkan mata, yang masih tak juga mau terbuka…. “Hooooaaaahem…”
“Lha memang aku ini seneng terus kok, yu… yang mau disedihkan tuh yo apa… wong ya hidup ya cuma begitu-begitu aja….” Jawab Kumari lagi, sambil merapikan gelung rambutnya yang mulai mengendur.
“Hayu mana?”
“Dia masih tidur… semalam dia sampai larut memasak buat dagangan. Jadi biarlah dia tidur … nanti kecapekan dia kalau pagi-pagi juga sudah kubangunkan…”
Hayu mengernyitkan dahinya. Simboknya ini selalu membuka aib didepan orang. “Bisakan… bilang kalau aku sedang didapur kek, atau sedang mencuci kek… kok jujur banget bilang masih tidur… Orang pasti berpikir aku ini pemalas… dan simbok adalah orang yang rajin… Huuuuuh….”
“Wis… nanti aku tak mampir… aku taruh air ini dulu ya…” Perempuan itu melanjutkan langkahnya.
Kumari melanjutkan pekerjaannya. Ia kumpulan sampah-sampah daun-daun kering… sambil melanjutkan lantunannya.

Bagai daun-daun kering yang kusapu ini…
Yang tadinya tunas, hidup dan lalu kering….
Haruskah aku gelisah… memikirkan perjalanan hidup….
Yang sudah pasti berakhir dalam jugangan[1]… seperti daun-daun kering ini…

Kumari membuang daun-daun kering yang tertumpuk dipengkinya kedalam sebuah lubang tempatnya membuang semua sampah dan kotoran.
“Aaaddddduuuuh….” Tiba-tiba terdengar pekiknya. Kakinya kotor menginjak tahi. Salah sendiri, jalan tidak lihat-lihat …. Wajahnya mengernyit sebal, matanya mulai mencari-cari ditolehnya wajah kekanan dan kekiri… Tapi… heeem apa yang terjadi. Gurat marahnya rekah berganti tarikan senyum dibibir sambil menggeleng-gelengkan kepalanya. “Sono… kamu tidak usah menarik perhatianku dengan kembangan bulu-bulu indahmu… kau kembangkan bulumu, agar reda marahku kaaaaan? Dasar mayuri[2] nakal. Kau lihat ini kakiku…. Penuh dengan tahimu… pancen[3] yo kewan[4]nek ngising sak nggon-nggon[5]…” gerutunya tapi tak bisa menghilangkan senyum diwajahnya melihat Sono burung meraknya memamerkan keindahan bulunya. Kumari memelihara sepasang burung merak putih. Yang jantan diberi nama Sono dan yang betina diberi nama Kweni.
“Mana Kweni…?” Teriaknya dari dekat jugangan. Sono tidak menjawab. Ya jelas saja tidak menjawab, dia hanya berjalan perlahan-lahan mengusung bulu-bulu putihnya yang indah. Tak berapa lama muncul dari belakangnya Kweni berjalan perlahan menghampirinya.
“Aaaaah… ini dia… Kweni, dari mana kamu.” Kumari jongkok dan segera membelai Kweni yang menghampirinya.
“Heeem… Dewata itu lucu… kalau manusia… perempuan yang berdandan cantik dengan pakaian yang megah. Bercelak dan bergincu tebal… supaya laki-laki tertarik. Tapi berbeda dengan hewan. Justru yang berbulu indah, yang menarik justru yang jantan… sementara betinanya aduuuuh eleeeek e… “ katanya sambil mengelus-elus Kweni.
“Kenapa begitu tho, mbok…?” terdengar suara Hayu yang ternyata sudah berada dibelakangnya.
“Heeeee… Wuk… sudah bangun… ??? sudah diminum air putih yang sudah simbok siapkan disamping bale-bale?”
Hayu menggelengkan kepala.
“Haduuuuh kok belum, tho nak… tunggu disini… simbok ambilkan. Bangun tidur itu harus segera minum air putih… supaya sengkolo[6] yang dibawa dari semalam tidak terbawa sampai hari ini.” Kumari berdiri dan segera melangkah.
“Tunggu… tunggu mbok… itu tadi… jawab dulu… kenapa kalau kewan itu yang jantan lebih bagus dari yang betina?”
“Hoooo itu… Gini… kalau kewan itu nak… beranak pinak itu ada musimnya. Jadi kalau memang sudah musim kawin… musim birahi, jantan-jantan itu berlomba-lomba memperlihatkan keindahannya dihadapan sang betina. Supaya betinanya tertarik dan mau kawin sama dia. Beda sama orang, yang dandan nditing[7] malah yang perempuan, supaya dipilih sama laki-laki. Kalau laki-lakinya, biarpun bosok[8] juga banyak yang mau asal kantongnya tebal. Soalnya kalau manusia itu tidak ada musim birahinya… manusia yang harus atur sendiri urusan birahinya. Kalau tidak bisa atur sendiri birahinya itu yang bahaya. Kalau kewan jelas, birahi ada musimnya… gak kaya manusia… sewaktu-waktu bisa birahi… disembarang tempat muncul birahi… lihat perempuan bening… langsung disikat… heeeem… malah lebih sopan kewan… kalau gak musimnya… ya anteng aja. “ Kumari kemudian berjalan menuju pancuran. Mencuci kakinya yang berlumuran kotoran mayuri, sebelum kemudian melangkah masuk kedalam rumah.
Hayu terpekur mendengarkan kata-kata ibunya. Kepalanya manggut-manggut. “Hoooo… begitu ya rupanya…” ia kemudian memandangi Sono yang masih berada ditempatnya sambil masih memamerkan bulunya. Tapi memang indah betul mayuri putih jantan itu… dibandingkan dengan Kweni, mayuri betina yang malah tidak menarik sama sekali. Hayu jadi ingat ketika pertama kali Sono dan Kweni menjadi bagian dari hidup mereka.
“Kumari… kubawakan kau sepasang Mayuri Putih… sebagai tanda kesungguhan hatiku mencintaimu. Ini adalah lambang cintaku yang putih bersih… oleh karenanya aku berkeliling dunia, mencari Mayuri putih yang sangat langka…” Teringat lagi Hayu akan kalimat Jagabaya[9] Boma yang berwajah bosok  seperti kata simboknya tadi dan beristri  sebelas itu. Sebelas itu yang bisa dihitung, yang tidak terhitung, walaaah… entah berapa…
“Terima kasih banyak Kang Boma… duuuuh indahnya. Terima kasih banyak ya…” Jawab simboknya kala itu, walaupun setelah Boma bosok itu pergi, simboknya bertanya… “Kita kasih makan apa ini mayurinya ya, wuk? Aku kok gak kepikir tanya tadi ya… Buat apa juga ini… malah ngeregeti[10]… wis sak adanya kita aja ya… lumayan buat duwen-duwen[11]… Orang laki kalau ada maunya… merayu setinggi langit… gayanya sebakul… lambene lamis[12]… “. Kata simboknya dengan nada tidak peduli. Aaaah…. Hayu tidak habis pikir, kalau tidak mau ya tolak saja… kenapa harus diterima. Membuat orang merasa kegeden rumongso[13]. Tapi itu pikirannya sekarang, sementara Sono dan Kweni sudah ada sejak dirinya berusia kira-kira sepuluh tahun… berarti mayuri-mayuri ini sudah berusia puluhan tahun… itu baru mayuri… belum “upeti-upeti” yang lain. Iiiih menjijikan… semua dari para laki-laki beristri. Beristripun tak cuma satu istri… beristri buannyak… dan simboknya selalu menerima semua upeti itu dengan senyum manis, wajah sumringah dan ucapan terima kasih yang mendayu. Huuuuuuh….. @#!!&^$???>….. Kembali dada Hayu bergejolak, napasnya sengal-sengal…. Bayangan perempuan itu muncul kembali. Membuatnya tersadar akan kebencian yang sudah merasuk, bercampur bersama darah dan air didalam tubuhnya. Melebur dalam napas, baur bersama semburan helaan napas yang terasa panas penuh getaran kebencian …. panaaaaas…. “Aaaaaaaah…..” teriaknya kuat-kuat… sambil kemudian berlari, naik keatas pohon, disana… diatas sana adalah tempat yang paling nyaman baginya.

Mampang, 20 November 2013

BERSAMBUNG



[1]. Jugangan = lubang tanah, untuk tempat sampah. Biasanya digali dihalaman rumah dan bila penuh kemudian ditutup untuk kemudian digali lagi lubang disampingnya atau dilahan sekitarnya.
[2]. Mayuri = burung merak
[3]. Pancen = memang
[4]. Kewan = hewan / binatang
[5]. Nek ngising sak nggon-nggon = kalau buang hajat disembarang tempat.
[6]. Sengkolo = sial
[7]. Nditing = berpenampilan rapi, tidak seperti sehari-hari
[8]. Bosok = busuk
[9]. Jagabaya = petugas keamanan
[10]. Ngeregeti = bikin kotor
[11]. Duwen-duwen = punya-punya
[12]. Lambene Lamis = bicaranya manis/merayu
[13]. Kegeden Rumongso = Gede Rasa/GR

No comments: