25 November 2013

LITUHAYU (2)

SIANG

Aku hanya ingin ingat-ingat hidupku saat ini…
Tak ingin ku ingat lagi hidupku masa lalu…
Semua kini kumiliki…
Tak seperti dulu yang penuh debu…

Aku ingin lakukan apa yang aku mau…
Tak peduli suara sumbang dari kanan dan kiri…
Usahaku maju…
Itu memang karena otakku sendiri….

Jenang gempol[1], kopi pahit…
Jempol pahit….
Siapa yang tak kenal…
Silahkan coba, taruhan nyawa kalau tidak ketagihan….

Tapi bayangan perempuan itu…
Sering membuat otakku kaku….
Bedebah memang kamu….
Aku benci, aku benci kamu….

Lituhayu membenahi dagangannya sambil bibirnya menyanyi bait demi bait sambil rengeng-rengeng[2]. Kedai jempol pahitnya tidak pernah sepi pengunjung. Semua mencari jempol pahit untuk pengisi perut dipagi hari. Jempol pahit Lituhayu memang sudah terkenal sampai kemana-mana. Dagangannya ya hanya jenang gempol dan kopi pahit, jangan sekali-sekali minta gula padanya…
“Jenangnya sudah manis mas… “ jawabnya setiap dimintai gula. “Nek minum e nganggo manis meneh, mundak kelegen[3] mas…” ramah Hayu melayani tamu-tamunya. 
“Itu anak si Kumari, sudah besar ya… sudah gadis.” Lituhayu menganggukkan kepala setiap ada orang yang membicarakannya… kadang hanya melirik dan menarik sedikiiit saja ujung bibirnya.
“Yu… tumbas jenange[4]….”
Lituhayu mendongakkan kepalanya, saat suara merdu seorang gadis kecil berusia kurang lebih lima tahun memintanya untuk dilayani.
“Heiii cah ayu… kamu mau beli bubur?”
Anak kecil itu menganggukkan kepala sambil tersenyum. Nampak lesung pipi disudut bibir kirinya. Aaaiiiih cantiknya. Lituhayu memandangi anak perempuan cantik itu dengan seksama. Rambutnya lurus terurai, tidak terlalu panjang. Pipinya gembil, mengundang siapapun yang melihatnya pasti akan mencubitnya dengan gemas. Matanya bening, indah dan tajam, memandangi Lituhayu dengan tatapan yang dalam, sambil bibirnya tetap menyungging senyuman manis.
“Kamu sendirian?”
Anak kecil itu mengangguk.
“Mana mbokmu?”
Anak perempuan gembil itu menunjuk kearah jalan desa.
“Heeeem… gitu… kamu pasti lari duluan ya… “ kata Lituhayu sambil mengambil mangkok dan mulai menyendokkan jenang gempolnya. Menyelipkan daun pandan dan mengucurkan santan kemudian mengulurkannya pada anak itu.
“Heem… sini, duduk disini, disebelahku… aku tidak akan membuatkan kopi pahit untukmu. Tapi aku punya bekal wedang jahe. Kamu mau?“
Anak kecil itu mengangguk lagi, sambil mulai menyendokkan jenang gempol ke bibirnya yang mungil.
Lituhayu memperhatikan anak perempuan kecil itu dalam-dalam. Senang sekali ia menatap anak itu menyendokkan jenang buatannya dengan begitu lahap…. Angin semilir bertiup sepoi perlahan… heeeem… nyaman rasanya. Lituhayu meletakkan gelas wedang jahe disamping kiri bale-bale tempat duduk anak kecil itu, dan pula turut duduk disamping kanannya. Sepoi angin membelai-belai wajahnya, memainkan anak-anak rambut didahinya… sambil mengajak anak kecil itu bicara, Lituhayu mulai merasakan kedua kelopak matanya semakin lama semakin berat. Ia menghela napas sambil berusaha untuk membelalakkan matanya. Desir sepoi angin nyaman semakin terasa…. Dan semakin lama, Lituhayu merasa semakin nyaman, dalam bincang-bincangnya dengan anak perempuan cantik yang masih asik menikmati jenang gempol buatan tangannya. Pandangan matanyapun makin berat…. Makin berat… dan sosok anak kecil dihadapannyapun semakin kabur… kabur… kabur dan menghilang….
“Aaaah… aku rasanya mengantuk sekali…” kata Lituhayu pada anak kecil itu. Lanjutnya, “Kamu tidak dicari oleh simbokmu?”
“Tidak, dia sudah tahu aku mau makan jenang disini….” Jawabnya sambil meletakkan piring bekas makannya di tempat belakang bale-bale tempat Lituhayu mencuci bekas makan para tamu dan langsung mencucinya.
“Aaaah kamu anak yang manis, makananmu habis tanpa sisa… dan langsung kau cuci sendiri piring kotor ditempat aku mencuci piring. Aku tidak pernah melihatmu? Baru kali ini aku melihatmu dipasar ini. Kamu pasti bukan orang sini. Siapa namamu?”
“Simbok yang selalu mengajariku untuk mencuci piring setelah makan… dan simbok selalu berpesan untuk tidak menyisakan makanan… kasihan makanan yang disisakan… teman-temannya masuk perut dia ditinggal sendiian… nangis dia nanti… itu kata simbokku. Piring yang tadinya bersih… harus kembali bersih.”
“Hoooo gitu…” Lituhayu membelalakan matanya. Kalimat itu sepertinya sudah tidak asing ditelinganya. Terngian lagi suara simboknya, “Kasian dia wuk kalau disisakan dipiring… nangis dia nanti. Oleh karenanya, kamu harus bisa ukur sendiri, seberapa yang kamu mau. Jangan kurang jangan lebih… yang pas saja…supaya piring yang tadinya bersih, kembali jadi bersih…” kata Lituhayu dalam hati.
“Mana mbokmu?”
“Itu… simbokku disana… bekerja.”
“Kamu ditinggal sendiri…?”
“Aku harus bisa main sendiri saat simbokku kerja. Kadang aku ikut membantu simbok. Jadi aku tau apa yang dilakukan simbokku. Dan aku juga bisa melakukan apa yang simbok lakukan. Supaya aku bisa membantu, saat simbok membutuhkannku. Kadang simbokku pergi berhari-hari….”
“Lalu kamu sama siapa kalau simbokmu pergi?”
“Sama simbah. Aku diasuh simbahku kalau simbok pergi…”
“Aaaah kerterlaluannya simbokmu… pergi-pergi dan meninggalkanmu sama simbah.”
“Supaya bisa dapat uang untuk makan katanya… kalau simbok pulang, kadang bawa belanjaan banyaaaaaaak sekali… sampai gerobaknya tidak muat lagi.”
Lituhayu mengernyitkan dahinya. Ada gemuruh didalam hatinya… anak kecil itu melanjutkan kata-katanya…”Simbok banyak bawa barang-barang… pakaian, makanan, juga mainan… kata simbok ada yang dibelinya, tapi ada juga yang pemberian orang. Ada yang dari guru Sani, ada yang dari paman Bekti, ada yang dari mantri Gagak, ada yang dari Begawan Sabdo, ada juga yang dari Resi Bhrebhrama… itu yang diatas bukit sana padepokannya…”
“Itu semua untuk kamu?”
“Ya siapa lagi kalau bukan untuk aku? Aku hanya berdua dengan simbokku. Simbok bekerja keras untuk aku…”
Lituhayu mengernyitkan dahinya. Ingatan tentang masa kecilnya seakan hadir samar-samar. Anak perempuan kecil itu menoleh padanya. Lituhayu pun memalingkan wajah memandangi anak perempuan itu.
“Hampir sama dengan masa kecilku…” katanya perlahan. Namun kemudian sambungnya, “Tapi aaaah… aku lupa…” katanya lagi sambil membuang wajahnya kedepan.
“Kamu bukan lupa… tapi kamu sengaja melupakan…”
Lituhayu tersentak…. Secepat kilat ia menoleh pada anak perempuan itu. “Berani-beraninya kamu mengatakan bahwa aku sengaja melupakannya. Apa alasanmu mengatakan begitu. Tau apa kamu… dengan masa kecilku…?”
“Sssst…. Jangan ribut… “ katanya sambil menunjuk pada sesuatu. Lituhayu menoleh pada arah yang ditunjuk oleh anak kecil itu.  Terlihat seorang ibu muda, dengan bertelanjang dada memeluk seorang bayi yang juga bertelanjang dada. Terdengar lirih suara perempuan muda itu mendendangkan lagu menyayat hati…
“…. Gusti… duh Gusti junjunganku….
Bertahtalah KAU dialam semesta luas ini…
Ambilah sakit penyakit yang ada dalam tubuh anak perempuanku….

Wuk Hayu… anak simbok….
Pindahkan panas badanmu pada simbok… anakku yang cantik…
Lekat dadamu di dadaku…
biarlah sakitmu simbok yang rasakan…
biarlah sakitmu simbok yang panggul…

heeeem… heeeem…
sehat lah nak….
Sehatlah anakku…
Segarlah kamu…. Sesegar kembang melati…
Agar simbok bisa kembali melihatmu menyanyi dan menari….”


Lituhayu memandangi perempuan muda itu dalam-dalam… sekelebatan ia mengenali wajah ibu muda itu. Tapi dimana … dia lupa… dia juga mengenali langgam gita menyayat itu… tapi dia juga lupa… kapan…
“Kau tidak lupa Hayu… kau sengaja melupakannya…. Tak akan pernah bisa kita lupakan… apa yang telah terjadi dimasa lalu… kau hanya berusaha untuk menimbunnya dengan batu… agar tidak nampak dimatamu… tapi semua itu masih lah ada disitu… ditempat itu… semakin subur dan berakar… akan menjadi indah bila kau sirami dengan kasih… namun akan menjadi busuk… bila kau sirami dengan kebencian…”
Dada Lituhayu berdegup kencang… matanya memanas…. Ingin rasanya ia mencekik anak kecil yang saat ini berada disebelahnya… Lituhayu memicingkan matanya… memperhatikan betul siapa anak kecil disampingnya… dilihatnya sebuah toh[5] tepat dilipatan tangan kirinya… itu miliknya….
“Dari mana kau tahu namaku Hayu…. Siapa kamu…?”
“Jangan pernah kau memalingkan pandanganmu untuk mengelak dari apa yang pernah kau alami…”
“Siapa kamu…. Jawab aku….”
“Perempuan itu berjalan sendiri… menimang, menggendong dan menciummu sepanjang waktu… “
“Jawab pertanyaanku… Siapa kamu….”
“Bukan berarti tanpa kesalahan… banyak kesalahan pula yang telah dia lakukan… tapi bukan kamu yang berhak untuk mengadilinya… Dia telah menerima penugasan dari Pencipta untuk merawatmu… untuk menjagamu…. Untuk mendidikmu… dan dia terima itu…. Dalam usianya yang masih sangat muda…. Sendirian… tanpa bekal apapun… tanpa kawan… tanpa teman…dan... tanpa melawan...”
“Hentikaaaan…. Hentiiiiiikaaaan….. hentikan ocehanmu…. Sudah terlalu panjang kau bicara tak beraturan…. Jawab pertanyaanku… Siapa kamu….?”
Anak perempuan kecil itu menoleh pada Lituhayu …. Semilir angin mulai terasa lagi… menerbangkan anak-anak rambut anak perempuan kecil itu… terdengar lagi lantun suara ibu muda bertelanjang dada… “Pindahkan panas badanmu pada simbok… anakku yang cantik… Lekat dadamu di dadaku… biarlah sakitmu simbok yang rasakan…biarlah sakitmu simbok yang panggul…Sehatlah anakku, Segarlah kamu…. Sesegar kembang melati…Agar simbok bisa kembali melihatmu menyanyi dan menari….” . Tubuh Lituhayu terasa lemas bagai tak bertulang….
“Siapa kamu….” Lirih suara Lituhayu merendah, untuk kembali bertanya .
“Aku… aku adalah Lituhayu… masa kecilmu…”


Mampang, 25 November 2013

BERSAMBUNG





[1]. Jenang Gempol = seperti bubur sumsum.
[2]. Rengeng-rengeng = bersuara dengan suara pelan, sayup-sayup.
[3]. Mundak kelegen = jadi kemanisan
[4]. Yu, tumbas jenange = Kak, beli buburnya.
[5]. Toh = tanda lahir

No comments: