PROLOG
Malam itu hitam
pekat… hujan seharian menyisakan angin dingin dan aroma genangan air. Lituhayu
seorang gadis cantik duduk terpekur disalah
satu ranting lebar diatas pohon di
belakang rumahnya sambil memandangi liuk tarian api pada obor-obor penerang
jalanan. Setiap sore para abdi kerajaan memasang obor disepanjang jalan menuju
perbatasan antara kerajaan dan desa. Mereka menancapkan obor itu berjarak tiga
rentangan tangan. Pagi hari, saat ayam-ayam jago mulai menggepakkan sayap dan berteriak
memanggil matahari, para abdi mencabut tiang-tiang obor untuk dibawa kembali ke
kerajaan.
Hayu
merasakan dadanya sesak, ia sendiri tak tahu apa sebabnya. Semakin hari, sesak
itu semakin menyeruak dalam hati, hingga hilang tarikan garis senyum yang dulu
selalu hiasi wajahnya.
“Hai
Pencipta Bumi Fana…. Mana nyaliMu…. Tunjukkan padaku…” teriakannya menggema menyengat
semua yang ada didekatnya. “Ingin kuhapus semua jejak langkah kaki yang pernah
kulalui… Ingin kutapaki hidupku saat ini sendiri… tapi mengapa perempuan itu
selalu mengikutiku…” dadanya naik turun ketika ia menyebut kata “perempuan itu”.
Ada bongkahan batu besar yang seakan melekat erat dipunggungnya dan menjadi
beban yang begitu berat baginya. “Aku tak ingin hidup dalam bayang-bayang
perempuan itu…. Bangsaaaaat…. Semua orang memujinya, membangga-banggakannya…. Dimana
aku…???” Hayu mendekap kedua lututnya makin erat. Menyusupkan wajahnya
disela-sela kedua lingkar tangannya. Airmata banjir dari matanya… geram makin
menambah deras airmata yang mengalir dari kelopaknya.
Lantunnya
perlahan :
Mengapa… semua mata hanya tertuju padanya… Lalu aku dimana?
Mengapa… semua berpesan padaku untuk menjaganya…. Lalu aku bagaimana?
Aku tahu dia memang perempuan sempurna….
Tapi aku hanya mau mengakui dalam hati…
Gengsi kalau sampai harus ucap dari celah bibir….
Biar semua terkagum padanya…
Tapi aku tidaaaaaak…. Karena aku yang dengar dengkur ngorok tidurnya…
sangat mengganggu.
Tapi aku tidaaaaak…. Karena aku yang mencium bau kentutnya… busuuuuk
Tapi aku tidaaaaaak… Karena aku tau bau jigongnya…. Baauuu sirih yang menyengat
Dimana-mana orang mengaguminya…mulai dari pengemis pinggir jalan sampai
para punggawa istana… semua berlomba menarik perhatiannya.
Mulai dari pemuda-pemuda desa hingga para Begawan… semua terpesona
padanya….
Mereka terbuai dengan merdu suaranyanya….
Aku tidaaaaak…. Suaranya parau bagai teriakan elang kesakitan.
Aaaaaah ….
Mereka terpesona dengan liuk gemulai tubuhnya….
Aku tidaaaaak…. Tubuhnya tambun dengan perutnya yang buncit….
Mereka terpaku menatap matanya yang kata mereka indah….
Aku tidaaaaaak…. Perempuan itu selalu menyuruhku untuk memasukkan benang
kedalam lubang jarum…
Mereka semua ternganga melihat senyumnya…..
Aku tidaaaaaak… senyumnya bak kuda mbengingeh[1] kelaparan…..
Bedebaaaaaaah……
Siapa bilang dia sempurna…..
Aku benci dia….
Perempuan yang selalu bermulut manis yang membuat kumbang-kumbang selalu
beterbangan disekelilingnya… Daaaaan
perempuan itu menikmatinya…. Ciiiiih……
Tangisnya
makin meledak… rambutnya kusut acak-acakan. Napasnya sesak bukan buatan. Hayu
seakan-akan tak ingin hidup lagi. Ia ingin segera menyusul ayahnya yang telah
pergi entah kemana.
“Wuk[2]
Hayuuuu…. “ terdengar suara lirih yang memanggilnya. “Hayuuuu…. Dimana kamu nak…?”
Terlihat seorang perempuan setengah baya keluar dari dalam rumahnya membawa damar[3]
ditangan kanannya. Perempuan itu mengangkat damar
sampai keatas kepalanya untuk bisa mendapatkan penerangan yang lebih luas.
Matanya memicing mencari-cari…. Dimana Hayu berada.
“Ya mbok[4]…
sebentar… aku masih ada disini… sebentar aku turun…”
“Waaah… masih
keasikan rupanya kamu diatas sana anakku… “ Perempuan itu segera menghampiri
pohon tempat Hayu duduk diatasnya. Sambil mendongak memastikan Hayu berada disana,
perempuan itu melanjutkan kata-katanya, “Hayo medak[5]
nak… kita maem dulu… nanti kamu masuk angin…”
“Iya… simbok masuk dulu saja … ini sebentar
lagi aku turun…”
“Ya sudah
ya… simbok masuk… jangan lama-lama
ya, simbok tunggu dalam… nanti dingin
sayurnya kalau kamu terlalu lama…”
“Ya mbok… “
Perempuan
itu melangkah kembali masuk ke dalam rumah. Digantungkannya damar pada tiang
didepan rumahnya. Perempuan itu sejenak menghentikan langkah untuk menggelung
rambutnya yang panjang yang mulai rontok pula beruban.
Lituhayu
perlahan menuruni pohon tempatnya menceracau. Matanya yang masih nampak sembab
dibasuhnya dengan air di pancuran dekat pohon. Air dingin yang mengalir dari
sumber mata air pegunungan itu terasa sejuk dikulit mukanya. Ia berjalan masuk
kedalam rumah, dan duduk disamping simboknya. Perempuan itu mengecup kening,
sambil menyodorkan piring dari tanah liat pada Lituhayu anak kesayangannya.
Darah dagingnya, hidup dan matinya… Dalam hatinya, terpukau melihat betapa
cantik anak semata wayangnya. Sungguh tidak salah ayahnya dulu memberi nama
Lituhayu, yang artinya adalah cantik… adalah rupawan…
Bersambung
Mampang,
19 November 2013
No comments:
Post a Comment