29 May 2013

MENARI DIATAS MENARA (7)



DOSA itu telah tiada…..

Dewata Naraa berhadapan dengan para dewa dalam jamuan makan malam bersama dilangit sana, dalam purnama yang kesekian kalinya, mereka menikmati gerak Rhea yang menari diatas menara…. Semua hanya bisa terdiam, bisu dalam bangunan imajinya sendiri-sendiri. Dalam INGIN mereka adalah mereka untuk menikmati aroma wanginya, ada pula yang rindu sorot matanya, ada yang mendamba renyah derai tawanya hingga ada pula yang ber ingin untuk  bisa menyentuhnya… walau semua hanya bisa dilakukan dalam angan semata… tanpa ada yang berani melangkah…

Adalah Tora, yang telah berhasil menyentuhnya, merasakan hangat tubuhnya, menikmati gelora ciumannya yang hanya diperuntukkan untuknya… Disadari dirinya telah jatuh cinta pada perempuan bumi yang selalu menyajikan buru desahan napas saat berpelukan dalam lumat ciuman yang dahsyat… yang bagi Rhea adalah hanya untuk dewa langitnya….

Semua dalam angan dan imajinya masing-masing atas Rhea, perempuan bumi yang saat ini menjadi perhatian penghuni langit. Semua hanya bisa sampai disana… sampai pada tataran medan INGIN yang tak akan pernah ada wujudnya…. Adalah Rhea yang fana meliuk sendiri… dalam NISTA nya.

“Hendaknya disadari oleh kita semua,para saudara penghuni langit semesta… bahwa kemurnian harus tetap terjaga… diri kita ini adalah kenisah yang Maha Kuasa.Diri kita ini adalah perwujudan dari DIA sang pencipta. Oleh karenanya para saudara, segera tinggalkan niatan raga yang pasti akan menghempaskan kita semua pada kehidupan yang fana…” Dewata Naraa berkata-kata perlahan, dengan suara yang sedikit cekat tersendat. Bayangan Rhea masih saja menari dalam benaknya. Namun bibirnya harus mampu berkata-kata dalam ajakan pengingkaran bersama atas naluri dan keinginan birahi yang hanya milik manusia fana….

Tora dalam hatinya bersyukur dan bahagia… bahwa dirinya telah mampu untuk menghindari kutuk yang akan terjadi padanya apabila kereta kencana saat itu ditumpanginya dengan Rhea tidak segera dihentikannya. Gejolak hatinya bahagia, karena mampu mengingkari segala gelegak dalam diri yang bisa saja terlepas, apabila dirinya tak mampu kendali….

“Tora, bisakah kau hidup tanpa perempuan yang sedang menari di menara itu?” tanya Dewata Naraa
Tora masih terdiam, dalam balutan jubah putih bersih murni dan suci. Sudah bulat tekatnya untuk kembali pada kemurnian diri. Oleh karenanya disyukurinya… bahwa dalam kurun perjalanan hidupnya… pernah merasakan gelora birahi dahsyat, namun mampu untuk segera dihentikannya. Wajahnya dingin… menatap kedepan, sambil kemudian ia mencerna lagi kata-kata dewata Naraa…
“Tidak ada pemakluman untuk itu Tora, yang ada adalah HITAM atau PUTIH… kau ada disini… yang adalah PUTIH lah dirimu… “
Tora masih terdiam… dalam desah napas pengingkaran yang tinggi, Tora kemudian berkata “aku akan tetap disini… “ walau dalam hatinya ingin ia lanjutkan lagi kalimatnya… “aku rindu desah napasnya …”

“Semua sudah jelas… kita tidak akan melumuri diri kita dengan DOSA … menikmati birahi adalah SALAH dan berat hukumnya… ini telah menjadi sebuah suratan langit… tiada yang dapat merubahnya, walau satu katapun….Sekarang kembalilah kalian pada tugas masing-masing seperti sedia kala… anggpalah ini sebagai sebuah pengalaman hidup… bahwa langit pernah diguncang oleh seorang perempuan bumi fana yang hanya akan mendatangkan DOSA….” Dewata Naraa mengeluarkan suaranya sambil menatap satu-persatu para dewa yang semua tertunduk …. Masih dalam angan dan pikirannya sendiri-sendiri MENIKMATI PELUKAN Rhea sang perempuan bumi…

“Aku merindukan kenyal payudaranya …. Namun jadilah kau bahagia dalam bahagiamu perempuanku… bersyukur atas semua yang pernah kualami bersamamu…. aku selalu mencintaimu, aku selalu ada dalam dirimu dan kau selalu ada dalam diriku. Kita akan selalu satu dalam kehidupan… dalam tarian bersama… tanpa ada gejolak birahi yang akan muncul disana… kemurnianku adalah utama…. Alam semesta lebih mulia darimu… selamat tinggal kekasihku…” Dalam hati Tora berkata-kata. Dalam pengingkaran yang tinggi, Tora membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju biliknya…

Rhea mendengar suara desah itu melalui desau angin yang menggesek bunga-bunga ilalang… hatinya pedih… luka lama menganga kembali… Rhea menghempaskan diri… dari atas menara sana… kini dalam nyata… darah berceceran dimana-mana… sungging senyum selamat tinggal… pada raga yang membuatnya tersiksa….

Semua diam… semesta bisu… saat raga Rhea terbujur kaku tak bernyawa… dibawah menara, tempatnya menari kala purnama. Para dewa diatas sana hanya bisa diam… bersyukur atas kematiannya… sehingga mereka terhindar dari DOSA…. Hingga kemurnian diri tetap terjaga….

(BERSAMBUNG)

No comments: