DOSA itu telah tiada…..
Dewata Naraa berhadapan dengan para dewa
dalam jamuan makan malam bersama dilangit sana, dalam purnama yang kesekian
kalinya, mereka menikmati gerak Rhea yang menari diatas menara…. Semua hanya
bisa terdiam, bisu dalam bangunan imajinya sendiri-sendiri. Dalam INGIN mereka
adalah mereka untuk menikmati aroma wanginya, ada pula yang rindu sorot
matanya, ada yang mendamba renyah derai tawanya hingga ada pula yang ber ingin
untuk bisa menyentuhnya… walau semua
hanya bisa dilakukan dalam angan semata… tanpa ada yang berani melangkah…
Adalah Tora, yang telah berhasil
menyentuhnya, merasakan hangat tubuhnya, menikmati gelora ciumannya yang hanya
diperuntukkan untuknya… Disadari dirinya telah jatuh cinta pada perempuan bumi
yang selalu menyajikan buru desahan napas saat berpelukan dalam lumat ciuman
yang dahsyat… yang bagi Rhea adalah hanya untuk dewa langitnya….
Semua dalam angan dan imajinya masing-masing
atas Rhea, perempuan bumi yang saat ini menjadi perhatian penghuni langit. Semua
hanya bisa sampai disana… sampai pada tataran medan INGIN yang tak akan pernah
ada wujudnya…. Adalah Rhea yang fana meliuk sendiri… dalam NISTA nya.
“Hendaknya disadari oleh kita semua,para
saudara penghuni langit semesta… bahwa kemurnian harus tetap terjaga… diri kita
ini adalah kenisah yang Maha Kuasa.Diri kita ini adalah perwujudan dari DIA
sang pencipta. Oleh karenanya para saudara, segera tinggalkan niatan raga yang
pasti akan menghempaskan kita semua pada kehidupan yang fana…” Dewata Naraa berkata-kata
perlahan, dengan suara yang sedikit cekat tersendat. Bayangan Rhea masih saja
menari dalam benaknya. Namun bibirnya harus mampu berkata-kata dalam ajakan
pengingkaran bersama atas naluri dan keinginan birahi yang hanya milik manusia
fana….
Tora dalam hatinya bersyukur dan bahagia…
bahwa dirinya telah mampu untuk menghindari kutuk yang akan terjadi padanya
apabila kereta kencana saat itu ditumpanginya dengan Rhea tidak segera
dihentikannya. Gejolak hatinya bahagia, karena mampu mengingkari segala gelegak
dalam diri yang bisa saja terlepas, apabila dirinya tak mampu kendali….
“Tora, bisakah kau hidup tanpa perempuan yang
sedang menari di menara itu?” tanya Dewata Naraa
Tora masih terdiam, dalam balutan jubah putih
bersih murni dan suci. Sudah bulat tekatnya untuk kembali pada kemurnian diri.
Oleh karenanya disyukurinya… bahwa dalam kurun perjalanan hidupnya… pernah
merasakan gelora birahi dahsyat, namun mampu untuk segera dihentikannya. Wajahnya
dingin… menatap kedepan, sambil kemudian ia mencerna lagi kata-kata dewata
Naraa…
“Tidak ada pemakluman untuk itu Tora, yang
ada adalah HITAM atau PUTIH… kau ada disini… yang adalah PUTIH lah dirimu… “
Tora masih terdiam… dalam desah napas
pengingkaran yang tinggi, Tora kemudian berkata “aku akan tetap disini… “ walau
dalam hatinya ingin ia lanjutkan lagi kalimatnya… “aku rindu desah napasnya …”
“Semua sudah jelas… kita tidak akan melumuri
diri kita dengan DOSA … menikmati birahi adalah SALAH dan berat hukumnya… ini
telah menjadi sebuah suratan langit… tiada yang dapat merubahnya, walau satu
katapun….Sekarang kembalilah kalian pada tugas masing-masing seperti sedia kala…
anggpalah ini sebagai sebuah pengalaman hidup… bahwa langit pernah diguncang
oleh seorang perempuan bumi fana yang hanya akan mendatangkan DOSA….” Dewata
Naraa mengeluarkan suaranya sambil menatap satu-persatu para dewa yang semua
tertunduk …. Masih dalam angan dan pikirannya sendiri-sendiri MENIKMATI PELUKAN
Rhea sang perempuan bumi…
“Aku merindukan kenyal payudaranya …. Namun
jadilah kau bahagia dalam bahagiamu perempuanku… bersyukur atas semua yang
pernah kualami bersamamu…. aku selalu mencintaimu, aku selalu ada dalam dirimu
dan kau selalu ada dalam diriku. Kita akan selalu satu dalam kehidupan… dalam
tarian bersama… tanpa ada gejolak birahi yang akan muncul disana… kemurnianku
adalah utama…. Alam semesta lebih mulia darimu… selamat tinggal kekasihku…” Dalam
hati Tora berkata-kata. Dalam pengingkaran yang tinggi, Tora membalikkan
tubuhnya dan berjalan menuju biliknya…
Rhea mendengar suara desah itu melalui desau
angin yang menggesek bunga-bunga ilalang… hatinya pedih… luka lama menganga
kembali… Rhea menghempaskan diri… dari atas menara sana… kini dalam nyata…
darah berceceran dimana-mana… sungging senyum selamat tinggal… pada raga yang
membuatnya tersiksa….
Semua diam… semesta bisu… saat raga Rhea
terbujur kaku tak bernyawa… dibawah menara, tempatnya menari kala purnama. Para
dewa diatas sana hanya bisa diam… bersyukur atas kematiannya… sehingga mereka
terhindar dari DOSA…. Hingga kemurnian diri tetap terjaga….
(BERSAMBUNG)
No comments:
Post a Comment