20 May 2013

MENARI DIATAS MENARA (2)



ADALAH SEBUAH AWAL DIATAS SANA…

Ini hari kedua…. Saat layar langit terbuka lebar, seharusnya awan tak bergulung berkumpul membentuk gumpalan abu-abu… Seharusnya terang bersinar memancar hingga cicit dan kepak kenari dapat terdengar merdu dari arah selatan sana. Namun kini, saat layar langit terkuak terbuka… mengapa semua nampak seperti berduka.

Dewata Naraa, mengernyitkan dahi pertanda tanya penuh didalam kepala. Apa gerangan terjadi dengan semestanya. Sudah dua hari semesta tak bercahaya. Telah dua hari semesta gulita. Dipandanginya bumi dibawah sana… berarti sudah dua puluh tahun bumi gelap tanpa cahaya… sepertilah yang demikian adanya, satu hari waktu langit adalah sepuluh tahun waktu manusia bumi….

Dirinya adalah penguasa tertinggi langit semesta. Tercengang saat langit terbuka, namun tak kunjung dilihatnya terang menyeruak saat hari cerah telah seharusnya berjalan. Mengapa semesta tak kunjung sesuai dengan semestinya…. Terusik tanya dalam hatinya… ada apakah gerangan yang terjadi ….

“Hai Tosha penguasa bumi, tidakkah kau iba melihat mahluk bumimu tak bercahaya? Ada apakah gerangan?” Tanya Dewata Naraa.
“Yang dipertuankan langit Dewata Naraa…tidak seharusnya bumi demikianlah adanya… “
“Itulah sebabnya mengapa terjatuh tanyaku padamu hai Dewa Tosha penguasa bumi… ada apakah gerangan yang terjadi dialam semesta ini…”
“Tidakkah yang mulia mengetahuinya? Ini disebabkan karena TORA sang penguasa langit terjatuh sakit yang tak kunjung tabib kuasa menangani.”
“Tora? Sakit apakah gerangan dia? Pantas kulihat raut wajahnya tak berdaya… ”
“Seluruh penghuni langit ini tidak ada yang mengetahuinya. Telah dikirim tabib dari segala penjuru, tak juga kunjung pulih… hamba iba melihat manusia dibumi sana tak jua kunjung diterangi cahaya. Keringatnya telah membanjiri bumi dan manusia hanya bisa meratap… mereka meneriakkan nama Tora sambil memanjatkan puja dan puji. Namun tetaplah Tora tak kunjung pula pulih dari cucuran peluhnya yang membuat bumi hujan yang tak kunjung henti.”
“Aku pamahi, Torapun pasti tersiksa… tak adakah seorang tabibpun yang dapat membantunya?” Dewata Naraa kembali menatap bumi. Dilihatnya seorang perempuan berlarian memegang daun pisang untuk lindungi dirinya dari hujan. Iba penuh hatinya, pada semua mahluk semesta yang mana berjalan seharusnya. “Segeralah kau cari jalan keluar, Tosha… tak tahan pula aku melihat mereka itu hidup tanpa sinar… juga ibalah aku pada Tora… pastilah ada sesuatu yang dipikirkannya… hingga ia harus menderita tak kunjung ceria…”
Langit dingin… pula bumi… tak ayal hanya gelap mendung yang meliputi. Para bidadari hanya bisa bercengkerama dalam biliknya masing-masing... benda-benda langit tak satupun ingin menampakkan wujudnya…. Semua kelam, nampak turut berduka cita, seturut dengan sakitnya Dewa Tora.

Di peraduannya, Dewa Tora terpekur termangu… “Oooh semesta, kiranya sakit apa lagi yang akan kuderita hari ini… peluhku telah membanjiri bumi. Tubuhku makin hari makin habis termakan masa, yang rasanya akan terbuang sia-sia… apakah gerangan ini semua… setiap kuterjaga… aku selalu cemas akan sakit yang kuderita… hingga makin membanjirlah bumi dibawah sana karena cucuran peluh yang tak mampu kubendung… aaaah …” Tora terpekur.

Dengan napas yang masih sering tersengal, Dewa Tora memaksa dirinya untuk melangkah perlahan… menyusuri tanah yang rasanya tak tertapakinya. Ia berjalan keluar biliknya menuju selasar langit … “aaaah gelap….” desisnya perlahan.  Tubuhnya berpeluh… rembes hingga bumi. Kembali manusia bumi berlarian mencari tempat berteduh… Dewa Tora kembali berpeluh… hingga bumi hujan tak terkendali.
Dewa Tora berjalan perlahan dengan terhuyung…. Pandangannya kabur, matanya tak bersinar. Tubuhnya basah… sayapnya pun turut masai. “Kemana aku yang dulu… sayapkupun bagai kain basah terkulai lemah tak mampu kukepakkan…. Bilakah akan kunikmati lagi, semilir angin dalam terbangku berkeliling langit?”

Tak tertengarainya ia melewati Cafa, seorang perempuan setengah manusia yang kebetulan sedang berdiri disana.
“Yang mulia, Tora sang Dewa langit…. tak kah kau lihat diriku sedari tadi berdiri disini… hingga kau hanya lalu dihadapanku tanpa sedikitpun toleh padaku…” sapa Cafa.
“Aaaah Cafa, putri setengah dewa… maafkan aku… jenuh aku berada didalam sana… mungkin semilir angin segar dapat mengembalikan tenagaku…”
“Heeem…. “ Terbersit sesuatu dalam benak Cafa…
“Dewa Tora… “ katanya lagi. “Maukah kau pergi denganku… kunjungi manusia kerabatku… sekedar untuk melepaskan diri dari kejenuhanmu sajalah. Kerabatku itu sedang dalam kesusahan… baru tiga tahun ini suaminya meninggal dan kini dia hidup sendiri hanya bersama dengan putrinya. Kulihat dia tak mampu menahan titik air mata sejak kepergian suaminya. Ini aku sedang dalam perjalanan untuk mengunjunginya… sekedar untuk menghibur dan memberikan semangat padanya…. maukah kau turut serta denganku?”
“Dimanakah gerangan kerabatmu itu?”
“Di Bumi, Dewa Tora… sekali-sekali lah… kau turun berjalan-jalan kebumi… siapalah tahu, bisa sedikit meringankanmu….”
“Bumi…” desis Dewa Tora tak bersemangat.
“Ya … Bumi… hayo… ikutlah aku…” ajak Cafa mencoba menyemangati Dewa Tora.
Dewa Tora menghela napas. Jangankan ke Bumi, berjalan beberapa langkah saja, rasanya sudah terhuyung. “ Bumi… aaaaah… seandainya aku sehat saat ini… dalam sekejap mata aku sudah bisa tiba disana….” Katanya dalam hati.
“Bisa… ayo, berjalan bersamaku… kau pasti bisa Dewa Tora…” Kata Cafa dengan wajah meyakinkan.
“Berjalanlah terlebih dahulu hai Cafa, manusia setengah dewa… aku akan mengikutimu dari belakang…”
“Aaaah Dewa Tora… berjalanlah berdampingan denganku… aku tidak berbahaya… akan kutangkap kau… bila terhuyung jalanmu nanti”
“Hahahaha…. Baru kali ini aku bisa tertawa lepas, Cafa… perempuan setengah dewa. Manalah mampu kau menangkap tubuhku dengan tubuh tambunmu itu… “
Cafa melihat semburat sinar walau tetap tak cerah di wajah Dewa Tora…“ Terserah apa katamu Dewa Langit… Aaaah … kulihat wajahmu… murung… nampak seperti sedang dirundung kesedihan yang teramat sangat dalam, hai Dewa Tora… maka, marilah berjalan denganku… akan kuhibur kau dengan cerita-ceritaku…” Cafa perempuan setengah dewa itu segera mengamit tangan Dewa Tora dan menariknya berjalan berdampingan.
“Perlahanlah sedikit langkahmu Cafa… “
“Aaaah baiklah yang Mulia… baiklah… aku akan berjalan perlahan… aaah… badanmu besar, tapi tak bertenaga… sudah… ayo segeralah kita berjalan… habis waktu hanya berdebat saja kita disini nanti…” Sambil masih mengamit tangan Dewa Tora.
“Heeem…. Barulah kuingat pula, Dewa Tora…. Rhea kerabatku ini juga seorang tabib… aaaah mudah-mudahan saja dia bisa menyembuhkanmu… “
Dewa Tora menghentikan langkahnya. Menoleh pada Cafa yang nampaknya berbinar setelah mengingat Rhea kerabatnya yang ternyata pula seorang manusia tabib.
“Sungguh Dewa Tora… aku baru ingat…. Tapi… aku ragu… apakah dia mampu… dia hanya seorang manusia biasa… mana mungkin bisa menyembuhkan seorang Dewa….” Cafa menghentikan kata-katanya. “ Heeeem…. Tapi kita lihatlah saja dulu ya Dewa Tora… kita datang kesana hanya untuk menghiburnya bukan…? Manalah mungkin seorang manusia dapat menyembuhkan penguasa langit semesta. Tabib-tabib hebat dari seluruh penjuru langit saja tak mampu menyembuhkanmu…. Mari Dewa Tora… sejenak kita turun ke bumi… mudah-mudahan saja hatimu terhibur hingga ringanlah sakitmu….” Cafa berceloteh sendiri tak kunjung henti. Tak inginnya pula  dia mendapat jawaban dari Dewa Tora yang sedari tadi mengernyitkan dahinya…. Antara bingung dan geli melihat tingkah Cafa perempuan setengah dewa yang sedari tadi sibuk sendiri.
“Baiklah, Cafa…. Baiklah…. “ jawab Dewa Tora mengikuti tarikan tangan Cafa berjalan menuruni lembah… menuju bumi….
“Senyumlah sedikit Dewa Tora… kita akan turun kebumi untuk menghibur seorang manusia… bagaimana mungkin kau dapat menghibur… bila tak kau sungging senyum sedikitpun di wajahmu…”
“Bagaimana aku bisa senyum Cafa… berjalanpun sulit…”
“Aaaah…. Bisa… tuanku bisa berjalan… hayo perlahan… naaah sekarang mulailah tarik sedikit senyum di bibirmu itu tuan… hayooooo….”
Dewa Tora mengernyitkan dahinya. Kebingungan…
“Hayo senyuuuuum….” Pinta Cafa.
Dewa Tora mulai sedikit menarik bibirnya…
“Nah… Lumayan… Begini terus ya Dewa Tora… jangan kau lepas bibirmu kembali melorot seperti gelap malam ….” Cafa memperhatikan Dewa Tora. "Eeem satu lagi Dewa Tora..." katanya lagi sambil mengernyitkan dahinya...
"Apa lagi Cafa?"
"Simpan dulu itu sayapmu... sayap basah tak terpakai... " Cafa menunjuk pada sayap Dewa Tora. Dewa Tora terbelalak... "Maksudmu...?"
"Untuk apa kau kenakan sayap itu, saat kau tidak mampu mengepakkannya... simpan kataku...
Perjalanan menuju Bumi kita tempuh dengan berjalan kaki… tak perlu lah sayapmu itu…. " Sambil kemudian melanjutkan langkahnya.
Dewa Tora menghela napas…. “Cerewet…” desisnya… entah Cafa dengar atau tidak… Tetapi perempuan setengah dewa itu sepertinya tak menghiraukan kata-kata Dewa Tora.
“Rhea… tunggu kami… aaaah kau pasti akan terkejut Rhea, siapa yang kubawa ini… Bersyukurlah kau, Rhea… seorang Dewa Langit akan berkunjung kerumahmu…“ celoteh Cafa dalam perjalanan menuju bumi…
Layar langit masih gelap… Dewa Tora meniti langkah mengikuti Cafa… berjalan makin turun… menuju Bumi, tempat tinggal manusia fana dibawah sana….

(BERSAMBUNG…)