ADALAH SEBUAH AWAL DIATAS SANA…
Ini hari kedua…. Saat layar langit terbuka
lebar, seharusnya awan tak bergulung berkumpul membentuk gumpalan abu-abu… Seharusnya
terang bersinar memancar hingga cicit dan kepak kenari dapat terdengar merdu dari
arah selatan sana. Namun kini, saat layar langit terkuak terbuka… mengapa semua
nampak seperti berduka.
Dewata Naraa, mengernyitkan dahi pertanda
tanya penuh didalam kepala. Apa gerangan terjadi dengan semestanya. Sudah dua
hari semesta tak bercahaya. Telah dua hari semesta gulita. Dipandanginya bumi
dibawah sana… berarti sudah dua puluh tahun bumi gelap tanpa cahaya… sepertilah
yang demikian adanya, satu hari waktu langit adalah sepuluh tahun waktu manusia
bumi….
Dirinya adalah penguasa tertinggi langit semesta.
Tercengang saat langit terbuka, namun tak kunjung dilihatnya terang menyeruak
saat hari cerah telah seharusnya berjalan. Mengapa semesta tak kunjung sesuai
dengan semestinya…. Terusik tanya dalam hatinya… ada apakah gerangan yang
terjadi ….
“Hai Tosha penguasa bumi, tidakkah kau iba
melihat mahluk bumimu tak bercahaya? Ada apakah gerangan?” Tanya Dewata Naraa.
“Yang dipertuankan langit Dewata Naraa…tidak
seharusnya bumi demikianlah adanya… “
“Itulah sebabnya mengapa terjatuh tanyaku
padamu hai Dewa Tosha penguasa bumi… ada apakah gerangan yang terjadi dialam
semesta ini…”
“Tidakkah yang mulia mengetahuinya? Ini
disebabkan karena TORA sang penguasa langit terjatuh sakit yang tak kunjung
tabib kuasa menangani.”
“Tora? Sakit apakah gerangan dia? Pantas
kulihat raut wajahnya tak berdaya… ”
“Seluruh penghuni langit ini tidak ada yang
mengetahuinya. Telah dikirim tabib dari segala penjuru, tak juga kunjung pulih…
hamba iba melihat manusia dibumi sana tak jua kunjung diterangi cahaya.
Keringatnya telah membanjiri bumi dan manusia hanya bisa meratap… mereka
meneriakkan nama Tora sambil memanjatkan puja dan puji. Namun tetaplah Tora tak
kunjung pula pulih dari cucuran peluhnya yang membuat bumi hujan yang tak
kunjung henti.”
“Aku pamahi, Torapun pasti tersiksa… tak
adakah seorang tabibpun yang dapat membantunya?” Dewata Naraa kembali menatap
bumi. Dilihatnya seorang perempuan berlarian memegang daun pisang untuk
lindungi dirinya dari hujan. Iba penuh hatinya, pada semua mahluk semesta yang
mana berjalan seharusnya. “Segeralah kau cari jalan keluar, Tosha… tak tahan
pula aku melihat mereka itu hidup tanpa sinar… juga ibalah aku pada Tora…
pastilah ada sesuatu yang dipikirkannya… hingga ia harus menderita tak kunjung
ceria…”
Langit dingin… pula bumi… tak ayal hanya gelap
mendung yang meliputi. Para bidadari hanya bisa bercengkerama dalam biliknya
masing-masing... benda-benda langit tak satupun ingin menampakkan wujudnya…. Semua
kelam, nampak turut berduka cita, seturut dengan sakitnya Dewa Tora.
Di peraduannya, Dewa Tora terpekur termangu… “Oooh
semesta, kiranya sakit apa lagi yang akan kuderita hari ini… peluhku telah
membanjiri bumi. Tubuhku makin hari makin habis termakan masa, yang rasanya
akan terbuang sia-sia… apakah gerangan ini semua… setiap kuterjaga… aku selalu
cemas akan sakit yang kuderita… hingga makin membanjirlah bumi dibawah sana
karena cucuran peluh yang tak mampu kubendung… aaaah …” Tora terpekur.
Dengan napas yang masih sering tersengal, Dewa
Tora memaksa dirinya untuk melangkah perlahan… menyusuri tanah yang rasanya tak
tertapakinya. Ia berjalan keluar biliknya menuju selasar langit … “aaaah gelap….”
desisnya perlahan. Tubuhnya berpeluh…
rembes hingga bumi. Kembali manusia bumi berlarian mencari tempat berteduh…
Dewa Tora kembali berpeluh… hingga bumi hujan tak terkendali.
Dewa Tora berjalan perlahan dengan terhuyung….
Pandangannya kabur, matanya tak bersinar. Tubuhnya basah… sayapnya pun turut
masai. “Kemana aku yang dulu… sayapkupun bagai kain basah terkulai lemah tak
mampu kukepakkan…. Bilakah akan kunikmati lagi, semilir angin dalam terbangku
berkeliling langit?”
Tak tertengarainya ia melewati Cafa, seorang
perempuan setengah manusia yang kebetulan sedang berdiri disana.
“Yang mulia, Tora sang Dewa langit…. tak kah
kau lihat diriku sedari tadi berdiri disini… hingga kau hanya lalu dihadapanku
tanpa sedikitpun toleh padaku…” sapa Cafa.
“Aaaah Cafa, putri setengah dewa… maafkan aku…
jenuh aku berada didalam sana… mungkin semilir angin segar dapat mengembalikan
tenagaku…”
“Heeem…. “ Terbersit sesuatu dalam benak Cafa…
“Dewa Tora… “ katanya lagi. “Maukah kau pergi
denganku… kunjungi manusia kerabatku… sekedar untuk melepaskan diri dari
kejenuhanmu sajalah. Kerabatku itu sedang dalam kesusahan… baru tiga tahun ini
suaminya meninggal dan kini dia hidup sendiri hanya bersama dengan putrinya. Kulihat
dia tak mampu menahan titik air mata sejak kepergian suaminya. Ini aku sedang
dalam perjalanan untuk mengunjunginya… sekedar untuk menghibur dan memberikan
semangat padanya…. maukah kau turut serta denganku?”
“Dimanakah gerangan kerabatmu itu?”
“Di Bumi, Dewa Tora… sekali-sekali lah… kau
turun berjalan-jalan kebumi… siapalah tahu, bisa sedikit meringankanmu….”
“Bumi…” desis Dewa Tora tak bersemangat.
“Ya … Bumi… hayo… ikutlah aku…” ajak Cafa
mencoba menyemangati Dewa Tora.
Dewa Tora menghela napas. Jangankan ke Bumi,
berjalan beberapa langkah saja, rasanya sudah terhuyung. “ Bumi… aaaaah…
seandainya aku sehat saat ini… dalam sekejap mata aku sudah bisa tiba disana….”
Katanya dalam hati.
“Bisa… ayo, berjalan bersamaku… kau pasti
bisa Dewa Tora…” Kata Cafa dengan wajah meyakinkan.
“Berjalanlah terlebih dahulu hai Cafa,
manusia setengah dewa… aku akan mengikutimu dari belakang…”
“Aaaah Dewa Tora… berjalanlah berdampingan
denganku… aku tidak berbahaya… akan kutangkap kau… bila terhuyung jalanmu nanti”
“Hahahaha…. Baru kali ini aku bisa tertawa
lepas, Cafa… perempuan setengah dewa. Manalah mampu kau menangkap tubuhku
dengan tubuh tambunmu itu… “
Cafa melihat semburat sinar walau tetap tak
cerah di wajah Dewa Tora…“ Terserah apa katamu Dewa Langit… Aaaah … kulihat
wajahmu… murung… nampak seperti sedang dirundung kesedihan yang teramat sangat
dalam, hai Dewa Tora… maka, marilah berjalan denganku… akan kuhibur kau dengan
cerita-ceritaku…” Cafa perempuan setengah dewa itu segera mengamit tangan Dewa
Tora dan menariknya berjalan berdampingan.
“Perlahanlah sedikit langkahmu Cafa… “
“Aaaah baiklah yang Mulia… baiklah… aku akan
berjalan perlahan… aaah… badanmu besar, tapi tak bertenaga… sudah… ayo
segeralah kita berjalan… habis waktu hanya berdebat saja kita disini nanti…”
Sambil masih mengamit tangan Dewa Tora.
“Heeem…. Barulah kuingat pula, Dewa Tora….
Rhea kerabatku ini juga seorang tabib… aaaah mudah-mudahan saja dia bisa
menyembuhkanmu… “
Dewa Tora menghentikan langkahnya. Menoleh
pada Cafa yang nampaknya berbinar setelah mengingat Rhea kerabatnya yang ternyata
pula seorang manusia tabib.
“Sungguh Dewa Tora… aku baru ingat…. Tapi… aku
ragu… apakah dia mampu… dia hanya seorang manusia biasa… mana mungkin bisa
menyembuhkan seorang Dewa….” Cafa menghentikan kata-katanya. “ Heeeem…. Tapi kita
lihatlah saja dulu ya Dewa Tora… kita datang kesana hanya untuk menghiburnya
bukan…? Manalah mungkin seorang manusia dapat menyembuhkan penguasa langit
semesta. Tabib-tabib hebat dari seluruh penjuru langit saja tak mampu
menyembuhkanmu…. Mari Dewa Tora… sejenak kita turun ke bumi… mudah-mudahan saja
hatimu terhibur hingga ringanlah sakitmu….” Cafa berceloteh sendiri tak kunjung
henti. Tak inginnya pula dia mendapat
jawaban dari Dewa Tora yang sedari tadi mengernyitkan dahinya…. Antara bingung
dan geli melihat tingkah Cafa perempuan setengah dewa yang sedari tadi sibuk
sendiri.
“Baiklah, Cafa…. Baiklah…. “ jawab Dewa Tora
mengikuti tarikan tangan Cafa berjalan menuruni lembah… menuju bumi….
“Senyumlah sedikit Dewa Tora… kita akan turun
kebumi untuk menghibur seorang manusia… bagaimana mungkin kau dapat menghibur…
bila tak kau sungging senyum sedikitpun di wajahmu…”
“Bagaimana aku bisa senyum Cafa… berjalanpun
sulit…”
“Aaaah…. Bisa… tuanku bisa berjalan… hayo
perlahan… naaah sekarang mulailah tarik sedikit senyum di bibirmu itu tuan…
hayooooo….”
Dewa Tora mengernyitkan dahinya. Kebingungan…
“Hayo senyuuuuum….” Pinta Cafa.
Dewa Tora mulai sedikit menarik bibirnya…
“Nah… Lumayan… Begini terus ya Dewa Tora…
jangan kau lepas bibirmu kembali melorot seperti gelap malam ….” Cafa memperhatikan Dewa Tora. "Eeem satu lagi Dewa Tora..." katanya lagi sambil mengernyitkan dahinya...
"Apa lagi Cafa?"
"Simpan dulu itu sayapmu... sayap basah tak terpakai... " Cafa menunjuk pada sayap Dewa Tora. Dewa Tora terbelalak... "Maksudmu...?"
"Untuk apa kau kenakan sayap itu, saat kau tidak mampu mengepakkannya... simpan kataku...
Perjalanan menuju Bumi kita tempuh dengan berjalan kaki… tak perlu lah sayapmu itu…. " Sambil kemudian melanjutkan langkahnya.
"Apa lagi Cafa?"
"Simpan dulu itu sayapmu... sayap basah tak terpakai... " Cafa menunjuk pada sayap Dewa Tora. Dewa Tora terbelalak... "Maksudmu...?"
"Untuk apa kau kenakan sayap itu, saat kau tidak mampu mengepakkannya... simpan kataku...
Perjalanan menuju Bumi kita tempuh dengan berjalan kaki… tak perlu lah sayapmu itu…. " Sambil kemudian melanjutkan langkahnya.
Dewa Tora menghela napas…. “Cerewet…”
desisnya… entah Cafa dengar atau tidak… Tetapi perempuan setengah dewa itu
sepertinya tak menghiraukan kata-kata Dewa Tora.
“Rhea… tunggu kami… aaaah kau pasti akan
terkejut Rhea, siapa yang kubawa ini… Bersyukurlah kau, Rhea… seorang Dewa
Langit akan berkunjung kerumahmu…“ celoteh Cafa dalam perjalanan menuju bumi…
Layar langit masih gelap… Dewa Tora meniti
langkah mengikuti Cafa… berjalan makin turun… menuju Bumi, tempat tinggal
manusia fana dibawah sana….
(BERSAMBUNG…)