Malam ini…
Aku ingin menuturkan penggalan cerita, dari
buku Perempuan Keumala, sebagai penghantar lelap…
Aku tidak tahu, mengapa aku ingin
menyampaikan adegan itu… Romantisme malam terakhir, sebelum semua berakhir…
Kubacakan kata-kata dalam rangkaian kalimat
cerita dengan perlahan… lembut… penuh makna, penuh cinta… agar tak kau rasakan…
bergantinya hari… menuju mati…
Dengarlah tuturku…
..... “Seharusnya
bahagialah Keumala saat ini, diiringi alunan musik, teriakan puja-puji, sambil
memeluk putri terkasih, hidup menjadi begitu sempurna rasanya.
Tapi jauh di dasar hati,
cemas tak terkendali sejak pagi tadi. Hatinya berdebar kencang, pikirannya
mereka-reka apa gerangan pertanda yang ia terima. Ia mencoba mengingat kembali
apa yang terjadi pagi tadi. Suara elang hitam raksasa memecah keheningan….
Suara gemuruh kepak sayap ribuan burung yang memenuhi angkasa. Lolongan anjing
tak hentinya menambah suasana kengerian yang tercipta. Dan, tiba-tiba terdengar
suara yang sangat menyayat hatinya. Tak ingin ia ingat-ingat kata-kata sedih
itu. Namun, sepertinya gemuruh sambutan rakyat di sana tak mampu menghilangkan
suara-suara yang sejak gelap pagi tadi selalu terngiang di telinganya. Teringat
kembali pembicaraan terakhir bersama belahan jiwa malam hari, sebelum esok galleys
bertolak menuju medan pertempuran.
“Adinda Keumala yang
kupuja, sebuah kenyataan kejam di dalam dunia yang harus dialami oleh manusia
terutama perwira seperti kita ini layaknya adalah membunuh atau terbunuh.
Melawan atau mati. Orang membunuh adalah untuk mempertahankan diri, dan yang
telah membunuh pasti akan mati terbunuh juga,” katanya dengan tatapan tajam menghunus
ke mata Keumalahayati, seakan ingin menyampaikan sebuah arti yang belum
terdapati. Keumalahayati hanya membalas tatapan itu dengan sejuta pertanyaan di
dalam hati, kiranya kalimat ini adalah kalimat ungkapan diri dan hati.
“Keukanda kekasih hati,
bila darah terus tertumpah, manalah mungkin jiwa akan tenang. Bila manusia
terus-menerus saling beradu mati, bilakah terjadi damai di bumi dan damai di
hati.”
“Negeri sedang diincari
oleh pencuri-pencuri yang ingin menguasai seluruh hasil kekayaan bumi. Bila tak
lah mungkin dengan kepala dingin, maka benda-benda tajam itulah yang ‘kan
mengakhiri.” Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief berdiri, menghampiri sebuah
lemari tua di sudut bilik sebelah utara. Dibukanya perlahan, dan diambilnya
sebilah keris dengan sarung terbuat dari gading gajah yang licin berkilat
berwarna hitam pekat.
Keris itu adalah keris
kerajaan yang diberikan kepada Laksamana Mahmuddin, atas jabatannya sebagai
Panglima Armada Selat Malaka. Ditariknya perlahan pangkal senjata itu dan
diangkatnya ke udara.
“Dalam hidup seorang
perwira, yang ada hanyalah hidup atau mati, untuk menciptakan sebuah perdamaian
atau untuk membalas kematian. Keris ini akan menjadi saksi, aku kembali dalam
hidup atau dalam mati.”
“Keukanda, jangan bicara
mati sebelum ajal terjadi. Pantang bagi seorang
perwira untuk bicara mati sebelum segalanya terbukti.”
“Adindaku Keumalahayati,
ketika perwira berlaga di medan perang, petaka dan keberuntungan sulit untuk
diramalkan. Ketika panji-panji sudah dinaikkan, tambur-tambur sudah ditabuhkan,
terumpet sudah dilengkingkan, yang ada di pikiran hanyalah membunuh atau
dibunuh, hidup atau mati. Keumala kekasih hatiku tercinta, hidup harus selalu
siaga, harus selalu berjaga. Karena iring-iringan penjemputan surga tak akan
ada yang dapat menerka kapan mereka tiba. Oleh karenanya istriku tercinta,
ibarat minyak dalam pelita harus selalu terisi penuhlah kiranya, agar tetap
dapat menyala sehingga tidak mati dengan tiba-tiba saat kita membutuhkannya.
Pahamlah kau kini, kekasihku, itu semua agar kita tidak mati sia-sia hanya
karena kelalaian kita. Kita harus selalu bersiap atas apa yang akan terjadi
esok hari karena kematian tak dapat ditolak lagi bila telah tertulis dalam
lembar kertas suci Ilahi. Selalu bersiaplah kita untuk hadapi mati esok pagi,”
katanya sambil memandangi keris beracun yang akan dibawanya pergi.
“Masukkan kembali
kerismu itu, Keukanda. Malam ini tak ingin kulihat ada benda tajam dingin
berlalu-lalang di antara kau dan aku. Biarlah semua itu berjalan seiring dengan
rencana Illahi, tidurlah Keukanda belahan jiwaku sebelum hari berganti.”
Keumala memeluk suaminya erat dari belakang. Terasa nyaman dalam kehangatan
punggung laki-laki gagah pujaannya. Tuanku Mahmuddin bin Said Al Latief
menyarungkan kembali kerisnya dan membalikkan badan menyambut dekapan istrinya.
“Peu sayang...? Cemas sekali wajahmu?”
“Hana peu-peu, Keukanda….”
“Tidurlah, adindaku sayang… tidurlah dalam pelukku. Rindu ini tak akan pernah usai. Cinta ini tak akan pernah berakhir.”
Keduanya saling
mendekap, saling melemparkan getaran-getaran kasih yang kemudian tertumpah
dalam desahan napas yang mengantar menuju yang tinggi. Tak ada lagi yang bisa
diucapkan dengan kata-kata, keduanya terbuai dalam larutnya malam yang makin
bertambah pekat. Keduanya saling
membelai dan saling memanggut, bersatu dalam derai peluh yang membasahi tilam sutra
beledu. Tak ada yang ingin membuang waktu, semua harus tercurah saat itu
sebelum hari kemudian berlalu.
Hingga tengah malam menuju bergantinya hari, Tuanku
Mahmuddin tetap tak dapat pejamkan mata. Ia dekap erat penuh kasih istri
tercinta yang telah tertidur dalam pelukannya, dengan lembut ia mengusap
anak-anak rambut tipis di dahi perempuan tercintanya, mencium lembut keningnya,
sambil tak henti bibir berdesis penuh cinta,
“Keumala…, Keumala
belahan jiwa
padanyalah badan
bersanding….”
Perempuan Keumala,
Halaman 77-81
25 Juni 2013
00:00