08 October 2012

Himbauan untuk stasiun televisi, beranikah untuk berinvestasi sosial?



Sangat menggembirakan bahwa Hari Anak Nasional tahun 2005 ini mendapat perhatian yang cukup besar dari semua kalangan. Berita-berita di media masa pun tidak lepas dari adanya perhatian dari semua pihak untuk ikut memikirkan bagaimana nasib perkembangan anak-anak kita dimasa yang akan datang, baik secara fisik maupun mental. Secara fisik misalnya mulai terperhatikannya nilai kesehatan dan kebutuhan gizi yang baik bagi pertumbuhan anak-anak. Tetapi secara mental, apa yang telah dilakukan? Sampai saat ini, kehidupan sehari-hari dengan berbagai macam kegiatan yang ada secara tidak sadar justru telah membawa anak-anak kita menuju pada keadaan yang “sakit”.

Media yang paling jitu untuk dapat mendistribusikan nilai-nilai yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat adalah media elektronik, bahkan mungkin justru malah kecenderungannya yang akan membentuk nilai-nilai yang berlaku.  Semakin banyaknya stasiun televisi yang muncul, membuktikan bahwa industri ini memberikan peluang besar untuk dapat memberikan keuntungan secara ekonomis. Tetapi nilai-nilai apa yang sebenarnya ingin dibentuk oleh bangsa ini? Jelas hanya himbauan bahwa mendampingi anak pada saat menonton tayangan televisi saja tidak cukup mengingat saat ini kebanyakan orang tua bekerja. Juga jelas hanya tulisan-tulisan dalam bentuk artikel  saja tentang keprihatian bahwa kondisi mental anak-anak saat ini sakit saja tidak cukup. Bila tidak juga diimbangi dengan hal konkrit bagaimana yang seharusnya.

Harus ada sinkronisasi dari semua element untuk dapat membentuk karakter bangsa melalui karakter manusianya. Tayangan televisi saat ini jelas pada kondisi yang sangat memprihatinkan, mulai dari tayangan berita-berita kriminal yang notabene dapat menjadi tolok ukur bagi mereka yang ingin melakukan tindak kriminal, tayangan sinetron baik bagi konsumsi dewasa, remaja maupun anak-anak, yang semuanya begitu gamblang mengumbar kata-kata kasar, makian, teriakan, perkelahian dengan cerita yang sangat miskin dengan nilai budi pekerti, tayangan mistis yang telah membuat orang kembali mundur ratusan tahun kebelakang, tayangan reality show yang kadang justru dapat mempermalukan orang dihadapan publik bila tidak dikemas secara baik dan benar. Sadar atau tidak sadar setiap hari tayangan-tayangan ini digelar di layar kaca di setiap rumah dan nilai-nilai itu terserap dalam kehidupan sehari-hari. Sementara tayangan yang bersifat pendidikan misalnya tentang tradisi, budaya yang justru akar dari seluruh kehidupan manusia Indonesia, tidak mendapat porsi. Terlebih lagi sekarang, dengan adanya pengurangan jam tayang membuat kesempatan program yang bersifat mengembangkan dan melestarikan tradisi semakin hilang. Misalnya tayangan wayang kulit –sudah diputarnya tengah malam, sekarang dihapus pula– sangat memprihatinkan. Seperti yang dapat ditemukan di media Kompas 25 Juli 2005, terdapat profil seorang animator Bagong Soedardjo yang telah mencoba untuk menawarkan program pendidikan anak dengan tokoh boneka, tetapi mendapat penolakan karena tidak mendapatkan iklan, sementara di halaman depan media tersebut sedang heboh dibicarakan tentang kepedulian tentang anak. Ironis dan menyedihkan.

Sudah saatnya di usia kemerdekaannya yang menjelang ke 60 tahun ini Indonesia mulai berani untuk menunjukkan akar budayanya. Yang suka atau tidak suka itulah yang menjadi pedoman kita sebagai manusia Indonesia untuk menunjukan karakter bangsa, dan ini mulai harus dipupuk sejak usia dini. Kenalkah anak-anak –yang saat ini sudah cukup terperhatikan dengan adanya peringatan hari anak– dengan tradisi dan budayanya? Mungkin untuk anak-anak yang berada di daerah masih bisa diarahkan mengingat secara sosial tradisi dan budaya di daerah masih membatasi mereka dengan nilai-nilai yang berlaku, tetapi bagaimana nasib anak-anak yang berada di perkotaan? Haruskah kita pupuk mereka dengan tayangan yang justru semakin menjauhkan mereka dari karakter bangsa yang kita inginkan?

Oleh karenanya sebagai himbauan kepada seluruh stasiun televisi, apakah visi dan misi membangun sebuah stasiun televisi tersebut sungguh hanya menuju pada keuntungan secara ekonomi, atau juga memiliki nilai sosial sebagai media yang dapat mentransformasikan nilai-nilai pendidikan dan karakter bangsa yang sehat. Pada dasarnya stasiun televisi sungguh dapat memposisikan diri  sebagai invisible hand dari pemerintah dalam upaya pembentukan nilai, norma dan karakter bangsa ini.

Pertanyaanya sekarang beranikan stasiun televisi untuk tidak mendapatkan banyak keuntungan secara material, tetapi mendapat keuntungan secara sosial sebagai agen perubahan bagi pembentukan karakter bangsa. Berilah sedikit keseimbangan dalam tayangan-tayangan yang bersifat komersial yang sudah pasti mendatangkan keuntungan dengan program-program pendidikan tradisi dan budaya yang juga sudah pasti mendatangkan keuntungan dimasa yang akan datang sebagai upaya menyehatkan jiwa anak-anak Indonesia. Ini adalah investasi sosial anda masa depan. Memang keuntungan bukan dalam bentuk materi, profit and lost semata. Tetapi jelas bahwa jiwa-jiwa anak-anak Indonesia akan terselamatkan. Beranikah anda?





                                                                                                            Endang Moerdopo
Merdeka Art Community
Mahasiswa Pasca Sarjana
Ilmu Kesejahteraan Sosial
FISIP UI
2005