Sangat menggembirakan bahwa Hari Anak
Nasional tahun 2005 ini mendapat perhatian yang cukup besar dari semua
kalangan. Berita-berita di media masa pun tidak lepas dari adanya perhatian
dari semua pihak untuk ikut memikirkan bagaimana nasib perkembangan anak-anak
kita dimasa yang akan datang, baik secara fisik maupun mental. Secara fisik
misalnya mulai terperhatikannya nilai kesehatan dan kebutuhan gizi yang baik
bagi pertumbuhan anak-anak. Tetapi secara mental, apa yang telah dilakukan?
Sampai saat ini, kehidupan sehari-hari dengan berbagai macam kegiatan yang ada
secara tidak sadar justru telah membawa anak-anak kita menuju pada keadaan yang
“sakit”.
Media yang paling jitu untuk dapat
mendistribusikan nilai-nilai yang berlaku di dalam kehidupan masyarakat adalah
media elektronik, bahkan mungkin justru malah kecenderungannya yang akan
membentuk nilai-nilai yang berlaku.
Semakin banyaknya stasiun televisi yang muncul, membuktikan bahwa
industri ini memberikan peluang besar untuk dapat memberikan keuntungan secara
ekonomis. Tetapi nilai-nilai apa yang sebenarnya ingin dibentuk oleh bangsa
ini? Jelas hanya himbauan bahwa mendampingi anak pada saat menonton tayangan
televisi saja tidak cukup mengingat saat ini kebanyakan orang tua bekerja. Juga
jelas hanya tulisan-tulisan dalam bentuk artikel saja tentang keprihatian bahwa kondisi mental
anak-anak saat ini sakit saja tidak cukup. Bila tidak juga diimbangi dengan hal konkrit bagaimana yang seharusnya.
Harus ada sinkronisasi
dari semua element untuk dapat membentuk karakter bangsa melalui karakter
manusianya. Tayangan televisi saat ini jelas pada kondisi yang sangat
memprihatinkan, mulai dari tayangan berita-berita kriminal yang notabene dapat
menjadi tolok ukur bagi mereka yang ingin melakukan tindak kriminal, tayangan
sinetron baik bagi konsumsi dewasa, remaja maupun anak-anak, yang semuanya
begitu gamblang mengumbar kata-kata kasar, makian, teriakan, perkelahian dengan
cerita yang sangat miskin dengan nilai budi pekerti, tayangan mistis yang telah
membuat orang kembali mundur ratusan tahun kebelakang, tayangan reality show
yang kadang justru dapat mempermalukan orang dihadapan publik bila tidak
dikemas secara baik dan benar. Sadar atau tidak sadar setiap hari
tayangan-tayangan ini digelar di layar kaca di setiap rumah dan nilai-nilai itu
terserap dalam kehidupan sehari-hari. Sementara tayangan yang bersifat
pendidikan misalnya tentang tradisi, budaya yang justru akar dari seluruh
kehidupan manusia Indonesia, tidak mendapat porsi. Terlebih lagi sekarang,
dengan adanya pengurangan jam tayang membuat kesempatan program yang bersifat
mengembangkan dan melestarikan tradisi semakin hilang. Misalnya tayangan wayang
kulit –sudah diputarnya tengah malam, sekarang dihapus pula– sangat
memprihatinkan. Seperti yang dapat ditemukan di media Kompas 25 Juli 2005,
terdapat profil seorang animator Bagong Soedardjo yang telah mencoba untuk
menawarkan program pendidikan anak dengan tokoh boneka, tetapi mendapat
penolakan karena tidak mendapatkan iklan, sementara di halaman depan media
tersebut sedang heboh dibicarakan tentang kepedulian tentang anak. Ironis dan
menyedihkan.
Sudah saatnya di
usia kemerdekaannya yang menjelang ke 60 tahun ini Indonesia mulai berani untuk
menunjukkan akar budayanya. Yang suka atau tidak suka itulah yang menjadi
pedoman kita sebagai manusia Indonesia untuk menunjukan karakter bangsa, dan
ini mulai harus dipupuk sejak usia dini. Kenalkah anak-anak –yang saat ini
sudah cukup terperhatikan dengan adanya peringatan hari anak– dengan tradisi
dan budayanya? Mungkin untuk anak-anak yang berada di daerah masih bisa
diarahkan mengingat secara sosial tradisi dan budaya di daerah masih membatasi
mereka dengan nilai-nilai yang berlaku, tetapi bagaimana nasib anak-anak yang
berada di perkotaan? Haruskah kita pupuk mereka dengan tayangan yang justru
semakin menjauhkan mereka dari karakter bangsa yang kita inginkan?
Oleh karenanya
sebagai himbauan kepada seluruh stasiun televisi, apakah visi dan misi
membangun sebuah stasiun televisi tersebut sungguh hanya menuju pada keuntungan
secara ekonomi, atau juga memiliki nilai sosial sebagai media yang dapat
mentransformasikan nilai-nilai pendidikan dan karakter bangsa yang sehat. Pada
dasarnya stasiun televisi sungguh dapat memposisikan diri sebagai invisible
hand dari pemerintah dalam upaya pembentukan nilai, norma dan karakter
bangsa ini.
Pertanyaanya
sekarang beranikan stasiun televisi untuk tidak mendapatkan banyak keuntungan
secara material, tetapi mendapat keuntungan secara sosial sebagai agen
perubahan bagi pembentukan karakter bangsa. Berilah sedikit keseimbangan dalam
tayangan-tayangan yang bersifat komersial yang sudah pasti mendatangkan
keuntungan dengan program-program pendidikan tradisi dan budaya yang juga sudah
pasti mendatangkan keuntungan dimasa yang akan datang sebagai upaya menyehatkan
jiwa anak-anak Indonesia. Ini adalah investasi sosial anda masa depan. Memang keuntungan
bukan dalam bentuk materi, profit and lost semata. Tetapi jelas bahwa jiwa-jiwa
anak-anak Indonesia akan terselamatkan. Beranikah anda?
Endang
Moerdopo
Merdeka Art Community
Mahasiswa Pasca Sarjana
Ilmu Kesejahteraan Sosial
FISIP UI
2005