Yu
Lasmi si penjual gado-gado di ujung perempatan gang itu, tidak pernah
kesiangan. Ia selalu sudah siap dengan segala macam sayur-mayur bahan
gado-gadonya sejak matahari meletik di pagi hari dan baru kemas-kemas pulang
setelah matahari mulai condong ke barat.
“Kok
rajin banget sih Yu… pagi-pagi selalu sudah buka” Tanya Amin si tukang ojek,
sambil menyedot rokoknya hingga kempot.
“Laaah…
bang Amin ini gimana toh… orang itu kadang suka bingung cari sarapan. Pagi-pagi
suka bingung cari warung, belum ada yang buka…”
“Lah,
Yu… apa ya gado-gado pantes toh buat sarapan… “
“Yo
pantes-pantes aja toh bang, wong buktinya orang ya antri mau pesan gado-gadoku
buat sarapan juga lho…”
“Eh..
jangan salah, Min. Kalo gado-gado Yu Lasmi ini cocok-cocok aja buat makan
disetiap waktu… nggeh mboten Yu? Kamu
tau nggak, Min, orang nyari gado-gadonya Yu Lasmi bukan cuma karena rasanya
saja, tapi juga gara-gara Yu Lasminya… gimana gak ngantri wong yang jualan
uuuayuuuu tenan…” Sarwono ikutan bicara.
“Wezz
gombal kamu Sar, kamu ngomong gitu biar dapet sarapan gratis, yo Sar” Yu Lasmi
tersipu.
“Mboten,
Yu… ini bener. Wong saya itu kemarin, pagi-pagi nganter tamu ke daerah Tomang
sana… kan jauh toh ya. Lha kok waktu mau balik, ada penumpang yang minta
dianter ke sini, cuma gara-gara mau beli gado-gadonya Yu Lasmi. Waktu aku
tanya, lho tau gado-gado Yu Lasmi juga toh mas? Trus dia jawab, ya tau toh mas…
wong gado-gado itu gak cuma bikin kenyang perut, tapi juga bikin kenyang mata…
Trus kutanya lagi… bikin kenyang mata gimana toh mas? Dia jawab lagi… lha kalo
yang jual semlohe begitu kan itu
namanya kenyang lahir bathin toh mas… itu dia… mantab kan? Bisa buat sangu seminggu. Min… bayangin dari
Tomang lho… nyampe kesini, Cuma mau makan gado-gado sambil nontonin Yu Lasmi
ngulek… weeeuedaaan tenan…”
“Lambe mu, Sar… wis kamu mau apa? Pedes
atau ndak?” Sambil pura-pura merengut, padahal dalam hati ge er juga….
“Waduuuuh
…. Alhamdulillah… aku dapet sarapan ini? Yo jangan pedes toh Yu… wong pagi-pagi
gini… bisa panas nanti perutku sampai siang…” jawab Sarwono langsung mendekat
ke gerobak Yu Lasmi… Lumayan, dapat sarapan. Tapi anehnya Sarwono gak pernah
tega kalau mau nge bon. Padahal Yu Lasmi sudah beberapa kali bilang kalau belum
bisa bayar, bisa di catat saja dulu. Tapi ya namanya juga Sarwono, gak pernah
bisa kalau gak bayar, malah kadang harga gado-gado yang cuma lima ribu tanpa
telur, atau enam ribu pake telur itu bisa jadi dibayar sepuluh ribu tanpa
kembali. Mantab kan? Tapi kalau tidak pake uang kembali seperti itu, Sarwono
biasanya dikasih gratis krupuk, biar makan bisa jadi lebih meriah kata Yu
Lasmi. Weleeh...
“Yu…
gado-gadonya dua…” Pinta seorang laki-laki perlente bersama seorang temannya
yang baru saja turun dari mobilnya. Wanginya luar biasa, aroma parfum Antheus
keluaran dari merk Channel… Heeem … gak banyak yang tau aroma itu. Lha kok Yu
Lasmi tau ya? Hehehe ….
“Oooh..
iya mas, pedes ndak?” Tanya Yu Lasmi sambil melempar senyum manis. Senyum
kepada pelanggan itu harus hukumnya bagi Lasmi… namanya juga orang dagang… ya
toh…
“Kamu pedes gak?” Tanyanya pada laki-laki kawannya
yang sudah duduk di bangku panjang.
“Dikit…”
“Sedeng
saja ya mas…kalau mas yang ini?” sambar Yu Lasmi.
“Sama
in aja lah…”
“Ooh
iya mas… silahkan duduk dulu. Sebentar ya saya buatkan.”
Laki-laki
yang tadi berdiri disamping Yu Lasmi membuka kaleng krupuk, mengambil krupuk
yang berwarna putih itu dan segera menyusul duduk dihadapan kawannya yang sudah
asyik tenggelam oleh berita-berita di Koran pagi, yang diambilnya dari meja
panjang. Sebenarnya Yu Lasmi tidak
pernah menyediakan koran di meja warungnya, tapi ada saja loper koran yang
meletakkannya disana. Akhir bulan, entah siapa juga yang membayar tagihan
korannya, sampai sekarang Yu Lasmi sendiripun tidak pernah paham.
“Walah…
partai apa lagi… ini? Milih logo kok ya aneh-aneh… kepala kucing. Apa coba
maknanya?” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lah
biasa kan… demokrasi… semua boleh punya aspirasi. Kalau merasa aspirasi tidak
terpenuhi… ya bikin partai lagi…”
“Heem…
iya ya… trus kalau sudah bikin partai baru, dan gak sepaham, trus bikin partai
tandingan…”
“Ya
iya… kaya partai yang tadi kamu lihat… apa? Partai kucing? Kalau nanti pecah,
namanya jadi Partai Kucing tandingan… seru juga lho, Men…Atas nama demokrasi
toooh? Sah-sah saja…”
“
Heeeh… demokrasi kok malah jadi kaya main-mainan aja…”
“Itulah…
trus masyarakat dicekokin harus milih… lha… nongol aja barusan, gimana orang
bisa kenal? Pe de banget?”
“Sebentar
lagi banyak muncul selebritis-selebritis baru nih… semua orang balapan masang
foto diri… wah… makin bingung. Akhirnya malah milih gara-gara ganteng atau
cantiknya aja, bukan karena partainya…”
“Ya
bisa jadi… atau malah nggak milih sama sekali… lha wong pusing mau milih yang
mana…”
“Semua
partai pasti tujuannya baik toh?”
“Lha
ya harus yang baik-baik toh kalau mau nyusun visi misi partai…”
“Tapi
kita gak tau pelaksanaannya kaya apa…”
“Bisa jadi… itu kawan kita si Haris, kemarin
bilang sama aku, setiap liat titik strategis penginnya pasang baliho foto dia
gede-gede. Biar orang kenal katanya. Berapa duit itu? Trus yang dipikirin
gimana caranya untuk bisa pasang foto gede-gede. Bukannya mikirin program kerja
yang bisa ditawarkan demi memenuhi kebutuhan rakyat itu apa, tapi malah mikir
gaya berfotonya gimana?”
“Eh
… kalo Haris kan memang berduit, man… Biarin aja…”
“Lah
trus kalau caleg-caleg yang lain itu gimana? Apa ya semua orang punya duit?”
“Ya
itu resiko dia lah… pinter-pinternya dia cari sponsor… semua itu kan tergantung
kepentingannya…”
“Sedih
juga…”
“Kenapa
harus sedih…?”
“Apa
lagi kepentingannya sekarang ini… kalau nggak UUD…?
“Ujung-Ujungnya
Duit maksudmu?”
“Ya
iyalah… mana ada sekarang orang yang mbahas UUD itu Undang-Undang Dasar.
Sekarang ini kan singkatan UUD lebih dikenal Ujung-Ujungnya Duit. Coba tanya
sana sama anak SD, mana mereka tau UUD itu Undang-Undang Dasar? Wong pelajaran
sekarang ini gak lagi mikirin itu. Kemajuan dan perubahan jaman katanya.”
“Iya
juga ya… “
“Ya
memang iya… bukan sekedar iya juga… lihat saja, berapa persen sih dari
caleg-caleg itu yang bener-bener bisa njalanin program kerja sesuai dengan
kebutuhan rakyat? Yang jadi targetnya kan kesejahteraan… kesejahteraan diri
sendiri maksudnya… bukan kesejahteraan rakyat. Lihat saja jumlah partai bererot
begitu banyaknya. Berapa duit itu? Bikin partai kan gak kecil duitnya…? Semua
aliran dana tumplek blek di situ. Bagaimana bisa mbangun Negara, wong uangnya
malah muter disitu…”
“Yang
katanya Pesta Demokrasi ya…”
“Ya
iyalah… Berapa dana yang muter di tahun 2009 yang katanya atas nama pesta
demokrasi.”
“Iya
mas, mbok ya buat nambahin modal gado-gado saya aja ya mas, malah karuan.
Kelihatan hasilnya. Atau buat nyekolahin anak-anak di kampung-kampung pelosok
sana…” Celetuk Yu Lasmi sambil mengelap tangannya ke celemek dan siap
mengangkat piring gado-gado pesanan.
“Nah…
loe denger sendiri? Yu gado-gado aja cerdas… kok malah orang-orang ini balapan
mau pada nge top sendiri. Ya nggak Yu?”
Yu
Lasmi Cuma tersenyum sambil meletakkan piring ke hadapan kedua orang tamunya.
“Ealaaah,
cerdas apanya toh mas, lha wong orang kaya saya ini kan mikirnya yang
gampang-gampang aja. Buat masang foto sebesar rumah begitu ongkosnya seribu
kali lipat dari modal saya bikin warung mas… padahal ya cuma dipasang sebentar.
Selesai pemilu ya sudah harus dicopot-copot lagi. Abis itu orang sudah lali meneh… Kalau buat modal warung kaya
saya gini kan bisa buat hidup sampai tua toh… Bisa buat nyekolahin anak…
sukur-sukur bisa buat naik haji.”
“Nah
kalo Yu sendiri mikirnya gimana?”
“Laaaaah,
lha wong sekarang ini banyak banget mas partainya. Saya malah jadi bingung. Apa itu namanya… orang yang pada mau jadi
anggota dewan itu?”
“Caleg…
Calon Legislatif, Yu…”
“Iya…
itu …. Calegnya buaaanyak banget. Mulai dari tukang kulkas sampe artis semua
bisa jadi caleg. Yang penting punya duit toh mas, supaya bisa pasang-pasang
foto kaya gitu itu.”
Kedua
tamu Yu Lasmi manggut-manggut. Tanpa ragu yu Lasmi kemudian ikut duduk di bangku
panjang warungnya.
“Waah…
aneh kok mas, kalo jaman saya kecil dulu, kita gak pernah tau siapa anggota
dewannya. Sekarang ini foto-foto dipajang-pajang, tapi ya tetep juga kita ndak
kenal siapa dia, tetep ndak tau…. Lha yang untung kan ya artis-artis itu toh ya
mas. Mending jadi artis dulu aja baru ikutan nyalon jadi caleg. Jadinya sudah
pasti menang toh? Lha sudah dijamin fansnya pasti milih dia… Nah… Kalo sudah
menang trus bingung kalo dah disuruh kerja, lha wong biasanya cuma baca
scenario bikinan orang, trus acting di depan kamera, sekarang disuruh beneran
mikir sendiri. Opo yo iso kuwi? Jangan-jangan
dia merasa lagi acting di depan kamera. Lah ini kehidupan nyata je… bukan cuma
sekedar dongeng, kaya di sinetron itu tho…. Trus yang memang sudah sekolah
tentang Ilmu Pemerintahan mau pada jadi apa ya mas? Sudah sampe banyak yang
mati digebuki di sekolahnya… eeeeh… pas lulus kalah saingan sama artis-artis
atau sama orang-orang berduit….”
“Ya
itu yang namanya demokrasi, yu. Semua mempunyai hak yang sama untuk memilih dan
dipilih.”
“Lha
kalo partainya sebanyak gitu ya gimana milihnya toh mas?”
“Ya
tergantung… Yu ini sreg dengan partai yang mana?”
“Laah
lha wong semua partai itu ngomongnya sama je mas…pasti yang bagus-bagus toh
ya…”
“Nah
kalo menurut yu sendiri gimana?”
“Kalau
saya sih mikirnya gini mas… Nuwun sewu
lho ini ya mas, bukannya mau ngajari. Tapi ini cuma pikiran saya saja. Lha wong
namanya juga cuma tukang gado-gado… ya pasti lah kepinterannya cuma sebates
gado-gado aja…”
“Lho…
gak apa-apa toh, yu. Justru omongan wong
cilik seperti Yu Lasmi ini yang malah natural. Gimana Yu? Ayo ngomong aja…”
“Kalo
menurut saya… ini menurut saya lho mas…”
“Iya
Yu… kita berdua ndengerin kok…” Kata seorang tamu sambil menyuapkan gado-gado
ke mulutnya.
“Partai
itu ndak usah banyak-banyak, mas…”
“Heem…
gitu?”
“Iyo…
misale dua aja, atau yaaah paling tidak tiga lah kaya dulu itu lho… Pe tiga, Golkar
sama PeDeI. Jadi kita nggak bingung. Itu tadi cuma contoh lho mas…”
“Heeem…
Trus…”
“Nah
kalau partainya cuma ada dua atau tiga… em… buat contoh aja nih mas, Indonesia
ini partainya ada dua. Misalnya Partai Korek sama Partai Gunting. Nah…
masing-masing partai itu maju atas dasar program kerja mas… “
“Wah
Yu Lasmi ini ternyata paham juga dengan yang namanya program kerja toh yu…”
“Lah
kalau saya kan ya cuma denger-denger saja kalau orang-orang ngomongin apa itu
yang namanya program kerja. Program kerja itu kan Itu toh mas ya
kegiatan-kegiatan gitu toh mas…?”
“Yah…
kira-kira begitu lah… trus gimana yu?”
“Ya
partai itu berdasarkan program kerja saja… jadi ndak usah banyak-banyak…
bingung mas… yang milih nanti. Wong-wong cilik kaya saya ini kan ya kasian
toh…”
“Maksud
Yu Lasmi?”
“Gini…
untuk masa pemerintahan lima tahun kedepan ini, misalnya Partai Korek
menawarkan program kerja pembenahan pendidikan. Nah trus Partai Gunting
menawarkan program pembenahan kesehatan. Nah kita masyarakat ini tinggal milih,
kita cocok sama programnya siapa? Jadinya rakyat itu gak cuma dibujuk-bujuk
untuk milih aja, tapi juga diajak mikir… Negara kita ini lima tahun kedepan mau
mbenahi apa? Kesehatan atau pendidikan. Nah kan rakyat malah jadi pinter toh
mas, wong diajak mikir. Jadi partai itu
gak usah yang muluk-muluk gede-gede maunya… misalnya pendidikan, ekonomi,
kesehatan, agama, semua itu tadi dijadikan satu, mau di pek sendiri. Ya gak ketanganan toh kalau semua-semua mau ditangani?”
Kedua
tamu Yu Lasmi manggut-manggut.
“Kan
lebih baik mbenerin satu bidang aja tapi yang bener-bener gitu lho mas… dari
pada maunya ini dan itu, tapi malah bingung mau mulai dari mana.”
Kedua
laki-laki itu mengernyitkan dahinya.
“Nah
trus juga kita ini kan katanya Pancasila, eh tapi ngomong-ngomong kita ini
masih Negara Pancasila ndak toh mas?” Yu Lasmi mengernyitkan dahinya.
“Laaah,
Yu ini gimana toh? Ya masih lah”
“Ndak,
saya cuma tanya saja, takut salah… siapa tau sudah diganti. Lha wong sekarang
ini kok kayanya Pancasila itu sudah kurang top kaya jaman saya dulu.”
Keduanya
saling pandang. Nampaknya muncul keraguan dalam raut wajah mereka. Ada benarnya
juga… kemana Pancasila sekarang ya?
“Trus
hubungannya dengan Pancasila opo Yu?”
“Ndak…
saya melihatnya, sekarang ini kok jadi ada partai-partai untuk golongan-golongan
dan kepercayaan-kepercayaan tertentu. Wah ndak berani ah mas… nanti saya dianggap
ngomongin… opo… mas… itu lho… sar..sar… gitu…
“Maksud
Yu, SARA?”
“Lha…
ya itu… SARA… salah omong malah warung saya digulung…”
“Ndak
lah yu… ini kan cuma omong-omongan pinggir jalan aja… hayo apa yu?”
“Ndak…
gini lho mas, kan lebih bagus kita ini rukun toh? Jadi ya ndak usah pake partai
yang pake dasar agama-agama gitu. Soalnya agama itu artinya dalem banget je
mas… urusan kita sama Gusti Allah. Yang penting kita ini hidup percaya dengan
adanya Gusti Allah… mau pake jalan yang mana, itu kan pilihan kita sendiri toh
ya…ndak usah bengak-bengok kita ini
opo.”
“Ya…
ya… trus hubungannya dengan partai tadi apa yu?”
“Ya
itu tadi mas, jadi partai itu ya sifatnya umum saja, jadi malah bisa menjaring
keinginan orang banyak. Ndak dibatesi. Misale… saya ini kan orang islam yo mas,
tapi kalo saya tertarik sama programe partai yang bukan islam kan malah jadi
keliatannya saya ini murtad toh…padahal yang saya turut itu bukan agamane tapi
program partai ne… Trus misalnya, partai buruh lah, partai petani lah, partai
gado-gado lah… lha nanti kan yang milih jadi cuma sedikit toh ya mas, lha kaya
saya ini pasti akan milih partai gado-gado wong saya ini tukang gado-gado… lha
gimana ngitung menang kalahnya? Malah jadi cuma sedikit toh dapet suarane… weleeeh
kan jadi bingung toh mas? Gitu maksud saya… Wis ah mas… saya tak ngelayanin
tamu yang lain dulu ya…” Yu Lasmi beranjak bangun dari duduknya dan kembali
menuju gerobak gado-gadonya. Meninggalkan kedua tamunya yang masih melenggong
melihat sosok Yu Lasmi si penjual gado-gado dengan segala ocehan panjang
lebarnya. Ya pantas saja kalau banyak orang datang ke warung gado-gado Yu Lasmi
ini. Ternyata tamu-tamu tidak hanya dilayani dengan sepiring gado-gado dengan
ulekan yang yahud, tetapi juga diajak mikir, sambil ternganga pula melihat gaya
bicaranya yang lugas… aaah mencurigakan juga ini si Yu Lasmi, bener sekedar
tukang gado-gado… atau jangan-jangan dia komandan intelligent…. Hasyaaah…
ada-ada aja…. Siapa yang mau… komandan
kok disuruh pake celemek dan belepotan bumbu kacang….
“Oh
ya mas, doyan susu kedele ndak? Kalau doyan, saya kasih panjenengan berdua susu kedele bikinan ku sendiri lho…”
“Wah
ya doyan banget Yu… boleh-boleh…” Jawab salah satu dari kedua tamu yang tadi
asyik bincang-bincang dengannya.
“Le…
tolong ambilkan susu dele nya dua ya, buat mas-mas yang itu…” teriak Yu Lasmi
pada Kamal, anak laki-laki tanggung yang membantu seluruh akrifitas warungnya.
Asisten kalau kata orang gedongan.
“Men,
kalau orang kaya Yu Lasmi ini dapet kesempatan sekolah udah jadi professor kali
ya…”
“Hehe…
bisa jadi… tuh duit daripada dibuang-buang buat bikin baliho mending buat
nyekolahin anak-anak di pelosok sana. Biar orang-orang makin pada pinter. Yu
Lasmi aja gak sekolah bisa mikir. Apalagi kalo dikasih kesempatan sekolah…”
“Jadi
kamu mau pilih mana? Partai Korek atau Gunting?”
“Aku
pilih partai gado-gado aja, kalau si Yu Lasmi ini bikin partai gado-gado… “
Jawab laki-laki itu sambil menyuapkan gado-gado pamungkasnya.
Mampang,
19 Desember 2008.
Tulisan
ini kubuat sebagai kenangan pemilu 2009.
Saat
lamaran beberapa partai untuk bergabung terpaksa
tak ku-amin-i….
Editing
renew : Mampang, 24 Juli 2013