“Ambilkan bulan bu…
Ambilkan bulan bu…
Yang selalu
bersinar dilangit….
Dilangit bulan
benderang, cahyanya sampai ke bintang.
Ambilkan bulan bu…
Untuk menerangi,
tidurku yang lelap dimalam gelap….”
Lagu itu terus terdengar perlahan
kadang berdesis, dari bibir perempuan setengah baya sambil memandangi goresan turus
yang tak terasa telah memenuhi keempat sisi dinding rumahnya. Butiran bening
air mata yang setiap pagi mengalir dari kedua kelopak matanya saat ia
menggoreskan turus semakin membanjir, ketika ia harus menggoreskan turus
terakhir yang masih bisa ia gariskan di sisi ujung dinding terakhir di rumahnya
sudah penuh terisi. Satu, dua, tiga, empat dan lima melintang… satu, dua, tiga,
empat, lima melintang…. Namun Adnan tak juga pulang. “Dimana lagi nak, harus kugores tangkai
turusku ini, bila seluruh dinding telah penuh…?”
Sebelas kotak berisi 100 batang
kapur putih sudah pula habis untuk menggoreskan tiang turus didinding rumahnya
yang sempit. Perempuan itu berdiri, masih sambil bergumam lagu ambilkan bulan
dan melangkah perlahan ke ruang dapur. Masih ada dinding disana, namun tak
mungkin ia menggoreskan tiang turus karena dindingnya terbuat dari gedeg anyaman bambu. “Adnan, dimana kau
nak…? Tak adakah rindumu untuk ibu? kalaupun harus kuambil bulan untuk
menyinari tidurmu, akan segera kuambilkan untukmu. Dilangit… bulan benderang… cahyanya sampai ke bintang…” desisnya
lagi melanjutkan lagu yang sempat terputus oleh kata-katanya memanggil-manggil
Adnan Basuki anak laki-laki yang pernah lahir dari rahimnya.
“Apa cita-citamu, le[1]?”
Tanyanya lembut pada buah hatinya pada suatu sore di balai-balai teras rumah.
Belaiannya tak kunjung henti mengusap rambut lurus anak laki-laki yang
meletakkan kepalanya dipangkuan ibunda.
“Aku pengin jadi astronot mbok…”
“Astronot? Apa itu le?”
“Itu lho mbok, orang yang bisa
terbang ke bulan”
“Oaaalah le… le… kamu itu kok ya
punya cita-cita aneh. Mana mungkin manusia kok bisa sampai di bulan?”
“Bisa, mbok.”
“Bagaimana carane, le? Kamu
terbang gitu opo piye?”
“Ya naik pesawat toh, mbok…”
“Oalaah le… pesawat opo?”
“Ya ada, mbok. Pesawat luar
angkasa namanya…”
“Ojo ngimpi kamu, le… ngimpi yang
ketinggian bisa membuat kamu itu kebablasan. Kamu itu Cuma terpengaruh lagu to,
le…”
“Ndak, aku mau merakit pesawat, mbok.
Supaya bisa terbang ke bulan. Aku tekat mbok, mau ke bulan.”
“Ada apa toh le, dibulan? Kok
kamu itu pengin banget kesana?”
“Ada bapak, mbok… Ada bapak…”
jawab Adnan lirih.
Perempuan itu tersentak, terdiam.
Tak terasa matanya panas, penuh air mata. Laki-laki itu sudah tak lagi teringat
oleh mereka berdua, mengapa Adnan yang dibesarkannya seorang diri, justru malah
mencari laki-laki yang tak pernah peduli itu?
***
Perempuan itu bernama Wasti.
Seorang perempuan penjual tempe, yang tinggal bersama anak laki-laki
satu-satunya bernama Adnan Basuki. Setiap pagi ia berjalan perlahan menuju
pasar sambil menjinjing tempe-tempe dagangannya. Seperjalanan sejak goresan
tiang turus pertamanya ia selalu menghentikan semua orang yang ditemuinya.
“Yu Par, lihat Adnan tidak?”
“Tidak je… coba tanya sama kang
Tum disana itu? Biasanya anakmu main dibengkelnya kang Tum toh..?”
Perempuan itu melanjutkan lagi
jalannya. Begitulah dia setiap harinya. Seluruh desa akhirnya geger karena
ternyata Adnan Basuki anak Yu Wasti penjual tempe itu hilang. Setiap hari ada
saja yang mendatangi yu Wasti yang menanyakan tentang kepergian Adnan, anak
semata wayangnya.
“Lha terakhir dia itu pamit
kemana toh, yu?” Parjiah bertanya dengan wajah cemas.
“Ya ndak pernah pamit
kemana-mana, wong dia itu juga ndak pernah pengin pergi kemana-mana.”
“Trus apa dia punya teman dikota
toh, yu?” Sutinem ganti bertanya dengan wajah ingin tahu.
“Kayanya ya ndak ya… wong dia itu
juga ke sekolah, trus pulang. Ya paling ke bengkelnya kang Tumiran itu…”
Berjuta pertanyaan yang dikemas
oleh seluruh tetangga yang hampir setiap hari hilir mudik ke rumah yu Wasti
menanyakan keberadaan Adnan, tanpa ada yang memberikan solusi. Semua hanya
bertanya. Yu Wasti mulai putus asa. Awal hilangnya Adnan dulu pak Kepala Dusun turut
sibuk menghimbau seluruh warga dusun untuk turut membantu mencari Adnan, sampai
kepelosok hutan dan bukit. Seluruh warga dusun dengan suka rela membunyikan
seluruh peralatan dapur, mulai dari panci, dandang, soblok[2],
tampah, dan semua peralatan memasak lainnya dan berbaris mengitari seluruh
dusun. Memanggil-manggil nama yang hilang agar kembali pulang. Seminggu
berturut-turut seluruh warga turun ke jalan hingga pelosok-pelosok dan dusun
tetangga.
“Adnan Basuki, anake Yu Wasti
sudah seminggu ini tidak kembali. Minta bantuan kepada seluruh warga dusun dan
seluruh aparat dusun untuk membantu mencari, dimana keberadaan Adnan Basuki.
Kalau ada yang kebetulan ke kota, nyuwun
tulung [3]
juga untuk diawat-awati[4],
siapa tahu anak ini kesasar sampai ke kota dan ndak tahu jalan pulang.” Itu
pidato pak Kepala Dusun saat dulu ketika baru 3 hari Adnan tidak pulang.
Tapi sekarang sudah hari ke 1008.
Adnan belum juga pulang, dan seluruh warga dusun sudah tidak lagi ada yang
menanyakannya. Semua sudah menanggap Adnan mati, atau memang sengaja minggat.
Tapi setiap pagi, Wasti tetap saja menanyakan keberadaan anaknya kepada
siapapun yang ditemuinya.
“Darmi, lihat Adnan ndak…?”
perempuan Wasti yang kehilangan anaknya itu setiap pagi tetap menanyakan
keberadaan anaknya.
“Yu, sudah lebih 3 tahun anakmu
itu tidak pulang. Ya sudah berarti tidak didusun ini … Aku ya ndak tahu dimana
dia sekarang toh ya…”
Perempuan Wasti terus berjalan
perlahan sambil masih menggendong tenggok[5]
isi tempe bikinannya sendiri menuju pasar.
“Eh..eh.. Yono… sini le…”
panggilnya pada Yono kawan main Adnan di sekolahnya dulu.
“Dalem bude…” jawab Yono.
“Kamu kan satu sekolah dengan
Adnan… kamu lihat ndak Adnan dimana?”
“Lho bude, sekarang saya sudah
tidak satu sekolah lagi dengan Adnan. Saya sekarang sudah di SMP dusun
sebelah.” Jawab Yono
“Oh, jadi kamu juga tidak pernah
ketemu lagi sama anakku ya Yon…”
“Mboten bude..” jawab Yono sopan.
Dari orang tuanya dan seluruh warga dusun Yono dan kawan-kawan Adnan sudah
dibekali jawaban, apabila ditanya oleh Wasti. Jawab sesopan mungkin agar
perempuan itu tidak sedih karena anaknya sudah tiga tahun ini tidak pulang.
Tetapi tetap saja, akhirnya warga dusun menjadi bosan juga dengan pertanyaan
Wasti. Dan yang menyedihkan lagi, sudah mulai ada hembusan angin tak sedap yang
mengatakan Wasti mulai gila. Tapi pak Kepala Dusun masih menanggap Wasti masih
waras, karena masih bisa membuat tempe yang baik dan menjualnya di pasar.
“Pak Kadus… itu si Wasti sudah
mulai ngengleng[6]… “
Jupari mengadu pada bapak kepala dusun.
“Ngengleng gimana toh maksudmu?” tanya pak Kepala Dusun lagi.
“Ya ngengleng pak, wong sejak anaknya ndak pulang itu setiap hari dia
tanya sama semua orang apa lihat anaknya… sampe sekarang.”
“Ya wajar toh Par… coba kalau
anakmu yang ilang…”
“Ya jangan gitu toh pak Kadus…
jangan trus mendoakan anak saya juga hilang”
“Lho bukan gitu, Par. Itu wajar,
kalau dia masih terus menanyakan keberadaan anaknya.”
“Tapi kan dia itu seharusnya
sudah tahu bahwa seluruh warga dusun ini tidak tahu anaknya ada dimana. Seharusnya
tidak setiap hari dia tanyakan sama seluruh warga toh pak…”
“Sudah… dijawab saja setahu mu.
Tapi ingat pesanku, jangan semakin membuat dia sedih.” Selalu itu jawaban pak Kepala
Dusun, setiap kali ada orang yang membicarakan tentang perempuan Wasti si
penjual tempe.
Setiap lepas Adzan magrib, selalu
terdengar lirih suara yu Wasti menyanyikan lagi ambilkan bulan. Terus… terus
dan terus hingga lepas tengah malam buta. Itu dilakukan sejak Adnan hilang
hingga saat ini. Dan paginya Wasti menggoreskan tiang turus di dinding
rumahnya. Kini Wasti tak lagi dapat bertahan. Dinding rumahnya sudah penuh
tiang turus, dan kini tak ada lagi tempat untuk menggoreskannya. Wasti
memutuskan untuk menggoreskan tiang turus pada dinding gedheg di dapur. Wajahnya makin nampak tua sejak ditinggal anaknya.
Kadang ia merasa melihat kelebat anaknya dihalaman dan segera mengejar sambil
memanggil namanya. Banyak tetangga yang akhirnya mengelus dada. Prihatin dengan
keadaan perempuan yang kini nampak begitu tertekan. Banyak yang kemudian
mengajaknya bergabung dalam kegiatan dusun, mulai dari mengikuti kegiatan
kesehatan, pengajian, arisan, atau sekedar menonton TV di rumah juragan Semin
di ujung gang sana. Tapi Wasti jarang mau ikut. Cuma sekali dua kali saja ia
bergabung. Dalam kekalutannya, Wasti kini jarang keluar rumah. Ia hanya
berkutat dengan kedelai, ragi dan tempe-tempenya. Bisa dibilang ia masih waras,
karena masih bisa bekerja, membuat tempe dan menjualnya. Tapi tidak juga,
ketika ia sudah mulai mengejar-ngejar dan memanggil-manggil nama anaknya.
***
Entah ada angin apa, sore itu
Wasti mau ikut kerumah juragan Semin oleh Mbak Yuni. Entah karena perempuan
muda itu pintar merayu yu Wasti atau karena memang perempuan penjual tempe itu
sudah bosan juga seharian ini hanya bercengkerama dengan ember-ember rendaman
kedelainya. Yang jelas, Mbak Yuni datang bersama Yu Wasti sore itu ke rumah
juragan Semin untuk menonton TV. Biasanya kalau mbak Yuni datang, juragan Semin
kemudian membuka pintu rumahnya lebih lebar, dan diapun ikut juga bersama warga
dusun lainnya menikmati siaran TV. Warga dusun juga ikut senang bila mbak Yuni
ada diantara mereka, karena kemudian juragan Semin akan menghidangkan rebusan
singkong dan gorengan tahu bacem.
Malam itu berita di TV sungguh
menghebohkan. Dua hotel modern di Jakarta di bom. Mungkin itu juga yang membuat
mbak Yuni ikut nonton, karena biasanya kalau tidak ada berita yang heboh, mbak
Yuni juga jarang ikut serta. Sejak sore hingga malam tak lepas dari berita
pengeboman di kedua hotel itu.
Mbak Yuni dan Yu Wasti datang dan
segera berbaur ditengah-tengah mereka. Melihat Mbak Yuni, juragan Semin
langsung mendaulat pembantu-pembantunya untuk menyiapkan kudapan. Senyum-senyum
juragan Semin berusaha menarik perhatian mbak Yuni yang masih sibuk
berbasa-basi dengan warga yang sudah lebih dahulu berada disana.
“Waduuuuh… tumben Yu Wasti ikut
nonton… nah mbok gitu toh Yu, biar punya wawasan luas dan tambah pengetahuan…”
Yu Wasti hanya tersenyum ketika
celetukan itu terdengar. Ia hanya bisa menggut-manggut ketika banyak lagi
celetukan yang muncul untuknya. Entah menghibur, atau juga hanya sekedar
ikut-ikutan bersuara, yang penting ambil bagian.
“Katanya setelah iklan, akan
disiarkan rekaman gambar dari kamera di hotel lho, kang…” Juminten menepuk
pundak Joko yang baru saja datang dan duduk bersila disebelahnya.
“Waaah… sebentar lagi, yu…
beruntung aku belum telat beritanya…”
Jawabnya singkat.
“Weleeeh… kok ya tega banget ya,
bikin orang susah. Apa ya kalau orang itu makin pinter malah makin keblinger
ya…?” celetuk seseorang ditengah-tengah penonton yang duduk lesehan didepan
layar TV.
“Orang itu ndak punya hati…”
“Iyo… kaya gitu kok mati syahid…”
“Ndak… itu mati konyol namanya…”
“Iyo… bener itu… mati konyol”
“Gusti Allah ndak pernah ngajari
begitu kan…?”
“Wong edan…”
“Iyo… wong gendheng…”
“Pasti ndak pernah dapet
pendidikan dari orang tuanya…”
“Orang kok ndak ada hatinya…
pasti wulunen kuwi atine[7]…”
“Ora slamet itu orang…”
“Masuk neraka dia…”
Masih banyak celetukan lainnya
yang semua bernada hujatan pada pelaku bom bunuh diri itu. Semua penonton pada
malam itu nampak geram, marah, dan banyak pula yang tak tega melihat puluhan
orang yang menjadi korban keganasan bom itu.
“Selamat malam…” terdengar suara reporter TV
menyapa penontonnya, setelah tayangan iklan selesai.
“Ssst… sudah mulai lagi itu…
sekarang ini mau dikasih lihat film rekaman dari kamera di hotel itu…”
“Iyo… iyo… wis ngerti… sudah kamu
diem saja… malah tidak konsentrasi nanti nontonnya.”
Suasana mendadak menjadi sepi…
mencekam. Seluruh penonton ditempat itu seakan tercekat. Dengan perasaan marah
mereka memelototi layar kaca di rumah juragan Semin itu.
“Pemirsa, berikut adalah tayangan
dari CCTV yang merekam seluruh kegiatan pelaku bom bunuh diri di hotel berbintang
di Jakarta pagi tadi…”
Suara musik terdengar, dan
tayangan rekaman kamera mulai terlihat. Seorang laki-laki muda bertopi, membawa
ransel berjalan melangkah masuk ke dalam hotel. Wajah laki-laki itu sungguh
tertangkap dengan jelas di layar kamera perekam. Semua orang di rumah juragan
Semin itu memicingkan matanya. Mencoba untuk mengenali wajah pelaku dalam gerak
lambat. Masih mencoba menerka, walau merasa telah terpastikan. Masih terus
menerawang, walau sudah bisa ditentukan. Tiba-tiba seperti berbarengan seluruh
warga dusun yang menonton TV malam itu tercekat, melihat wajah yang
tertampilkan di layar sebagai pelaku bom bunuh diri yang mereka hujati.
Tayangan itu diulang kembali beberapa kali…. Dan Semua menahan napas, satu
persatu mulai memalingkan muka, menoleh pada Yu Wasti. Yu Wasti tiba-tiba
merinding, ia nampak begitu ketakutan, ketika semua wajah memandanginya. Tiba-tiba
dari dalam TV terdengar suara… “JLEGAAAAAAAAAAAR….”
Dan tayangan di layar kaca itu kemudian penuh dengan titik-titik hitam….. “Ambilkan bulan bu….”
EM
Mampang, 3 Agustus 2009.
[1]. Panggilan anak laki-laki jawa.
[2].
Sejenis dandang
[3].
Minta tolong
[4].
Dipantau
[5].
Keranjang
[6].
Sakit jiwa
[7].
Hatinya berbulu