10 July 2008

Ooh Maak.. !!!


Tenggorokanku masih tercekat dengan berita di layar kaca plazma 36 inch dihadapanku. Lebarnya layar membuat mayat yang sudah terpotong-potong itu menjadi nampak begitu jelas. Sementara si tersangka yang sudah bengkak-bengkak digebuki massa hanya bisa terpekur dengan tangan ngapurancang tak berdaya. “Ooh mak !!!” pekikku dalam hati dengan kata yang ku pinjam dari bahasa laki-lakiku bila sedang terkejut, terperanjat atas sesuatu yang terjadi diluar dugaannya. Teganya dia memutilasi “kekasih” yang sudah lima tahun hidup bersama di rumah susun itu. Sebenarnya bukan itu penekanan pikiranku, tetapi lebih kepada apa yang ada didalam kepala dan hatinya saat ia menorehkan pisau dapurnya ke tubuh orang yang selama ini hidup dengannya atas nama cinta sejenis.... Sekali lagi… Ooh Mak !!!

Berita ini akan kubawa besok pagi dalam diskusiku dengan Frans dan Max, sahabat-sahabatku, sekaligus tim penelitianku yang sudah kuanggap adik-adikku sendiri. Bagiku berita ini penting sebagai data sekunder penelitian kami. Kebetulan saat ini kami bertiga sedang melakukan penelitian tentang perilaku seksual menyimpang, bekerjasama dengan sebuah Rumah Sakit Pemerintah. Berita tadi, kuanggap penting sebagai data sekunder yang dapat mendukung pernyataan tentang adanya kecenderungan orang-orang yang memiliki penyimpangan perilaku seksual -dalam hal ini cinta sejenis baik gay ataupun lesbian- memiliki sense of belonging yang lebih tinggi dibandingkan dengan perilaku orang normal. Hal ini juga pernah kutemukan dalam penelitianku tahun 1994 dahulu, ketika aku mengambil mata kuliah Sosiologi Perilaku Menyimpang. Dalam mata kuliah itu dijelaskan oleh dosenku bahwa salah satu bentuk dari perilaku menyimpang adalah penyimpangan perilaku seksual, yaitu homoseksual, baik gay untuk laki-laki dan lesbian untuk perempuan. Untuk bisa lulus dalam mata kuliah itu, ujian akhir diganti dengan penelitian. Kala itu aku meneliti tentang perilaku seksual meyimpang pada lesbian. Mengapa aku mengambil perilaku seks menyimpang, karena menurutku masalah seks merupakan topic yang menarik dibandingkan masalah-masalah penyimpangan yang lain. Aku terang-terangan saja mengatakan demikian, karena memang itulah kenyataannya. Banyak yang kemudian juga menganggapku bicara terlalu vulgar. Bagiku sex bukan masalah tabu, justru itu harus dikomunikasikan. Alasannya? Karena banyak suami-suami yang berakhir di ranjang pelacur, karena sang istri menganggap hubungan intim yang aneh-aneh adalah tabu. Sementara suami-suami adalah seorang petualang sejati yang menginginkan sesuatu yang lain, variasi cukup penting dalam hubungan coitus intercourse antara suami dan istri. Nah, yang seperti inilah yang kadang membuatku dicap terlalu vulgar. Padahal menurutku komunikasi dalam berhubungan sex itu penting untuk kelangsungan dan kelanggengan rumah tangga. Aku kadang heran, banyak orang yang sepertinya tabu membicarakan masalah sex, padahal dalam hatinya mau… dan tidak sedikit juga yang curi-curi dengar pembicaraan orang, walau seakan memasang muka cuek dan memandang kami dengan wajah jijik. Ah... tabu tapi mau...

Kembali lagi ke masalah temuan penelitian lesbianku dulu, ya memang begitulah mereka, karena jumlah mereka yang sedikit, maka mereka berusaha mempertahankan pasangannya. Dengan demikian, maka sering kali mereka tidak ragu untuk melakukan tindak kekerasan. “Aku tidak mendapatkan kamu, orang lainpun tak ada yang boleh mendapatkanmu...” Ooh Mak !!! Ngeri kali.... Walaupun tidak semua begitu dan tidak selalu begitu... tapi tetap saja... Ooh Mak!!! Ngerinya...

Sebagai seorang aktifis HIV / AIDS sebuah lembaga swadaya masyarakat, Frans gencar memerangi mereka yang memiliki perilaku seksual menyimpang. Ia selalu mengkaitkan perilaku seksual menyimpang dengan faktor kesehatan terkait dengan penyakit HIV / AIDS yang sudah begitu ngelotok di kepalanya. Frans sangat anti dengan perilaku anal seks yang sering dilakukan oleh para gay. Dengan gamblang ia menjelaskan bagaimana proses penularan virus yang disebarkan melalui hubungan anal. Bagiku penjelasannya jauh dari jorok, tapi justru menjadi sebuah pengetahuan yang sangat berharga. Ia begitu concern dan sangat menguasai. Hebat… dan yang membuatku makin kagum adalah konsistensinya dengan masalah itu. Sejak aku mengenalnya sepuluh tahun yang lalu, sampai detik ini ia masih setia melayani mereka yang terkena HIV/AIDS. Hebat... Max lain lagi, perilaku menyimpang dilihat dari paradigma lingkungan social. Ia begitu fasih menjelaskan peta perilaku menyimpang yang saat ini berkembang di masyarakat. Bagaimana perkembangan perilaku seksual menyimpang yang muncul dan selalu menyajikan data terbaru dari trend para pelaku seksual menyimpang. Max dengan segala keterangannya juga menyadarkan aku bagaimana perilaku seksual itu menjadi begitu mudah merambah. Hal itu disebabkan antara lain karena factor ikut-ikutan, coba-coba dan akhirnya keterusan. Bagiku itu penting, dan kita tidak boleh tutup mata, seakan tabu membicarakan itu atau malah tertawa meledek. Tapi kita harus mencari solusi. Itu menurutku. Bagiku penelitian kali ini menarik, karena kami bertiga memiliki latar belakang yang cukup untuk dapat menemukan solusi terbaik bagi mereka yang mengalami perilaku seksual menyimpang.

Selain itu aku memiliki hal menarik juga untuk bisa kuungkapkan yaitu, aku dan laki-lakiku menyadari bahwa kami adalah sasaran empuk bagi mereka yang memiliki perilaku seksual menyimpang. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu. Hal itu terungkap ketika kami sedang bincang-bincang sore pada suatu hari, aku menceritakan pengalamanku di”gila-gila”i oleh seorang lesbian, saat aku masih kuliah dulu. Itu pula sebabnya mengapa aku mengambil topic lesbian untuk ujian akhir mata kuliah Sosiologi Perilaku Menyimang. Ternyata laki-lakiku pun memiliki cerita yang tak kalah seru juga, karena iapun memiliki pengalaman yang sama, yaitu di”gila-gila”i oleh seorang gay. “Hahaha...” Ketika itu kami tertawa bersama. “Jangan-jangan kita ada bakat juga ya bang jadi homoseksual” kataku padanya. “Ya mungkin juga” jawabnya ringan. Mengapa aku mengatakan begitu, karena setahuku, mereka yang memiliki homosexual sense bisa mengenali mereka yang juga memiliki sense yang sama. Jadi kami was-was juga, karena tidak menutup kemungkinan menjadi target sasaran para homoseksual. “Jangan-jangan kamu juga gay, atau... hetero?” tanyaku padanya. “Sembarangan… kamu juga dong...” jawabnya. “Masih enak meluk kamu, daripada meluk Ade Ray...” jawabnya lagi. Aduh… maaf Ade Ray, namamu jadi disebut-sebut. Maksud laki-lakiku adalah, lebih enak memeluk perempuan daripada memeluk sesama laki-laki. Hanya dia memang terlalu ekstrem menyimbolkan kejantanan dengan sosok seorang Ade Ray. “Tapi jangan salah Nong…” kata laki-lakiku lagi. Ia memanggilku Inong… Jadi bukan karena dahiku nonong… “Orang yang menyimpang itu… biasanya mereka adalah orang yang cerdas”. Aku mengangguk-angguk, mungkin ada benarnya juga. Tapi basically aku tidak tahu kebenaran dari pernyataan laki-lakiku itu, karena bagiku selama aku belum baca sendiri hasil penelitian yang menyatakan bahwa orang berperilaku menyimpang punya kecenderungan berotak cerdas, aku tidak mau berkomentar. Atau mungkin saja sudah ada penelitiannya, tapi aku yang belum baca… Bisa jadi….

Berita mutilasi di TV tadi, membuat tatapanku jadi nanar, pandanganku jadi menerawang. Gila juga orang itu.... pasti sudah gila dia. Atau malah aku yang sudah gila gara-gara berita criminal brengsek itu. Aku seakan berada di tempat kejadian dan melihat si tersangka yang tadi kulihat di TV tak berdaya dan sudah memar-memar, kini dengan beringas mencincang tubuh laki-laki “kekasih”nya itu. Menyeringai ia menoleh padaku sambil memamerkan lengan korban yang telah ditebas dari tubuhnya dan menyodorkannya padaku. Tetes-tetes darah nampak bagai sisa hujan sore hari. Aku menutup mulutku dengan kedua tangan, sambil membelalakkan mata. Menoleh ke kanan dan kiri. Sepi tak ada orang, kami hanya bertiga. Aku, tersangka dan korban yang sudah mulai tidak utuh lagi. Astaga kenapa aku jadi ada disini? Ooh Mak !!! ini tidak betul. Pasti ada yang salah. “Dia selingkuh, dia meninggalkanku…” suaranya parau. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi. Telingaku tidak salah dengarkah? “Kalau sudah seperti ini bentuknya, pasti dia tidak akan bisa selingkuh lagi kan? Sekarang dia benar-benar hanya untukku.” Sambungnya lagi, sambil memeluk potongan-potongan tubuh yang basah dengan darah. Menciuminya dengan penuh nafsu. Tersangka itupun seakan tak menghiraukan tubuhnya berlumuran darah segar korbannya. Ooh Mak!!! Aku ingin menjerit, tapi suaraku tak bisa keluar, seakan tersumbat oleh potongan kaki korban yang menyumpal memenuhi seluruh rongga mulutku. Mual rasaku... tapi aku tetap tidak bisa bergerak. Absurd, abstrak.... Astaga, apa yang terjadi padaku? Gay itu meringis-ringis mengelilingiku sambil menggendong tubuh “kekasih”nya yang sudah tanpa tangan, tanpa kepala, tanpa kaki. Monster keparat... Ia malah tertawa sambil terus menandak-nandak mengelilingiku, yang sedang bersusah payah seakan berusaha melepeh potongan kaki yang disumpalkan dimulutku. Ceceran darah membentuk lingkaran mengelilingiku. Ooh Mak !!! Apa ini? Please... aku tidak mau bercanda. Lepaskan aku dari sini... lepaskan aku dari performing art gay gila ini... Please... rintihku dalam hati. Rintihan ini kutujukan pada siapa? Aku tak tahu… Siapa sajalah yang bisa dengar rintihanku… yang penting aku segera keluar dari lingkaran iblis ini. Aku seperti sedang menjadi Dewi Shinta dalam cerita Ramayana, yang sedang berada di lingkaran ajaib yang dibuat oleh Laksmana, agar terhindar dari kejaran Rahwana. Tapi itu lingkaran keselamatan…Sekarang ini?… Lingkaran setan… Tersangka itu mulai menggapai-gapai tangannya berusaha merengkuh aku dalam pelukan sebelah kiri, sementara tangan kanannya tetap memeluk korban yang hanya tinggal badan saja… Bau anyir aroma darah tersebar menggelitik hidungku. Ooh Mak !!! tolong aku…

Aku tersentak ketika terdengar suara benda jatuh dari arah dapur... Astaga... Terima kasih Tuhan. Aku masih berada di depan layar kaca. Tubuhku terasa basah, aku ngeri membayangkan bahwa tubuhku basah oleh darah, seperti yang baru saja kualami. Perlahan aku lirik tubuhku sendiri dengan separuh mata... fiiuuh.... lega rasanya, karena hanya keringat bukan darah. Mimpi aku rupanya. Brengsek... bolehlah mimpi, tapi kenapa harus mimpi buruk seperti itu. Aku beranjak ke dapur, tempat asal suara kemelontang tadi. Aah... tikus gila. Biasanya aku segera menyumpah serapah, bila tikus-tikus itu membuat dapurku menjadi playground mereka. Tapi tidak kali ini. Terima kasih segera kuucapkan pada tikus keparat itu, karena telah menyelamatkan aku dari tersangka gila yang tak hentinya menandak mengelilingiku tadi. Aku kembali keruang tengah. Dilayar kaca Syaiful Djamil sedang bergoyang dangdut... Astaga, badannya yang kekar itu meliuk-liuk dengan lenturnya. Apa jadinya bila ia seperti korban dalam mimpiku tadi? Hanya badan, tanpa kepala, tanpa tangan, tanpa kaki.... tapi bisa meliuk-liuk, seperti yang kulihat tadi dalam pelukan tersangka. Aah... sumpah, kenapa aku jadi parno begini? Segera kuraih remote control, dan kubunuh layar kaca sialan itu. Lho… kenapa jadi TV nya yang salah? Terdengar suara dentang grandfather clock kuno merk Junghans peninggalan almarhum ayahku yang berdentang empat kali. Harus segera kutanya arti mimpiku pada pak Otto guru spiritualku, mudah-mudahan kejadian tadi hanya bunga tidur. Aah… genit sekali sang tidur, harus dengan persembahan bunga…

Aku tidak bisa konsentrasi mendengar diskusi yang biasanya membuatku sangat antusias. Mungkin karena aku terlalu letih melewati pesta dansa gila bertiga semalam. Ooh Mak !!! mohon ampuuun... Wajah Frans dan Max dihadapanku tampak kabur. Hanya nampak bibir-bibir mereka yang komat-kamit, sedangkan wajah mereka blur tak jelas. Ooh Mak !!! sudah gila sungguhan aku ini. Aku benar-benar tidak bisa konsentrasi dengan pembicaraan mereka tentang penelitian kami kali ini. Aah, aku tahu sekarang, mengapa bunga tidur semalam menghampiriku. Mungkin data-data tentang penelitian ini, telah membuatku penat. Hingga akhirnya pada saat aku melihat potongan mayat korban di berita semalam, semua tumpukan penat itu mencuat keatas, muncul menjadi sebuah gambaran nyata yang sangat mengerikan… Tapi itu juga baru mungkin…. Benar atau salahnya aku juga tidak tahu. Tapi tetap aku beri judul “Brengsek”. Max menyentuh dahiku yang berkeringat. “Loe kenapa sih mbak?” tanyanya sambil mencheck dahiku, mungkin aku demam. Aku segera menceritakan mimpiku semalam dengan terbata-bata. Max memandangiku dengan antusias. Sementara Frans menanggapinya dengan perkataan ringan saja, “Loe capek mbak, dah istirahat dulu deh. Diskusi kita lanjutin besok. Biar sekarang gue sama Max masukin data dari Rumah Sakit dulu”. Aku mengangguk, berterima kasih pada mereka, yang mau mengerti kondisiku. Max berdiri mendekatiku dan membantuku mengangkat badan yang kurasa sangat berat. “Max gendong...” rengekku pada Max. “Ogah... badan loe kan segede galon... Udah... berisik banget sih, sakit aja cerewet, gimana kalo sehat?” jawab Max sambil memapahku. “Brengsek...” jawabku. “Hahaha...” tawa Frans terdengar berderai.... Kurang ajar.

Mimpi buruk itu sudah dua bulan berlalu. “Terima kasih Tuhan, hanya sekali kau memberiku bunga tidur yang mengerikan itu”. Bukan bunga harum wangi, tapi lebih tepat kusebut sebagai bunga bangkai. Penelitian kami sudah hampir selesai. Saat ini kami sedang sibuk menyusun laporan penelitian yang akan kami presentasikan dua minggu lagi dihadapan direktur Rumah Sakit. Kulihat Frans sudah berkemas hendak pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Kutanya Frans dimana Max, “Masih di computer. Aku jalan ya mbak, mau jemput Rosa dulu.” Jawabnya sambil mengenakan jaketnya. Aku mengangguk dan melangkah ke dapur. Tapi aku urung dan berbelok menuju kantor, paling tidak aku mau menyapa Max yang pasti penat di depan komputer terus sejak tadi. Ku lihat ada yang aneh dengan Max. Ia menelungkup dimeja, didepan komputer. Dari belakang kulihat punggungnya naik turun dan kudengar isak seseorang sedang menangis. Aku mengernyitkan dahi. Max rupanya yang menangis. “Max...” panggilku sambil mendekat dan menepuk punggungnya. Max mengangkat wajahnya, dan segera memelukku. Ia menangis sejadinya di dadaku. Aku hampir jatuh ketika Max yang sebesar banteng itu menubrukku. Ingin aku memberondongnya dengan berjuta pertanyaan pertanyaan. Tapi aku sudah harus paham, pasti terjadi sesuatu yang sangat berat pada Max. Max memelukku sambil duduk, sementara aku tetap berdiri. Aku membalas pelukannya, membiarkan airmata sahabatku itu membasahi pakaianku pada bagian dada hingga perut itu. Perlahan kuusap kepalanya perlahan, sambil berdesis “Ssshhh… Ok Max, tumpahkan semua… Go head… buang semua sesakmu… Kamu boleh nangis…. “ Kuusap lembut kepalanya. Isaknya makin terdengar makin kencang. Aku mengangkat kedua alis mataku. Aduuuh.... bagaimana ini? Malah semakin kuat isaknya... Seorang Max, laki-laki dengan lengan berotot dan perut sixpack meraung seperti seorang bayi yang kehilangan puting susu ibunya. Mendadak Max berhenti. Ia mengangkat wajahnya menatapku. Aku membalas tatapannya, sambil tersenyum. Mencoba untuk masuk dalam perasaannya dan mengisyaratkan padanya bahwa aku sangat mengerti dirinya dan siap untuk menjadi tong sampahnya. “Gue capek mbak…” katanya disela napasnya yang masih tersengal. Aku tertawa, “Ya ampun Max… kalo loe capek, ya udah istirahat dulu. Kita masih punya banyak waktu, bisa loe terusin besok kok…” jawabku dengan lembut, berusaha untuk menenangkannya. Tapi Max menggelengkan kepala. Aku segera menariknya untuk duduk di sofa di ruang tamu kantor. Maksudku untuk membuatnya lebih nyaman. Sebenarnya aku juga tidak kuat harus menahan badannya yang sebesar banteng itu. Kami duduk berdampingan. Aku masih menunggu keterangan Max, walau aku tak tahu masalah apa yang akan disampaikan oleh Max, atau apapun lah yang telah membuatnya menjadi seperti itu.

“Gue capek mbak, gue dah nggak tahan lagi sama pacarku…” suaranya terbata-bata. Aku mengernyitkan dahi. Kali ini aku yang terkejut, “Jadi loe punya pacar Max?”. Ia menganggukkan kepala menjawab keingin tahuanku. “Dan pacar gue sekarang ini ninggalin gue…”. Lalu? Tak sadar mataku membelalak, seluruh perbendaharaan kata ku lenyap dan mulutku ternganga lebar begitu mendengar kalimat Max selanjutnya, “Pacarku cowoq mbak… gue gay…”. Ooh Mak !!! Sontak lintasan peristiwa pesta dansa gila dalam mimpiku seakan hadir lagi dihadapanku. Terasa badanku basah berkeringat, didalam ruangan kantorku dengan temperature AC 17 derajat. Astaga... “Pantesan kamu cerdas Max, otakmu cemerlang... IP mu 4. Kalau begitu ada benarnya juga kata laki-lakiku.” Kataku dalam hati. Max masih menatapku, aku membalas tatapannya tanpa berkata-kata. Perlahan matanya mulai membasah dan airmatanya mulai mengalir lagi perlahan. Aku tidak tahan melihat Max, sahabatku, adikku yang selama ini sangat kusayangi. Aku memutuskan untuk dapat menerima dia apa adanya. Ia pasti membutuhkan dukunganku. Tanpa meminta ijinku, Max merebahkan kepalanya di pangkuanku dan ia kembali terisak. Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Apakah aku sedang bermimpi seperti dua bulan silam? Bibirku terasa perih... Ooh Mak!!! Tidak... rupanya aku tidak sedang bermimpi. Ini nyata. Perlahan kembali kuusap kepala Max dengan lembut. Bibirku masih kaku, seperti terekat super glue yang membuat bibirku terasa lekat satu dengan yang lain. “Gue harap loe bisa ngertiin gue ya mbak... Loe masih mau jadi temen gue kan mbak?… masih mau jadi kakak gue kan mbak? Setelah loe tau gimana gue yang sebenernya?” Suaranya parau. Aku masih membelai kepalanya, mengangguk, sambil memejamkan mataku. Tentu Max tidak melihat anggukan kepalaku, karena ia masih terisak dipangkuanku. “Iya Max… gak usah khawatir. Sampai kapanpun, gue tetep temen loe, gue tetep kakak loe…dan gue selalu siap bantu elo.” Aku menenangkan Max dengan suara lembut yang kubisikkan di telinganya. Max nampak jauh lebih tenang dari sebelumnya. “Namun satu hal yang harus kamu tahu Max” kataku dalam hati sambil masih membelai lembut kepalanya, “Aku memang bisa menerimamu apa adanya, karena kau adalah sahabatku, kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Tapi .... awas Max, aku akan menjelma menjadi mahluk yang lebih mengerikan dari yang kualami dalam mimpiku. Tanpa ampun aku akan mencincangmu seperti korban di TV itu, bila kau ambil laki-lakiku… Karena dia hanya untukku, hanya untuk aku.” Tiba-tiba aku merasa Max adalah rivalku... Ooh Mak !!!

Mampang, 22 April 2008