24 June 2013

BARA : Kemurnian Cinta sang Pencipta vs Kemurnian Cinta Manusia…



Jangan pernah kau pandangi BARA itu… bila hatimu tak ingin terbakar oleh kobarannya….

Jangan pernah kau dekati BARA itu…. Bila tubuhmu tak ingin merasakan hawa panasnya….

Jangan pernah kau sentuh BARA itu… bila tanganmu tak ingin pedih rasakan luka….

Jangan pernah kau dekati BARA itu… bila tak yakin dirimu mampu menghindari jilatan dahsyatnya kobaran api yang akan melumatmu dalam sekedip mata.

BARA api bukan untuk coba-coba….

Namun ….

Bila BARA itu telah terlanjur menyentuhmu…
Terimalah itu… dengan segala kemampuanmu…
Karena lalap kobaran BARA api, tak akan pernah iba padamu… menghancur leburkan seluruh hidupmu… berbaur bersatu dalam lingkar  kobaran api yang akan terus menyalakan gelora CINTA MANUSIA yang tak akan pernah padam …. Bagai cerita QAIS dan LAILA….

Bila BARA itu telah terlanjur menyentuhmu…
Terimalah itu… dengan segala kesadaranmu… Karena lalap kobaran BARA api akan memintamu untuk membuktikan KEMURNIAN pada CINTA MANUSIA nyata… bukan hanya CINTA pada Sang PENCIPTA… CINTA MANUSIA nyatapun membutuhkan KEMURNIAN nya sendiri… Sadarilah itu….

Oleh karenanya…

Sebelum seluruh tubuhmu terlumat oleh dahsyat kobarannya….
Masih ada waktu….
Untuk segera pergi dan berlari, meninggalkan BARA api yang sedang membubung tinggi… agar tetap utuhlah dirimu dalam KEMURNIAN CINTA SANG PENCIPTA… bukan KEMURNIAN CINTA MANUSIA….

Walau dalam BARA CINTA MANUSIApun… ada KEMURNIAN disana…
Jangan pernah kau biarkan seorang manusia terbakar sendirian, atas BARA api yang telah dibakar bersama-sama…

Pikirkanlah kembali….


PURNAMA ketiga,
23 Juni 2013
01:59



08 June 2013

Surat Untukmu 2



“Pa….
Ini suratku kedua, setelah surat pertama aku tulis tanggal 17 Agustus 2010 yang lalu dari Bandara Changi, Singapura…. Cukup lama juga ya pa, aku gak cerita-ceritaan sama kamu… Sekarang aku mau cerita nih pa…

Pa,
Saat ini aku sedang berada di Medan, ikut Ziarah Rohani, bersama dengan Ibu, Adjie (gaaaak pernah kamu mau panggil dia dengan sebutan mas…) Budi (gaaaak pernah juga kamu mau panggil dia mbak), Yayik dan Nung (juga mereka gak pernah kamu panggil mbak dan mas…) Tapi ya sudahlah.... itulah kamu....
Hebat ya pa… aku kok ziarah rohani… pasti kamu ketawa deh kalau dengar aku ziarah rohani… dan pasti akan komenar..”ngapain loe? Paling molor di dalem…. “ ya kaaaan… dan kenapa kok aku jadi pengen cerita ke kamu, karena ziarah rohani itu kemana hayoooo…. Ke Medan pa…

Aku ingat pa, dulu… saat awal-awal aku hidup denganmu, aku sering merengek untuk pergi ke Medan. Aku pengen kamu perlihatkan tanah kelahiranmu, tanah leluhurmu. Ketika itu ompung masih ada, tulang Parlu masih ada… aaah tapi jawabmu… “nanti-nanti aja… repot.” Dulu… sering aku pancing-pancing kamu kan pa… dengan kalimat “Pa… danau Toba tuh kaya apa sih pa… kesana yuk….” Tapi rupanya gak mempan juga ya…. Bertahun-tahun tetap tidak mempan juga… Ya sudah akhirnya aku diam saja.

Setelah itu kita direpotkan oleh kelahiran Taruli kan ya pa… mulailah muncul berbagai macam prahara… sana-sini… yang akhirnya… memupuskan harapanku untuk bisa pergi menikmati indahnya Tano Batak ini bersamamu… bersama suamiku yang katanya orang Batak itu… ada kecewa dalam hatiku, karena aku kemudian menutup semua keinginanku untuk bisa hidup bahagia denganmu…. Jujur… aku menghapus semua keinginanku… mematikan seluruh rasaku… dan menjalani hari hidup yang seolah mati ini bersamamu… Karena janjiku di altar itu, sampai maut memisahkan kita…

Kepergianku terakhir ke Medan tiga tahun lalu itu adalah untuk pernikahan Tantri dan Aelan. Tetap kita tidak bisa pergi bersama… “aaah sudah kamu saja yang berangkat… nanti kita pergi sendiri bertiga ke medan… kita keliling-keliling…” jawabmu begitu ketika kuajak kan pa… malah kamu juga melarang aku mengajak Taruli, “aaah sudah jangan dibawa dia… biar dia perginya ke Medan nanti sama saya…” Akhirnya… terbanglah aku sendiri ke Medan ini… Tepatnya, ke Brastagi. Selama disana, aku masih sms an sama kamu kan ya pa… aku mencoba untuk sedikit bermesra dan bermanja padamu –yang menurutku agak kaku juga alias garing– bahwa Tano Batak ini indah… malah kamu bilang, “sempatkan mampir ketempat ompung di Sidikalang…” dalam hatiku… ya gak bisa lah yaaaa… acara pernikahan Titi cukup padat… dan waktu disana hanya sebentar…. Tapi aku menjawab sms mu dengan kalimat “nanti kuusahakan ya pa, kalau waktunya sempat…”

Aaah ternyata … itu tepat seminggu sebelum kepergianmu, pa… ku baca-baca lagi sms-sms kita terakhir saat aku Medan yang masih tersimpan di hp mu, saat aku berada disamping tubuh kakumu, pa…. aaaaah….Sudah… sudah… sudah ya pa… aku gak mau ingat-ingat lagi masa susah kala itu… Saat peringatan 1000 hari pergimu, Romo Mateus Batubara,OFM bercerita tentang seorang perempuan yang membuat repot seluruh malaikat di langit, karena lantai langit selalu basah kebanjiran karena air matanya…. Dan Romo itu berpesan padaku pa… untuk menghentikan tangis dan mengeringkan air mata… Mungkin ada benarnya juga, si Romo halak kita itu ya pa… hidup tetap harus berjalan kan ya … oh ya… dan saat itu sebenarnya… aku sudah maleeees banget lho pa, menyelenggarakan peringatan itu… karena Taruli juga sedang dinas keluar kota…. Hayooo kau tau kemana pa? ke M E D A N … aaah… borumu itu ternyata… bisa berangkat sendiri ke Medan… dengan usahanya sendiri pa… hebat lho dia….

Pa,
Sekarang waktunya aku mau bercerita tentang cantiknya Tano Batak, pa… Tanah yang telah sempat kuhapus dari memoriku… Namun kini, tiba juga aku disini pa… walaupun diawal-awal aku membayangkan akan sangat menyiksa… karena perjalanan ini dipenuhi dengan berdoa, berdoa dan berdoa… aku sudah ragu sejak awal, pa… apa aku mampu untuk bisa lewati seluruh perjalanan dengan baik. Apakah aku masih layak untuk berdoa… apakah Tuhan masih mau mendengarkan doaku… aaaah… aku tidak tahu…. Aku juga tidak mau memaksa Tuhan untuk mau mendengarkan doa-doaku kok, pa… yang aku tau aku harus berbuat baik setiap saat… membantu dan berguna untuk orang lain… juga untuk diriku sendiri… dan tidak merepotkan orang lain, itu saja… gak mau muluk-muluk pa…

Pa,
Ada sedikit rasa penyesalan juga sebenarnya aku menjejakkan kaki di tanah kelahiranmu ini tanpamu… Tanah ini ternyata begitu indah… aaaah Danau Toba… yang tadinya tinggal kenangan… kini menjadi kenyataan. Aku melihat Danau Toba terpampang luas tepat didepan mataku. Beban berdoa yang sedianya terasa akan membebani seakan patah… sirna… tak terasa... karena pesona tanah kelahiranmu. Dari Medan, kami langsung ke Parapat, menyebang dan tibalah rombongan di Samosir… My Godness… akhirnya aku berada di tempat ini… tempat yang telah puluhan tahun aku impikan, sejak kuserahkan cintaku untukmu, pa… ada rasa bangga juga dalam hatiku bahwa aku bersuami orang Batak… rasanya seperti berada dikampung sendiri… walaupun pada saat kamu masih ada malah mungkin tak kurasakan itu sama sekali. Ada pengingkaran atas rasa cintaku padamu… yang akhirnya juga menciptakan sebuah kebencian padamu dan tanah leluhurmu saat itu…

Namun kini… aaah Pa…
Ini yang penting ingin kusampaikan padamu….
Kala itu… 25 tahun yang lalu… kuserahkan cinta pertamaku pada seorang Batak, kekal abadi hingga maut memisahkan kita….
Kini … 25 tahun kemudian… cinta terakhirku tertinggal ditanah Batak… kekal abadi… pula hingga maut memisahkan ….

Pa,
Ijinkan aku untuk kembali mencintai tanahmu… Bersama dengan cinta terakhirku…
Kamu baik-baik ya, Pa … Aku selalu berdoa untukmu, agar ringanlah langkahmu. Dampingi aku dan Uli ya pa…Akan selalu ada cinta diantara kita....

Pa,
Hidupku tetap harus berjalan, napasku tetap harus berhembus, dan ada CINTA yang kini bertumbuh… berkembang… kekal dan abadi…. Sampai maut pula yang akan memisahkan…  

Samosir, 04 Juni 2013
02:34 dini hari


02 June 2013

MENARI DIATAS MENARA (TAMAT)








Dia adalah DEWA LANGIT…. Bersamanya aku akan MENARI diatas MENARA…. sebagai sebuah angan dan harapan….

Cafa menangis sejadinya… tak sanggup menatap mayat Rhea yang bersimbah darah, dipanggilnya Tora dengan lantangnya… langit tak jua bersuara… senyap… semesta sedang dalam dekap syukurnya… ALHAMDULILLAH…. Langit putih, bumi bersih….


EPILOG

Keduanya berjalan tanpa lelah menyusuri tebing curam bebatuan dibukit itu. Hira dengan penuh semangat berjalan lebih dahulu dari Leon. “Ayo abang… jalannya pelan-pelan banget sih… nanti keburu sore kita tiba di mercusuar itu…”
Leon hanya tersenyum memandangi perempuannya itu, kemudian mengedipkan sebelah matanya… “Iiiih genit abang… bukannya mempercepat langkah, malah kedip-kedip lagi… Ayo…” Hira kemudian menarik tangan Leon untuk mengikuti langkahnya. “Aaah lihat saja… nanti adek buru-buru begitu… pasti nanti cepat lelah… kita tidak diburu waktu kan dek?”
“Ya memang tidak diburu waktu bang… tapi nanti kalau terlalu sore kan repot lagi jalan kembalinya pulang…”
“Tenang saja dek…. “ tiba-tiba ponsel Leon berbunyi nyaring. Leon segera mengambilnya dari saku dan melihat nama penelpon diseberang sana. “Dek… Suheri telpon…” katanya menunjukkan nama penelpon dari seberang sana.
“Ya sudah angkat saja, bang…”
Leon mengangguk dan segera menjawab deringan dari selulernya itu. “ Yaaa mbak Cathy… baik-baik mbak… Hira juga baik-baik…”
“Sampai mana kalian…?” tanya Cathy yang selalu ingin tau itu.
“Sebentar lagi kami tiba didekat menara mercusuar itu...”
“Aduuuh udah deh… bilang Hira… nggak usah aneh-aneh … tempat itu berbahaya Leon…”
“Iya mbak… gak apa-apa… kan ada saya yang menemaninya…”
“Kamu juga jangan ikut-ikutan bego-begoan begitu Leon… Hira kalau dituruti, bisa minta yang aneh-aneh dia nanti… bisa-bisa minta nyebur kelaut… juga kamu ikutin lagi…”
“Ya enggak lah mbak… Tenang aja… saya jaga Hira…”
Hira mengernyitkan dahi, menunggu Leon yang masih berjalan perlahan sambil menjawab telepon dari Cathy Suheri.
“Hayoooooo abaaaang…. Buruaaaan…. Kak Cathy udah deeeh jangan berisik aaah….” Teriak Hira.
“Tuuuuh kan… dengar kan mbak… Hira baik-baik kok…” jawab Leon. Hira sudah tidak peduli lagi dengan Leon yang masih sibuk bicara dengan Cathy. Ia segera berjalan tanpa menoleh-menoleh lagi.
“Ya sudah… baik-baik kalian ya… bilang Hira jangan maksain kalau memang sudah gak kuat… lagian kenapa sih gak naik mobil aja kesananya… kenapa harus lewat jalur tebing…? Trus mobil kalian dimana?”
Aaaaah bukan Cathy Suheri namanya kalau tidak ingin tahu semua urusan… selalu ingin jadi ketua panitia penyelenggara semua acara.
“Mobil kami ada di penginapan, mbak. Hira mengajak berpetualang nih….”
“Haduuuuh… sudah deh… jangan terlalu diturut-turutin itu si Hira… Kamu juga mau aja lagi… anak itu sakit Leon… kamu harus ingat-ingatkan dia ya…”
“Tenang mbak… saya akan jaga Hira… Dia tidak akan sakit… dia aman bersama saya…”
“Ya sudah… baik-baik kalian ya… bla…bla…bla….” Leon memandang Hira sambil kemudian tertawa, melihat Hira yang memberikan isyarat tangannya menggambarkan kecerewetan Cathy Suheri sahabat mereka. Leon segera berjalan lebih cepat menyusul Hira, dan memeluknya dari belakang, setelah selesai pembicaraan dengan Cathy. Baru beberapa langkah, terdengar lagi dering seluler di tangan Hira… “Haduuuuuh… Suheri ini… “ Kata Leon sambil tertawa, saat Hira menunjukkan nama penelponnya. Keduanya tertawa terbahak-bahak, sambil berpelukan menyusuri tebing berbatas laut, menuju ke menara mercusuar. Tak dihiraukannya dering panggilan dari telpon seluler dari Cathy Suheri di ponsel Hira. “Tadi sudah bicara sama abaaaang kan kak…. Cukuplaaah…” Kata Hira bicara dengan benda berdering itu, tanpa mengangkat ponselnya. Leon hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
Perjalanan mereka kali ini adalah menuju menara mercusuar kuno di tepi pantai laut selatan. “Menara itu sebenarnya sudah tidak digunakan bang… hanya… dulu… konon kabarnya… menara ini adalah tempat seorang perempuan bumi yang merindukan kehadiran dewa langitnya. Ia menari diatas menara itu saat purnama, menanti hadirnya Dewa Langit sang kekasih….” Celoteh Hira dengan penuh semangat menceritakan cerita legenda yang pernah terjadi di menara itu. “Perempuan itu selalu menari disaat bulan purnama bang… berharap kekasihnya akan datang menghampiri dari atas langit sana… berjuta-juta malam ia menunggu dewa langit kekasihnya itu… “ Hira terhenti untuk menghela napas. “Aaaah perempuanku ini… kadang ada miripnya juga dengan Cathy Suheri kalau sudah bercerita… seakan-akan paling tau dia … sementara yang diceritakannya itu adalah hanya sebatas konon kabarnya… sebatas legenda” kata Leon dalam hati. “Ini bukan sekedar legenda bang… “ Hira melanjutkan lagi kata-katanya. Leon sempat tersentak, seakan Hira mendengar apa yang dikatakannya dalam hati. Namun Leon tetap diam dan menanti apa kelanjutan cerita Hira tentang perempuan tadi. “Jadi… karena sang dewa langit itu tidak muncul-muncul dari balik langit sana… kemudian perempuan itu bunuh diri bang…” Dada Leon tiba-tiba terasa sesak.

Hira menarik tangan Leon untuk segera beranjak dari tempat itu…  tepat dibawah menara tempat tujuan mereka yang saat ini padat dikerumuni penduduk setempat. “Abang, sudah yuk kita pulang… aku nggak nyaman bang ditengah-tengah kerumunan itu… aku gak tega lihat mayat itu… “ Hira memejamkan matanya. Leon terpaku disitu, masih berdiri menatap mayat perempuan itu sambil kemudian menoleh pada seorang laki-laki disebelahnya. “Bunuh diri mas…. Lompat dari menara itu… “ kata laki-laki itu. Leon tercekat. Hirapun sama.  
Keduanya bertatapan, saling melemparkan pandangan penuh makna. Dada Leon serasa bergemuruh, seakan mengingat dan merasakan sesuatu. Demikian pula Hira. Keduanya seakan-akan terlempar kembali pada suatu masa yang entah kapan, entah dimana…. mereka sendiri tak tahu. Hanya seperti sebuah kilat yang muncul sesaat lalu hilang. Keduanya hanya bisa diam.
Perlahan Hira menoleh pada mayat perempuan itu dan memicingkan matanya. Dikaki kanan mayat itu tersemat gelang kaki emas, seperti yang digunakannya. Seperti tersengat aliran listrik dengan daya yang sangat besar, tubuhnya mulai terasa dingin, bibirnya pucat dan keringatnya mulai mengucur. Leon melihat Hira mulai menggigil dan segera menariknya menjauh dari kerumunan itu dan membawanya ke warung tidak jauh dari sana. Didudukkannya Hira disalah satu sudut warung dan segera Leon memesan segelas teh panas manis. Hira masih terdiam. Pandangannya masih terasa berkunang-kunang.
“Hira….maafkan abang, seharusnya kita tidak berlama-lama ditempat itu. Seharusnya abang dengarkan tadi saat adek mengajak abang pergi dari tempat itu” Desis Leon sambil memeluk Hira erat. Seakan ia tak ingin terjadi sesuatu dengan perempuannya. “Abang tidak ingin kehilanganmu….” Leon menatap tajam bola mata Hira. “Sayangku … dengar abang…. abang tidak ingin kehilanganmu, untuk kedua kalinya… saat ini… abang disini, abang selalu ada untukmu… abang akan selalu disini…” pelukannya semakin erat. Hira ledak tangis tak tertahankan. Keduanya berpelukan, berciuman… Tenggelam dalam rasa, sepakat untuk membentuk makna, tanpa kata-kata…. dalam dunia nyata, mereka tak akan terpisahkan…. Untuk kedua kalinya…."berdua kita akan MENARI DIATAS MENARA, dek…. Selamanya…."


T A M A T


Mampang, Medio Juni 2013






29 May 2013

MENARI DIATAS MENARA (7)



DOSA itu telah tiada…..

Dewata Naraa berhadapan dengan para dewa dalam jamuan makan malam bersama dilangit sana, dalam purnama yang kesekian kalinya, mereka menikmati gerak Rhea yang menari diatas menara…. Semua hanya bisa terdiam, bisu dalam bangunan imajinya sendiri-sendiri. Dalam INGIN mereka adalah mereka untuk menikmati aroma wanginya, ada pula yang rindu sorot matanya, ada yang mendamba renyah derai tawanya hingga ada pula yang ber ingin untuk  bisa menyentuhnya… walau semua hanya bisa dilakukan dalam angan semata… tanpa ada yang berani melangkah…

Adalah Tora, yang telah berhasil menyentuhnya, merasakan hangat tubuhnya, menikmati gelora ciumannya yang hanya diperuntukkan untuknya… Disadari dirinya telah jatuh cinta pada perempuan bumi yang selalu menyajikan buru desahan napas saat berpelukan dalam lumat ciuman yang dahsyat… yang bagi Rhea adalah hanya untuk dewa langitnya….

Semua dalam angan dan imajinya masing-masing atas Rhea, perempuan bumi yang saat ini menjadi perhatian penghuni langit. Semua hanya bisa sampai disana… sampai pada tataran medan INGIN yang tak akan pernah ada wujudnya…. Adalah Rhea yang fana meliuk sendiri… dalam NISTA nya.

“Hendaknya disadari oleh kita semua,para saudara penghuni langit semesta… bahwa kemurnian harus tetap terjaga… diri kita ini adalah kenisah yang Maha Kuasa.Diri kita ini adalah perwujudan dari DIA sang pencipta. Oleh karenanya para saudara, segera tinggalkan niatan raga yang pasti akan menghempaskan kita semua pada kehidupan yang fana…” Dewata Naraa berkata-kata perlahan, dengan suara yang sedikit cekat tersendat. Bayangan Rhea masih saja menari dalam benaknya. Namun bibirnya harus mampu berkata-kata dalam ajakan pengingkaran bersama atas naluri dan keinginan birahi yang hanya milik manusia fana….

Tora dalam hatinya bersyukur dan bahagia… bahwa dirinya telah mampu untuk menghindari kutuk yang akan terjadi padanya apabila kereta kencana saat itu ditumpanginya dengan Rhea tidak segera dihentikannya. Gejolak hatinya bahagia, karena mampu mengingkari segala gelegak dalam diri yang bisa saja terlepas, apabila dirinya tak mampu kendali….

“Tora, bisakah kau hidup tanpa perempuan yang sedang menari di menara itu?” tanya Dewata Naraa
Tora masih terdiam, dalam balutan jubah putih bersih murni dan suci. Sudah bulat tekatnya untuk kembali pada kemurnian diri. Oleh karenanya disyukurinya… bahwa dalam kurun perjalanan hidupnya… pernah merasakan gelora birahi dahsyat, namun mampu untuk segera dihentikannya. Wajahnya dingin… menatap kedepan, sambil kemudian ia mencerna lagi kata-kata dewata Naraa…
“Tidak ada pemakluman untuk itu Tora, yang ada adalah HITAM atau PUTIH… kau ada disini… yang adalah PUTIH lah dirimu… “
Tora masih terdiam… dalam desah napas pengingkaran yang tinggi, Tora kemudian berkata “aku akan tetap disini… “ walau dalam hatinya ingin ia lanjutkan lagi kalimatnya… “aku rindu desah napasnya …”

“Semua sudah jelas… kita tidak akan melumuri diri kita dengan DOSA … menikmati birahi adalah SALAH dan berat hukumnya… ini telah menjadi sebuah suratan langit… tiada yang dapat merubahnya, walau satu katapun….Sekarang kembalilah kalian pada tugas masing-masing seperti sedia kala… anggpalah ini sebagai sebuah pengalaman hidup… bahwa langit pernah diguncang oleh seorang perempuan bumi fana yang hanya akan mendatangkan DOSA….” Dewata Naraa mengeluarkan suaranya sambil menatap satu-persatu para dewa yang semua tertunduk …. Masih dalam angan dan pikirannya sendiri-sendiri MENIKMATI PELUKAN Rhea sang perempuan bumi…

“Aku merindukan kenyal payudaranya …. Namun jadilah kau bahagia dalam bahagiamu perempuanku… bersyukur atas semua yang pernah kualami bersamamu…. aku selalu mencintaimu, aku selalu ada dalam dirimu dan kau selalu ada dalam diriku. Kita akan selalu satu dalam kehidupan… dalam tarian bersama… tanpa ada gejolak birahi yang akan muncul disana… kemurnianku adalah utama…. Alam semesta lebih mulia darimu… selamat tinggal kekasihku…” Dalam hati Tora berkata-kata. Dalam pengingkaran yang tinggi, Tora membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju biliknya…

Rhea mendengar suara desah itu melalui desau angin yang menggesek bunga-bunga ilalang… hatinya pedih… luka lama menganga kembali… Rhea menghempaskan diri… dari atas menara sana… kini dalam nyata… darah berceceran dimana-mana… sungging senyum selamat tinggal… pada raga yang membuatnya tersiksa….

Semua diam… semesta bisu… saat raga Rhea terbujur kaku tak bernyawa… dibawah menara, tempatnya menari kala purnama. Para dewa diatas sana hanya bisa diam… bersyukur atas kematiannya… sehingga mereka terhindar dari DOSA…. Hingga kemurnian diri tetap terjaga….

(BERSAMBUNG)