Yu
Lasmi jengkel bukan kepalang ketika ada seekor kucing bertengger diatas gerobak
gado-gadonya.
“Oalaaah
kucing gendeng… sejak kapan kucing kok doyan sayuran. Kucing ndak normal ya
kamu ini… Hayo sana minggat… “ Yu Lasmi sibuk menghalau kucing yang langsung
melompat dan segera lari entah kemudian menyelusup kemana.
“Aneh
tenan, kucing kok nyantroni gerobak gado-gado… opo yang dicari, wong nggak ada
yang bisa dicolong… Cari apa kucing itu disini?” Yu Lasmi melongok-longok semua
bahan-bahan gado-gadonya, mulai dari sayur mayur hingga bumbu-bumbunya.
“Eeeealaaah…
kucing gendeng, kok ya nemu-nemunya terasi yang sudah kututup rapet disitu…
waduh… Leeee…. “ teriaknya memanggil Kamal sang asisten. Kamal yang sedang
menurunkan termos nasi dan bungkusan piring segera menghampiri sambil
tergopoh-gopoh.
“Dalem
Bu De…” Katanya sopan.
“Sana
beli terasi lagi… cepet ya. Beli tiga bungkus.”
“Lha
yang itu kenapa Bu De?”
“Lha
ini kamu lihat sendiri, tutupnya sudah terbuka… diobok-obok kucing.”
“Tapi
masih utuh kok, Bu De…”
“Lha
ya iya utuh… tapi mana tau sudah dijilati… wis tidak kepake lagi. Aku ndak mau
tamuku kena penyakit. Sana cepet, nanti keburu ada tamu kan ndak lucu kalo kita
tidak bisa cepat melayani hanya gara-gara ndak ada terasi.” Yu Lasmi bersungut-sungut
sambil menyerahkan uang sepuluh ribu rupiah pada Kamal.
“Mereknya
Ojolali lho ya, Mal… Jangan dibeli kalau ndak merek Ojolali lho yoooo….”
“Inggih,
Bu De…” Kamal segera menyambar uang dari tangan Yu Lasmi, kemudian bergegas
meraih sepedanya dan menghilang.
“Kenapa
toh, Yu… Pagi-pagi kok sudah ribut.” Tanya Sarwono yang baru saja tiba di
pangkalan ojek.
“Lha
ya itu toh Sar, terasiku diobok-obok kucing. Padahal sudah kututup rapet-rapet
lho, kok ya masih tajem ya penciumannya. Tau aja ada terasi di sini.”
“Oooalaaah,
Yu… Kalo yang namanya kucing itu, jangankan ditutup, wong disimpen dibawah
kolong saja dia bisa mengendus kok… barang enak je…”
“Baah…
porno kali kau Sar…” Togar si tukang ojek kesasar dari Tarutung ke Jakarta ikut
menimpali.
“Lho…
apanya yang porno, Gar…”
“Itu
tadi… biar dikolong bisa diendus… karena barang enak kau bilang…”
“Weleeeh
baru ngomong gitu aja kok sudah porno. Pikiranmu itu yang mencong… wong lagi
ngomongin terasi kok dibilang porno. Dasar Mbatak edan…”
Togar,
hanya nyengir saja ketika dibilang Batak edan… Terserahlah Sarwono mau bilang
apa, sudah kawan sendiri. Ia tak sakit hati. Coba kalau orang lain yang baru
kenal, sudah babak belur dilibas olehnya.
“Laaah
lama sekali Kamal ini beli terasi. Sudah keburu datang nanti tamu-tamuku…” Yu
Lasmi gelisah. “Mana harus dibakar dulu… waduuh… mana ini?”
“Baaah…
harus dibakar dulu rupanya, Yu?”
“Lha
ya iya toh Gar, biar wangi dan sedep.”
“Ah
kalau dikampungku tidak usah dibakar juga sudah sedap, Yu…” Sambar Togar lagi.
“Weeeh
dikampungmu sih semuanya sedap… wong pralon saja dimakan…” Jawab Sarwono
enteng.
“Eeeh…
pagi-pagi kok sudah ribut… mbok ya prihatin sama terasiku ini thoooo…” cegah Yu
Lasmi.
“Entah
itu si Sarwono… tak habisnya ledek-ledek aku. Kalau tidak ada Yu Lasmi ini
sudah kubantai kau, Sar…”
“Weleeh…
kok kaya nyawa punyanya sendiri saja, main bantai…” jawab Sarwono tenang.
“Naaah…
itu dia si Kamal. Mal, lama banget toh kamu ini beli terasinya…”
“Yang
merek Ojolali susah Bu De… jadi dalem pulang dulu ke rumah, wong yang ada
terasi merek itu Cuma di warung Yu Jum.”
“Ealaaaah…
untung bisa cepet balik, kalo tidak kan kita bisa ndak jualan hari ini. Nuwun
ya Mal… wis sana beresin lagi itu barang-barang. Untung belum ada yang dateng.
Aku tak mbakar terasinya dulu.” Yu Lasmi mulai sibuk menyalakan tungku
dibelakang nya, tempat ia merebus air untuk menyeduh teh sajian gratis supaya
tidak seret setelah makan gado-gado.
“Sudah buka belum, Yu…?” Seorang perempuan setengah
baya dengan dandanan ala burung merak menongok kearah gerobak. Rambutnya
disasak tinggi, aroma parfume mahal merebak kemana-mana. Eeeem ini aroma parfum
Poison… Yahud memang aromanya. Cocok untuk ibu-ibu sosialita dengan dandanan
ala jambul merak. Cincin sebesar cobek gado-gadonya yu Lasmi bertengger di
kedua jari tengah tangannya. Belum lagi cincin berlian dijari-jari yang lain…
kilau-kilau saingan sama lampu hias jalanan. Lipstik merah menyala, dengan
sapuan bedak putih yang agak kurang rata menyempurnakan penampilannya yang
ingin menunjukan ke high class an
nya, tapi malah koyo boneka ondel-ondel…
“Oooh,
ya… ya… sudah bu… sebentar ya…” Yu Lasmi segera berdiri sambil masih
menggenggam garpu terasinya.
“Eeem,
betul juga ya….. sedap kali aromanya…” Togar mengendus-endus aroma terasi yang
lalu didepan hidungnya.
“Kandani
kok ya… sana bilang sama orang
dikampungmu sana… sebelum diolah… bakar dulu, biar sedep…. Jangan langsung
dicaplok aja….” Ujar Sarwono.
Harusnya
Togar tidak bicara begitu karena aroma terasi Yu Lasmi sebenarnya sudah
tertiban dengan aroma parfume dari kedua ibu-ibu socialita yang sedang memesan
gado-gado.
“Duh…
maaf lho ya bu… ini saya lagi mbakar terasi. Ya… mau pesan berapa?”
“Buatkan
dua ya…”
“Oh..
boleh, bu. Pedes atau ndak?
“Eeem
saya pedes, pake lontong. Mir… jij
pedes gak?”
Perempuan
yang dipanggil Mir tadi hanya menggeleng, sambil tetap menyeka-nyeka matanya
yang merah dan basah. Yu Lasmi menangkap. Sambil mulai mengulek gado-gadonya,
dalam hati berkata, “pasti perempuan yang satu itu sedang bermasalah. Makanya pagi-pagi gini
sudah nangis Bombay sesenggukan begitu. Malah tidak sempat dandan, lha wong
sepertinya hanya pake daster. Tapi tetap saja, dasternya orang kaya, ya tetap
mahal. Singapore Silk… mana mungkin gak mahal. Ck…ck…ck… Singapore Silk kok
buat daster… kalau gak kelebihan duit yang gak mungkinlah…” Lha….
Yu Lasmi kok tau itu Singapore Silk ya….???? Wong ndeso kok ngerti
Singapore Silk.
“Yang
satu gak pedes ya…”
“Yang
gak pedes pake lontong atau nasi?”
“Mir,
jij pake lontong atau nasi?”
“Gak
usah, ik sayurnya aja…”
“Oh
ya, tunggu sebentar ya bu, silahkan duduk dulu….” Jawab Yu Lasmi lugas.
Kedua
tamunya duduk manis di bangku panjang depan gerobak gado-gado. Ibu yang seperti
merak tadi mengeluarkan kipas besar dan kemudian mulai mengipasnya. Kegerahan
dia tampaknya karena butir- butir keringat mulai mengalir di kening sebelah
kanan. Dari angin kipasannya tersebarlah aroma parfumenya yang keras… mungkin
satu botol sendiri dia semprot ke tubuhnya…
“Iiiih
panasnya… ampun deh ya… “ Ia segera menyeka guliran keringat itu dengan lembar
tissue yang disobeknya dari gulungan diatas meja. Yang diajak bicara masih
diam, malah kelihatan seperti menahan tangis, karena matanya terus
berkaca-kaca, walaupun airmata tertahan tak mengalir.
“Sudah
lah Mir… Jangan terus-terusan mewek begitu. Lihat deh jij… jadi awut-awutan begini… “
Madam
Mir masih terdiam, menggigit bibir bawah yang tebal.
“Jij gak malu sama rival jij… kalau
penampilan jij kaya gembel begini?
Makin seneng dia nanti Mir kalau liat jij
jadi belel gini.”
“iiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiihhhhh….
Pengen kujambak perempuan sundal itu… kucakar mukanya biar jelek, jadi suamiku
gak sudi lagi sama dia…dasar janda gatel… maen samber aja laki orang.” Madam
Mir mulai lagi bercucuran airmata.
“Itu
kan memang rencana kita kemarin. Makanya udah deh, jangan nangis melulu… justru
sekarang ini jij mestinya dandan,
trus kita langsung serbu tuh rumah janda gatel itu.”
“Ngapain
dandan? Biarin aja dia tau kalo dia udah nyerobot suami orang… biar dia tau
gimana sakitnya hatiku…”
Dari
balik gerobak, Yu Lasmi melirik kepada kedua tamunya. Ia mendengar betul
celotehan ibu-ibu eeeh…. Madam-madam itu.
“Eeem…
si mewek itu habis mergokin suaminya selingkuh sama janda rupanya… pantesan
mukanya jadi awut-awutan gitu…” kata Yu Lasmi dalam hati. Memang jadi janda itu
gak enak… bener aja salah… apalagi salah… Kalau orang laki-laki khususnya suami
orang sudah terpikat sama janda… paaaassstiiiii yang disalahkan jandanya, apapun
alasannya. Siapa toooh yaaaa…. Yang mau jadi janda…
Tak
lama kemudian terdengar suara dering telpon selular dari dalam tas perempuan
dengan tampilan seperti merak itu.
“Helooo
schat… “ tertahan sebentar, kemudian
dilanjutkannya lagi. “Ini lagi sama Mire… kasian dese booo… lakinya kesangkut
jendes… nih ada disebelah ik… eh Mi… jij mau ikutan kita gak? Kita mau serbu rumah
itu jendes siang ini booo…. Didaerah Kali deres… daerah gak elit gitu deh… tapi
mau gak mau… biar kapok dese…ik juga
belum tau masalah sebenernya apa, abis Mirenya mewek melulu nih… tapi ya
namanya juga sama temen, siapa yang gak kasian liat dia… makanya mau ik gebuk itu pere… biar kapok…pasti pere
kampung deh… biasalah apa lagi kalo gak ngejar duit… “
Yu
Lasmi mencuri pandang lewat ekor matanya. Telinganya tidak lepas mendengarkan
ocehan perempuan yang asik mengipas-ngipas masalah.
“Jangan
sebut nama ik Jane deh… kalo ik gak
bisa selesaiin masalahnya si Mire. Udah… buruan jij kesini.. ik tunggu
ya... diwarung gado-gado ujung jalan. Terpaksa juga ini kita makan disini ya
Mir… jam segini restaurant belum ada yang buka… ya gak apa-apa deh…
sekali-sekali ngerasain makanan sampah… hahaha…. Makanannya orang susah….”
“Waduuuuuuh….
“ Kata Yu Lasmi dalam hati sambil agak tersinggung juga dikatakan gado-gado
sampah. Dalam hatinya berkata, “Wong kucing cuma ngendus belum nyaplok trasinya
aja sudah tak lempar balok kok…. Bisa-bisanya gado-gadoku dibilang sampah…
Sabar…. Sabar…. Kamu itu yang otaknya isinya sampah… Wong masalahnya aja belum
tau kok udah main gebuk. Nuduh orang cuma ngejar duit lagi… astagaaaa… sabar yo
Lasmi… sabar…”. Yu Lasmi segera menyelesaikan pesanan kedua ibu-ibu itu dan
meletakkan piring dihadapan mereka.
“Ini
yang gak pedes gak pake lontong…. Yang ini pedes pake lontong ya bu… selamat
makan… oh ya… itu krupuk putih ada di kaleng ya…” Saji nya dengan tetap ramah.
Perempuan
yang bernama Jane yang masih memegang telpon genggamnya hanya mengibaskan
tangan. Sementara si mewek Mire hanya diam saja, kemudian mulai menarik piring
gado-gado lebih dekat. Yu Lasmi tersenyum melihat kelakuan kedua perempuan
tadi. Dalam pikirannya… “Aaah… ya bagaimana laki-laki betah deket sama ibu-ibu
eeeh… madam-madam ini, wong omongannya kok gak ada yang manis… semua bawaannya
emosiiiii terus”.
Jane
mematikan telpon genggamnya, dan memasukkannya kedalam tas.
“Eh
Mir.. si Mia mau nyusul… jadi bisa kita labrak bertiga nanti si pere sundal
itu…” Kata Madam Jane selesai pembicaraannya dengan Mia, yang nama aslinya Salmiatun.
Mire
masih diam.
“Emangnya
jij mergokin gitu… Bang Akmal sama itu
pere?”
Mire
menggelengkan kepala.
“Lha
trus…?”
“Sudah
sebulan ini ik minta dibeliin cincin…
yang itu lho Jane… yang Ik pernah
bilang itu… model cincin berlian terbaru kan sudah keluar … Model Esperanza… ”
“Hoooo…
yang model baru itu…iya… iya… trus…”
“Ya
trus tetep abang gak beli-beliin… ik
kesel laaah…. Katanya belum ada uangnya… mosok, dia habis beli mobil baru,
bilangnya gak ada duit…”
“Trus…”
Yu
Lasmi terkaget-kaget mendengarkan omongan meraka dibelakang gerobaknya, dirinya
pura-pura sibuk mengelap-ngelap piring yang sebenarnya masih bersih. Cuping
telinganya tidak lepas mendengarkan pembicaraan mereka, yang sambil asik
mengunyah gado-gado sampah… istilah si burung merak itu.
“
Ya trus ik ngoprek tasnya bang Akmal…
nemu struk dari toko berlian…”
“Nah
tuh … dese beliin …”
“Lhaaaa….
Buat siapa dong…?” Tanya Jane sambil melotot-lotot.... Astaga… cocok banget deh
aaah… buat pemeran figuran bagian tukang kompor di sinetron… jadi cerita makin
memanaaaaas…. Jadi rating penonton makin meningkat… hedeeeew….
“Jij tau dari mana kalo itu bukan buat jij?”
“Ya
tau laaaah…. Mana mungkin abang beliin aku yang murahan gitu… Cuma tujuh juta
lima ratus…. Yang ik mau kan bukan
yang itu….”
“Waduuuuh….
Tujuh juta lima ratus dibilang murahan….” Kata Yu Lasmi dalam hati… “wah ...
itu uang semua apa pake campuran daun rambutan ya….?”
“Abang
gak pernah beliin ik cincin yang
murahan gitu… pasti semua diatas duapuluh jutaan… jadi ik curiga… itu pasti bukan buat ik…
lagian Esperanza itu harganya limapuluh enam juta… mosok jauh banget … lima
puluh enam, jadi cuma dibeliin yang kelas tujuh jutaan… apa kata duniaaaa kan
Jane… yang ik pake buat harian kaya
ini aja gak kurang dari duapuluh juta Jane…keterlaluan kan si abang” sambil
terbata-bata Mire menunjukkan cincin yang digunakan sambil menyuap
gado-gadonya.
“Waduuuuh….
Buat cincin aja limapuluh enam juta… Masya Allah…” kata Yu Lasmi lagi dalam
hati.
“Waaaah
udah gak bener deh bang Akmal kalo gitu… Ik
aja kemaren dibelikan sama kang Asep murah sih…Cuma sekitar tiga puluh jutaan…
udah keselnya minta ampun….” Kata madam Jane yang ternyata nama aslinya
Nurjanah… Lha kok Yu Lasmi tau…? Ya tau lah… wong tadi sempat telpon lagi buat
konfirmasi passport, mau terbang ke Honolulu, dia nyebut namanya Nurjanah…
hasyaaaah… Nurjanah kok iso dadi Jane lho yaaaa…..
“Waaah
bener…. Pasti buat si pere itu… soalnya kalau buat kita kan udah gak mungkin
kan Mir…?” Jane kembali membuka kipasnya, sambil tangan kanannya menyuap
gado-gado.
“Tuh
kan… bener kan… cocok dia… kalau jadi peran pembantu antagonis, bagian
manas-manasin…” Batin hati Yu Lasmi… Ealaah… Yu Lasmi kok ya tau istilah peran
antagonis lho yaaaa…. Opo kuwi Yu….????
“Pere
itu kan pere kelas kere…. Jadi kalau dikasih yang harga segitu udah kaya
ketiban rejeki dari langit kan Jane…” Jawab Mire sambil menyeka bumbu kacang
yang celemot diujung bibirnya.
“Embeeeeeer….
Dese pasti udah girang banget ya… secara…. Gak mungkin lah kalo gak karena sama
bang Akmal dese bisa pake cincin berlian… Tapi ngomong-ngomong… jij yakin kalau cincin itu buat si pere
itu? Jij kenal gak sama pere itu? Jij
tau kalau cincin itu buat pere itu dari mana? Jij… bla… jij… bla… jij…. Bla….” Hujan pertanyaan untuk
madam Mire dari madam Jane alias Nurjanah.
“Belum… ik gak tau… ik kira-kira ajah… “
“Maksudnya….?”
Jane mengernyitkan dahinya dan yang ditanya hanya menaikkan bahunya. Yu Lasmi
dalam hati berkata, “Cilaka, kalau ternyata sudah dilabrak dan ternyata salah…
jiah, malunya luar biasa… kok bisa begitu ya…” Yu Lasmi berpikir sambil
pura-pura merapikan sayur-sayurannya. Walaupun tetap … telinga bagai radar siap
mendengarkan lanjutan kisah kedua madam yang sedang frustrasi dihadapannya.
“Sebenernya, ik sudah temukan buktinya… nih…” Mire
menyerahkan foto kepada Jane. Terlihat gambar dengan latar belakang sebuah
kamar rumah sakit.
“Ik nemu ini ditas tangannya bang Akmal. Ini waktu mertua
sakit di kampung. Ini pere jendes itu… ternyata udah dibawa sama abang ke
kampung… sakit ati gak sih ik… Abang
ternyata naik jabatan di kantor dan ini fotonya… yang diajak pelantikan malah
si pere jendes ini… bukan ik… itu kan
udah mengibarkan bendera perang namanya kan…? Nih liat… sama kan orangnya… yang
di rumah Sakit sama di foto kantor ini…” Sambil menyerahkan foto lainnya lagi.
“Iiiiih…
iya juga Mir… ikutan panas ik deh…”
Jane membelalakkan matanya.
“Coba
kalau jij jadi ik… gimana rasanya… ancur kan, Jane….?” Jane pun menganggukkan
kepalanya kuat-kuat…
“Ik mulai lihat perubahan bang Akmal akhir-akhir ini.
Jangankan diajak liburan ke London, ke Hongkong waktu ada sale aja gak mau. Alasannya sibuk. Padahal di London lagi ada
obralan kan bulan lalu itu…” Mire menghela napas.
“Hoooo…
iya bener… “
“Belum
lagi kemarin, Ik bosen sama dekorasi kamar…
ik ajak ke Da’Vinci… eeeeh malah
pulang kampung ke Makasar. Emang sih mamak mertua masuk rumah sakit… tapi itu
kan urusan dia… entar kek, kalau udah selesai belanja baru berangkat, jadi Ik
belanja furniture jadi gak sendirian. Ya ini… foto ini waktu ik lagi susah-susah pilih-pilih
perabotan… eeeh gak taunya … dia lagi gandeng jendes ke mamaknya… dasar
laki-laki… brengsek…Diem-diem, belaga manis-manis, gak taunya selingkuh. Apa
sih kurangnya ik kalau dibandingin
sama pere ini coba…. Pere kampung, jendes lagi…”
“Lagian
kenapa Jij gak ikutan pergi tengok
mertua?”
“Iiiih….
Ngapain? Mertua Ik cerewetnya
selangit… ih males… biar aja abang sendiri yang urus itu mamaknya…ik gak sabar ngadepin mertua… males
banget… ”
“Waduuuuh…
lha gimana gak ditinggal selingkuh kalau begitu ya…” bisik Yu Lasmi dalam hati.
“Ik juga mengerasain perubahannya di
ranjang… belakangan ini bang Akmal dingin… dulu-dulu biasanya kalau ik minta, selalu dikasih… ini pake
alesan… capek lah, pusing lah… gimana gak emosi coba….?”
“Iiiih
kalau ik sih, kalau kang Asep gak
colek ik dua hari aja… heeeem kepala ik mumeeeet rasanya, bawaannya emosiiii…
bang Akmal udah mabok kepayang sama tuh jendes berarti Mir”
“Ya
pastinya… pingin ik goreng itu pere…
bangsaaat… dan yang paling nyakitin, bang Akmal suka salah sebut… dia kan panggil
ik kan mam ya Mir… eeeh suka
keceplosan panggil nduk… emangnya ik
genduk-genduk tukang jamu apa…? Dasar… begitulah kalo selingkuh sama pembantu…
“ cerocosan disertai dengan derai air mata tak terbendung teruuuus saja
mengalir… Yu Lasmi geleng-geleng kepala.
“Berapa
semua Yu….” Tanya Madam Jane.
“Gado-gado
dua, ambil kerupuk gak bu?”
“Gak…
gak… kerupuk cuma bikin ribut…” jawab Jane…
“Hedeeeew…
biasa aja kali jawabnya…. Gak usah pake tarik urat begitu…” Bisik Yu Lasmi
dalam hati, walaupun bibirnya tetap sungging senyum.
“Hooo…
iya… iya… gado-gado dua, jadi duapuluh ribu…”
“Iiiiih…
mahal amat … duapuluh ribu… dideket rumahku, sepiring cuma enem ribu…. nih,
lima puluh kembali tigapuluh…” kata madam Jane sambil menyerahkan uang lima
puluh ribuan. Yu Lasmi menerimanya dan segera memberikan uang kembali sambil
mengatakan “Terima kasih banyak ya bu… sering-sering mampir ya…” katanya tanpa
lupa melempar senyum. Keduanya tanpa menoleh lagi segera masuk kedalam mobil.
Togar
segera menghampiri yu Lasmi, “Ah… ngeri kali itu mereka tadi… eeeh Yuk… ini
fotonya tertinggal dimeja… “ Togar memandangi foto tadi. “Baaah… Jauh kali lah
bedanya, perempuan yang di foto ini dengan ibu yang menangis-nangis tadi…
cantik yang inilah… muatan local aslinya yang nampak.. kalau ibu yang tadi, cantik
karena poles-poles itu… mana pelit lagi… katanya cincin berliannya harganya limapuluh
juta… mosok beli gado-gado sepiring sepuluh ribu aja, dibilang mahaaaaal…. Baaaaah
”
“Husssh…
kamu ini… kok ikut-ikutan menilai tho… siapa yang suruh kamu ikut-ikutan kasih
komentar….” Jawab Yu Lasmi mendekati Togar, dan ikutan melihat foto-foto yang tertinggal..
Yu Lasmi ternyata juga penasaran sama foto yang tertinggal itu.
“Waaah,
lah kalo aku jadi suaminya… sudah langsung tak pecat itu kalau istriku begitu.
Lha wong sak enak nya sendiri gitu kok minta disetiai sama suami… gak usah pake
lihat foto itu… mau kaya apa perempuan selingkuhannya, kalau aku kok ya masuk
akal kalau suaminya selingkuh. Itu ibu yang kepetan
(kipasan=menggunakan kipas) terus itu tadi… suaminya pasti yo selingkuh itu…
belum ketauan aja… “ Sarwono mendekat, dan kemudian duduk dibangku depan
gerobak.
“Eaaaalaaah…
kamu kok ya nambah-nambahi…. Ikut-ikutan manas-manasi”
“Lho…
ini tenan (bener) lho yu… aku saja
yang ndengerin capek kok, yu… opo lagi suaminya… ya pantes lah kalo suaminya jadi
kucing garong, makan dirumah tetangga…enakan makan ditetangga yang cuma ikan asin,
daripada makan makanan mewah dirumah sendiri tapi rasanya paaaiiiiit….. “
“Huuuussss….
Kamu ini kok enak aja… ngatain orang Kucing Garong..” Yu Lasmi menepuk pundak Sarwono.
“Iya…
akupun pening dengarnya, berlian lah, perabotan lah… Hongkong, London… tapi
waktu mertua sakit, gak mau tengok… Baaah…. Janganlah si Tiur begitulah… bisa
selingkuh juga aku nanti…”
“Oaaaalaaah
Togaaaar… Togar…. Wong cuma tukang ojek aja kok pake selingkuh… besok pagi mau
makan apa aja masih bingung, kok mau selingkuh…” Sarwono menimpali. “Tapi bener
juga kata Togar yu… Mumet ndengernya… Trus ketimbang sepuluh ribu aja kok ya dikomentari…
“
“Eeeh
kalian ini… denger ya… itu tadi bisa dipake buat contoh… yang paling penting
dalam berumah tangga itu adalah niatan untuk
mau. Niatan untuk mau saling mencintai, saling mau menyatu dan yang lebih
penting lagi adalah… mau saling terbuka… kalau suami istri itu mau saling
terbuka, saling mau tau apa kebutuhan masing-masing, misale suami mau tau istri
butuhnya apa, istri juga mau tau suami butuhnya apa…. ya sudah pasti harus disesuaikan dengan
kemampuan lho ya… terus saling mau dan bisa menerima apa adanya, saling mau ngerti,
saling mau memahami, saling mau mengisi…. Karena gak semua pasangan juga mau … mungkin
bisa saling ngerti… tapi sebenernya belum tentu mau… jadi bentuknya adalah berkorban…
naaah itu yang trus bisa jadi masalah…. Dalam hubungan berumah tangga itu
jangan pernah merasa bahwa itu semua dilakukan sebagai sebuah pengorbanan…
susah itu… kalau yang namanya berkorban, itu ada batasannya, ada sesuatu yang
dikorbankan… sementara kalau cinta, itu bukan pengorbanan, tapi itu semua harus
dilakukan dengan kesadaran, kebebasan, ketulusan dan senang hati…. Jadi
hubungan antara suami dan istri itu tidak menuntut pengorbanan lho sebenernya…
tapi membutuhkan … ya itu tadi… saling mau untuk membuka diri… Wis tho… percaya
sama aku…. Kalau kalian seperti yang kuomongin tadi… yakin… gak akan ada itu…
selingkuh-selingkuhan kaya itu tadi… wis sana… pada kerja lagi… biar bisa dapet
hasil, trus bisa kasih oleh-oleh buat istri-istrimu… hayoooo… Sarwono, Togar…
inget pesenku… istri-istri kalian itu disayang… ya… jangan mentang-mentang
laki-laki trus mintanya diladeni terus…. Perempuan itu cuma butuh disayang…
diperhatikan… dicintai… wiiiiis sana… aku kok malah pidato terus ini…” Yu Lasmi
menutup bicaranya dengan mengangkat piring-piring kotor yang masih tergeletak
dimeja gerobaknya, memunggungi Sarwono dan Togar yang masih mencerna apa maksud
omongan Yu Lasmi tadi…
Medio
Mampang, tulisan tak terselesaikan sejak tahun 2008… (Fiiiuh…Kemane ajeeeee….?)
Diselesaikan
Tgl 31 Juli 2013