24 May 2013

MENARI DIATAS MENARA (4)





BUKAN CINTA BIASA
Tora membalikkan tubuhnya, saat terdengar Cafa memanggil namanya. Dalam sekejap pandangannya terpaku pada perempuan bumi yang saat itu berdiri tidak jauh dibelakangnya. Pakaiannya hitam, dengan rambut terurai berwarna hitam kecoklatan. Tora tercekat memandangi perempuan yang saat itu pula memandanginya dengan tatapan setajam mata elang. Keduanya bertatapan … bumi pun turut cekat, hening semua terdiam… seakan hanya terdengar bunyi debar membahana dari ribuan jantung manusia yang kemudian turut beku, terpaku mematung sesaat…

Diatas sana dari sela-sela awan muncul semburat sinar-sinar yang kemudian bak sulur-sulur tipis mulai menghujani bumi… awanpun mengalah, bergeser pergi… membuka tirai tabir langit yang sedianya gelap mendung tertutup awan, kini tertinggal mentari bulat mulai rekah senyum lebar tebar sinar keseluruh permukaan… aaaah… dahsyat… Bumi tiba-tiba menghangat dan dingin mulai beringsut perlahan menguap pergi berlari mengikuti awan…

Terdengar suara petir dari langit sana, diikuti kilat menyambar… yang kemudian disusul derai genit suara bidadari yang seakan bebas lepas dari gelapnya semesta… mereka mulai sibuk memasang kembang goyang puluhan jumlahnya disela sanggulnya, menyematkan gelang-gelang kaki yang menimbulkan bunyi gemerincing saat langkah diayunkan….. pula segera sibuk memasang kembali sayap-sayap yang berwarna-warni untuk kemudian menyusun barisan bersiap terbang menuju bumi… Menggunakan kain sutra berwarna cerah sebatas mata kaki, terbelah disamping, hingga nampaklah kaki mulus para bidadari dalam bentuk yang sempurna, berjalan berlenggok bersiap-siap untuk menari… Tangan-tangan berjari lentik siap membawa bokor isi kembang harum mewangi, serta tungku dupa bubuk beraroma setanggi… Kepak sayap mereka berirama seiring dengan terdengarnya sangkakala dan harpa langit  yang mulai melantunkan simphoni yang tercipta alami …

Bumi sontak harum mewangi… tiada sela sisi bumi yang tak terlewati … pula dipenuhi taburan kembang merah, kuning, jingga yang tiada henti hujani bumi… dibawah lengkung bianglala yang pula tak mau ketinggalan segera melesat dari langit menuju bumi, persilahkan para bidadari dan penguasa langit untuk kunjungi … tanah bumi yang sedianya gelap mendung …. kini rekah bersinar kembali….

Pandangan Tora masih lekat tajam menusuk bola mata Rhea… PENDAR SIRAT SINAR MATA Tora membuat darah Rhea mendidih bergetar … keringat dingin mulai bercucuran di tubuh mereka… Keduanya masih bertatapan… kepul asap setanggi dari  dupa para bidadari dilangit sana segera menyeruak menyelimuti keduanya… dari ujung kaki hingga ujung kepala… mengangkat dan menerbangkan mereka menuju angkasa… antara bumi pijak dan langit lepas.

Tanpa aba-aba… dalam gulungan dupa harum yang mempesona, keduanya meliuk melenggok berpelukan menarikan gerakan tari kahyangan yang terjadi begitu saja…. Ciptaan mereka berdua… Terbang…. Terbanglah mereka tinggi dalam gulungan asap dupa setanggi yang semakin mewangi… Menyusuri padang berbunga ilalang… mewelati burung-burung yang menganga tercengang … iri… melesat dahyat tembusi gemulung awan yang mulai memutih, Tora memeluk Rhea … Merengkuhnya dalam dekap erat… terbang berputar-putaran bagai gelombang pasang samudra … Jutaan panah asmara lesat dari atas langit sana… melatar belakangi tarian surga mereka… yang makin panas membara… sayap Tora yang sedianya masai basah, tak berdaya… perlahan mengembang, melebar dan mulai bertenaga… diiringi desah napas memburu menggelegak… saat bibirnya menjalar dileher Rhea yang menengadah menatap langit yang sedianya gelap dan kini benderang….  

Dibumi sana Cafa masih ternganga, tak sanggup berkata-kata… memandangi lesat laju Tora dan Rhea yang mengangkasa….
Dilangit sana Dewata Naraa dan segenap jajarannya… larut memandangi keduanya dengan gundah gulana….

Keduanya terpejam… berputar disela bumi dan langit… ya… antara bumi dan langit… mereka menarikan tarian cinta disela-selanya…. Ini BUKAN CINTA BIASA…. 

(BERSAMBUNG...)

21 May 2013

MENARI DIATAS MENARA (3)




BUMI FANA….

Adalah Rhea, perempuan yang tinggal didekat menara… Setiap bulan purnama tiba, jelang tengah malam tidak ada yang terlambat menyibakkan tirai dari jendela rumahnya… untuk melihat Rhea menari indah diatas menara sana…. Hingga tak jarang kota menjadi ramai… karena para perempuan sibuk  berteriak memukuli para suami.... sambil sibuk menutupi dan mengkaitkan seluruh ujung-ujung tirai rumah… agar para suami tak bisa menyingkapnya, untuk melihat tarian Rhea di bulan purnama.

Adalah Rhea… perempuan yang baru saja ditinggal mati suaminya. Menjadi buruan setiap laki-laki, dari hari kehari. Mulai dari upeti berkarung-karung dinar bersinar hingga upeti kaos kaki… semua laki-laki berdiri berbaris antri … hanya untuk memandangi Rhea menari hingga jelang pagi… yang beruntung bisalah menikmati tubuh Rhea tanpa tertutupi … seakan-akan berdua bugil menari, walau hanya dalam imagi… Rhea telah pergi, sebelum mereka menyadari… bugillah mereka sendiri.

Adalah Rhea, perempuan bumi yang penuh energi. Menjadi musuh bagi istri-istri yang tidak mengerti, bagaimana merawat dan membuat suami tenang berada disisi. Mereka biarkan para suami berkeliaran pergi… sementara mereka sibuk dengan keinginan sendiri. Mulai dari Iri hati melihat istri lain menggunakan hiasan telinga yang terang menyala, inginkan pakaian yang bertenun emas seperti yang digunakan oleh para istri penguasa negeri, sampai iri pada Rhea yang sanggup menyajikan tarian hati, hingga para suami tak ingat lagi istri…. terbawa kerling mata Rhea yang bersinar setiap hari…

Lalu bagaimana dengan Rhea sendiri?
Dialah seorang Rhea…. Ia hanya manusia perempuan yang ingin dilindungi, ingin dicintai… tidak ada keinginannya yang lain… selain hanya untuk dimiliki oleh sebuah cinta sejati. Puluhan tahun nyawanya berkelana sendiri, walau tubuh terjerat, terikat pada seekor mahluk bawah bumi.  Yang hanya ingini untuk puasi diri sendiri… hujaman sembilu pedih selalu mengirisi …. Bertahan dalam kelu dan bisu… dalam lingkar tatanan bumi yang wajib dijalani. Sumpah serapah tak berarti lagi… tetap tak berubah tak berganti… seakan semua turuti keinginan sang mahluk bawah bumi yang jelma menjadi suami… Rhea harus bertahan disana… menjalani hari… hidup yang seakan mati… Cinta yang sedianya adalah sebuah cinta dahsyat persembahan bagi suami tercintanya telah porak poranda…. Harapannya telah gugur berserakan disepanjang selasar jalan raya… tersapu angin terseret langkah…. Tanpa tersisa…
Puluhan tahun Rhea berjalan tanpa hati… walau terkarunia jutaan energi dahsyat dalam diri, yang ia bagikan dalam derai tawanya setiap hari, tanpa ada yang mengerti semua berubah menjadi derai tangis bila mentari pulang dimalam hari. Kala ia sendiri… Rindu menanti cinta sejati yang telah terserak porak poranda tadi… tercecer kesana-kemari terbagi-bagi bagai hujan birahi bagi para laki-laki… namun itu adalah cinta yang mati… cinta yang tak akan pernah abadi… cinta yang tak pernah ia kenali… Ribuan pelukan telah ia alami, jutaan kecupan mendarat dipipi… semua berlalu tanpa hati, karena Rhea tidak pernah tersinggahi sebuah cinta yang murni, sebuah cinta yang abadi…. Semua cinta dialami adalah cinta birahi… yang akhirnyapun ia nikmati, walau dengan hati teriris dan luka perih disekujur tubuh terasa selalu setiap pagi. Setelah mahluk itu terpuasi….  Sebagai sebuah suratan nasib sebagai perempuan bumi… dalam tubuh yang pasti membutuhkan birahi….

Adalah Rhea, seorang perempuan bumi yang tak percaya lagi adanya cinta sejati yang kan menghampiri…. Diyakininya sendiri, Rhea terlahir untuk melayani… tanpa ada seorangpun mengetahui apakah yang dia ingini… hidupnya berjalan hanya untuk dapat menyeimbangi aturan dan tatanan bumi yang sudah tercipta tanpa bisa diganti… untuk bisa sesuai pada yang mesti…. Apakah ada kesempatan untuknya … mendapatkan apa yang dia ingini…? Rhea menebar tanya dalam rangkai gerakan sebuah tari… jutaan mahluk melahap sungging senyumnya… ribuan manusia dapat menikmati liuk tubuhnya… puluhan tangan berhasil menyentuh pinggulnya… namun hampa hatinya beku, tak tergeming oleh semua itu… sungging senyum dahsyatnya selalu mengundang birahi… membuat semua orang tak berkedip, menggelegak kemudian menjadi tinggi…. Bila tiba saatnya ingin terpuasi, Rhea undur diri dan berlari… membuat semua orang ucap memaki… Perempuan tanpa hati…

Renyah suara Rhea menyambut Cafa, yang muncul dihalaman rumahnya.
“Cafa… Cafa… Cafa…. Kerabat manusia setengah dewa… bagaimana gerangan kabarmu hai saudariku…” Rhea memeluk hangat Cafa dengan segala kerinduannya.
“Rhea… sungguh luar biasa… selalu murah senyum dengan jutaan tawa… kabar baiklah luar biasa…. Rhea, lihatlah siapa gerangan yang datang bersamaku kali ini…” Cafa segera melepaskan pelukannya dan membalikkan badan mencari sosok yang tadi datang bersamanya. Dia hanya dapat menangkap punggungnya. Rhea mengernyitkan dahinya. Siapa gerangan yang datang bersama Cafa… manusia dengan tubuh kurus yang hanya terlihat dari belakang…. Rhea menyungging senyum dengan penuh tanda tanya… siapa gerangan dia?

(BERSAMBUNG...)

20 May 2013

MENARI DIATAS MENARA (2)



ADALAH SEBUAH AWAL DIATAS SANA…

Ini hari kedua…. Saat layar langit terbuka lebar, seharusnya awan tak bergulung berkumpul membentuk gumpalan abu-abu… Seharusnya terang bersinar memancar hingga cicit dan kepak kenari dapat terdengar merdu dari arah selatan sana. Namun kini, saat layar langit terkuak terbuka… mengapa semua nampak seperti berduka.

Dewata Naraa, mengernyitkan dahi pertanda tanya penuh didalam kepala. Apa gerangan terjadi dengan semestanya. Sudah dua hari semesta tak bercahaya. Telah dua hari semesta gulita. Dipandanginya bumi dibawah sana… berarti sudah dua puluh tahun bumi gelap tanpa cahaya… sepertilah yang demikian adanya, satu hari waktu langit adalah sepuluh tahun waktu manusia bumi….

Dirinya adalah penguasa tertinggi langit semesta. Tercengang saat langit terbuka, namun tak kunjung dilihatnya terang menyeruak saat hari cerah telah seharusnya berjalan. Mengapa semesta tak kunjung sesuai dengan semestinya…. Terusik tanya dalam hatinya… ada apakah gerangan yang terjadi ….

“Hai Tosha penguasa bumi, tidakkah kau iba melihat mahluk bumimu tak bercahaya? Ada apakah gerangan?” Tanya Dewata Naraa.
“Yang dipertuankan langit Dewata Naraa…tidak seharusnya bumi demikianlah adanya… “
“Itulah sebabnya mengapa terjatuh tanyaku padamu hai Dewa Tosha penguasa bumi… ada apakah gerangan yang terjadi dialam semesta ini…”
“Tidakkah yang mulia mengetahuinya? Ini disebabkan karena TORA sang penguasa langit terjatuh sakit yang tak kunjung tabib kuasa menangani.”
“Tora? Sakit apakah gerangan dia? Pantas kulihat raut wajahnya tak berdaya… ”
“Seluruh penghuni langit ini tidak ada yang mengetahuinya. Telah dikirim tabib dari segala penjuru, tak juga kunjung pulih… hamba iba melihat manusia dibumi sana tak jua kunjung diterangi cahaya. Keringatnya telah membanjiri bumi dan manusia hanya bisa meratap… mereka meneriakkan nama Tora sambil memanjatkan puja dan puji. Namun tetaplah Tora tak kunjung pula pulih dari cucuran peluhnya yang membuat bumi hujan yang tak kunjung henti.”
“Aku pamahi, Torapun pasti tersiksa… tak adakah seorang tabibpun yang dapat membantunya?” Dewata Naraa kembali menatap bumi. Dilihatnya seorang perempuan berlarian memegang daun pisang untuk lindungi dirinya dari hujan. Iba penuh hatinya, pada semua mahluk semesta yang mana berjalan seharusnya. “Segeralah kau cari jalan keluar, Tosha… tak tahan pula aku melihat mereka itu hidup tanpa sinar… juga ibalah aku pada Tora… pastilah ada sesuatu yang dipikirkannya… hingga ia harus menderita tak kunjung ceria…”
Langit dingin… pula bumi… tak ayal hanya gelap mendung yang meliputi. Para bidadari hanya bisa bercengkerama dalam biliknya masing-masing... benda-benda langit tak satupun ingin menampakkan wujudnya…. Semua kelam, nampak turut berduka cita, seturut dengan sakitnya Dewa Tora.

Di peraduannya, Dewa Tora terpekur termangu… “Oooh semesta, kiranya sakit apa lagi yang akan kuderita hari ini… peluhku telah membanjiri bumi. Tubuhku makin hari makin habis termakan masa, yang rasanya akan terbuang sia-sia… apakah gerangan ini semua… setiap kuterjaga… aku selalu cemas akan sakit yang kuderita… hingga makin membanjirlah bumi dibawah sana karena cucuran peluh yang tak mampu kubendung… aaaah …” Tora terpekur.

Dengan napas yang masih sering tersengal, Dewa Tora memaksa dirinya untuk melangkah perlahan… menyusuri tanah yang rasanya tak tertapakinya. Ia berjalan keluar biliknya menuju selasar langit … “aaaah gelap….” desisnya perlahan.  Tubuhnya berpeluh… rembes hingga bumi. Kembali manusia bumi berlarian mencari tempat berteduh… Dewa Tora kembali berpeluh… hingga bumi hujan tak terkendali.
Dewa Tora berjalan perlahan dengan terhuyung…. Pandangannya kabur, matanya tak bersinar. Tubuhnya basah… sayapnya pun turut masai. “Kemana aku yang dulu… sayapkupun bagai kain basah terkulai lemah tak mampu kukepakkan…. Bilakah akan kunikmati lagi, semilir angin dalam terbangku berkeliling langit?”

Tak tertengarainya ia melewati Cafa, seorang perempuan setengah manusia yang kebetulan sedang berdiri disana.
“Yang mulia, Tora sang Dewa langit…. tak kah kau lihat diriku sedari tadi berdiri disini… hingga kau hanya lalu dihadapanku tanpa sedikitpun toleh padaku…” sapa Cafa.
“Aaaah Cafa, putri setengah dewa… maafkan aku… jenuh aku berada didalam sana… mungkin semilir angin segar dapat mengembalikan tenagaku…”
“Heeem…. “ Terbersit sesuatu dalam benak Cafa…
“Dewa Tora… “ katanya lagi. “Maukah kau pergi denganku… kunjungi manusia kerabatku… sekedar untuk melepaskan diri dari kejenuhanmu sajalah. Kerabatku itu sedang dalam kesusahan… baru tiga tahun ini suaminya meninggal dan kini dia hidup sendiri hanya bersama dengan putrinya. Kulihat dia tak mampu menahan titik air mata sejak kepergian suaminya. Ini aku sedang dalam perjalanan untuk mengunjunginya… sekedar untuk menghibur dan memberikan semangat padanya…. maukah kau turut serta denganku?”
“Dimanakah gerangan kerabatmu itu?”
“Di Bumi, Dewa Tora… sekali-sekali lah… kau turun berjalan-jalan kebumi… siapalah tahu, bisa sedikit meringankanmu….”
“Bumi…” desis Dewa Tora tak bersemangat.
“Ya … Bumi… hayo… ikutlah aku…” ajak Cafa mencoba menyemangati Dewa Tora.
Dewa Tora menghela napas. Jangankan ke Bumi, berjalan beberapa langkah saja, rasanya sudah terhuyung. “ Bumi… aaaaah… seandainya aku sehat saat ini… dalam sekejap mata aku sudah bisa tiba disana….” Katanya dalam hati.
“Bisa… ayo, berjalan bersamaku… kau pasti bisa Dewa Tora…” Kata Cafa dengan wajah meyakinkan.
“Berjalanlah terlebih dahulu hai Cafa, manusia setengah dewa… aku akan mengikutimu dari belakang…”
“Aaaah Dewa Tora… berjalanlah berdampingan denganku… aku tidak berbahaya… akan kutangkap kau… bila terhuyung jalanmu nanti”
“Hahahaha…. Baru kali ini aku bisa tertawa lepas, Cafa… perempuan setengah dewa. Manalah mampu kau menangkap tubuhku dengan tubuh tambunmu itu… “
Cafa melihat semburat sinar walau tetap tak cerah di wajah Dewa Tora…“ Terserah apa katamu Dewa Langit… Aaaah … kulihat wajahmu… murung… nampak seperti sedang dirundung kesedihan yang teramat sangat dalam, hai Dewa Tora… maka, marilah berjalan denganku… akan kuhibur kau dengan cerita-ceritaku…” Cafa perempuan setengah dewa itu segera mengamit tangan Dewa Tora dan menariknya berjalan berdampingan.
“Perlahanlah sedikit langkahmu Cafa… “
“Aaaah baiklah yang Mulia… baiklah… aku akan berjalan perlahan… aaah… badanmu besar, tapi tak bertenaga… sudah… ayo segeralah kita berjalan… habis waktu hanya berdebat saja kita disini nanti…” Sambil masih mengamit tangan Dewa Tora.
“Heeem…. Barulah kuingat pula, Dewa Tora…. Rhea kerabatku ini juga seorang tabib… aaaah mudah-mudahan saja dia bisa menyembuhkanmu… “
Dewa Tora menghentikan langkahnya. Menoleh pada Cafa yang nampaknya berbinar setelah mengingat Rhea kerabatnya yang ternyata pula seorang manusia tabib.
“Sungguh Dewa Tora… aku baru ingat…. Tapi… aku ragu… apakah dia mampu… dia hanya seorang manusia biasa… mana mungkin bisa menyembuhkan seorang Dewa….” Cafa menghentikan kata-katanya. “ Heeeem…. Tapi kita lihatlah saja dulu ya Dewa Tora… kita datang kesana hanya untuk menghiburnya bukan…? Manalah mungkin seorang manusia dapat menyembuhkan penguasa langit semesta. Tabib-tabib hebat dari seluruh penjuru langit saja tak mampu menyembuhkanmu…. Mari Dewa Tora… sejenak kita turun ke bumi… mudah-mudahan saja hatimu terhibur hingga ringanlah sakitmu….” Cafa berceloteh sendiri tak kunjung henti. Tak inginnya pula  dia mendapat jawaban dari Dewa Tora yang sedari tadi mengernyitkan dahinya…. Antara bingung dan geli melihat tingkah Cafa perempuan setengah dewa yang sedari tadi sibuk sendiri.
“Baiklah, Cafa…. Baiklah…. “ jawab Dewa Tora mengikuti tarikan tangan Cafa berjalan menuruni lembah… menuju bumi….
“Senyumlah sedikit Dewa Tora… kita akan turun kebumi untuk menghibur seorang manusia… bagaimana mungkin kau dapat menghibur… bila tak kau sungging senyum sedikitpun di wajahmu…”
“Bagaimana aku bisa senyum Cafa… berjalanpun sulit…”
“Aaaah…. Bisa… tuanku bisa berjalan… hayo perlahan… naaah sekarang mulailah tarik sedikit senyum di bibirmu itu tuan… hayooooo….”
Dewa Tora mengernyitkan dahinya. Kebingungan…
“Hayo senyuuuuum….” Pinta Cafa.
Dewa Tora mulai sedikit menarik bibirnya…
“Nah… Lumayan… Begini terus ya Dewa Tora… jangan kau lepas bibirmu kembali melorot seperti gelap malam ….” Cafa memperhatikan Dewa Tora. "Eeem satu lagi Dewa Tora..." katanya lagi sambil mengernyitkan dahinya...
"Apa lagi Cafa?"
"Simpan dulu itu sayapmu... sayap basah tak terpakai... " Cafa menunjuk pada sayap Dewa Tora. Dewa Tora terbelalak... "Maksudmu...?"
"Untuk apa kau kenakan sayap itu, saat kau tidak mampu mengepakkannya... simpan kataku...
Perjalanan menuju Bumi kita tempuh dengan berjalan kaki… tak perlu lah sayapmu itu…. " Sambil kemudian melanjutkan langkahnya.
Dewa Tora menghela napas…. “Cerewet…” desisnya… entah Cafa dengar atau tidak… Tetapi perempuan setengah dewa itu sepertinya tak menghiraukan kata-kata Dewa Tora.
“Rhea… tunggu kami… aaaah kau pasti akan terkejut Rhea, siapa yang kubawa ini… Bersyukurlah kau, Rhea… seorang Dewa Langit akan berkunjung kerumahmu…“ celoteh Cafa dalam perjalanan menuju bumi…
Layar langit masih gelap… Dewa Tora meniti langkah mengikuti Cafa… berjalan makin turun… menuju Bumi, tempat tinggal manusia fana dibawah sana….

(BERSAMBUNG…)