SIANG
Aku hanya ingin ingat-ingat
hidupku saat ini…
Tak ingin ku ingat lagi hidupku
masa lalu…
Semua kini kumiliki…
Tak seperti dulu yang penuh debu…
Aku ingin lakukan apa yang aku
mau…
Tak peduli suara sumbang dari
kanan dan kiri…
Usahaku maju…
Itu memang karena otakku sendiri….
Jenang gempol[1],
kopi pahit…
Jempol pahit….
Siapa yang tak kenal…
Silahkan coba, taruhan nyawa kalau
tidak ketagihan….
Tapi bayangan perempuan itu…
Sering membuat otakku kaku….
Bedebah memang kamu….
Aku benci, aku benci kamu….
Lituhayu
membenahi dagangannya sambil bibirnya menyanyi bait demi bait sambil rengeng-rengeng[2].
Kedai jempol pahitnya tidak pernah sepi pengunjung. Semua mencari jempol pahit
untuk pengisi perut dipagi hari. Jempol pahit Lituhayu memang sudah terkenal
sampai kemana-mana. Dagangannya ya hanya jenang gempol dan kopi pahit, jangan
sekali-sekali minta gula padanya…
“Jenangnya
sudah manis mas… “ jawabnya setiap dimintai gula. “Nek minum e nganggo manis meneh, mundak kelegen[3] mas…”
ramah Hayu melayani tamu-tamunya.
“Itu anak
si Kumari, sudah besar ya… sudah gadis.” Lituhayu menganggukkan kepala setiap
ada orang yang membicarakannya… kadang hanya melirik dan menarik sedikiiit saja
ujung bibirnya.
“Yu… tumbas jenange[4]….”
Lituhayu
mendongakkan kepalanya, saat suara merdu seorang gadis kecil berusia kurang
lebih lima tahun memintanya untuk dilayani.
“Heiii cah
ayu… kamu mau beli bubur?”
Anak kecil
itu menganggukkan kepala sambil tersenyum. Nampak lesung pipi disudut bibir
kirinya. Aaaiiiih cantiknya. Lituhayu memandangi anak perempuan cantik itu
dengan seksama. Rambutnya lurus terurai, tidak terlalu panjang. Pipinya gembil,
mengundang siapapun yang melihatnya pasti akan mencubitnya dengan gemas. Matanya
bening, indah dan tajam, memandangi Lituhayu dengan tatapan yang dalam, sambil
bibirnya tetap menyungging senyuman manis.
“Kamu
sendirian?”
Anak kecil
itu mengangguk.
“Mana
mbokmu?”
Anak
perempuan gembil itu menunjuk kearah jalan desa.
“Heeeem…
gitu… kamu pasti lari duluan ya… “ kata Lituhayu sambil mengambil mangkok dan
mulai menyendokkan jenang gempolnya. Menyelipkan daun pandan dan mengucurkan
santan kemudian mengulurkannya pada anak itu.
“Heem…
sini, duduk disini, disebelahku… aku tidak akan membuatkan kopi pahit untukmu.
Tapi aku punya bekal wedang jahe. Kamu mau?“
Anak kecil
itu mengangguk lagi, sambil mulai menyendokkan jenang gempol ke bibirnya yang
mungil.
Lituhayu
memperhatikan anak perempuan kecil itu dalam-dalam. Senang sekali ia menatap
anak itu menyendokkan jenang buatannya dengan begitu lahap…. Angin semilir
bertiup sepoi perlahan… heeeem… nyaman rasanya. Lituhayu meletakkan gelas
wedang jahe disamping kiri bale-bale tempat duduk anak kecil itu, dan pula
turut duduk disamping kanannya. Sepoi angin membelai-belai wajahnya, memainkan
anak-anak rambut didahinya… sambil mengajak anak kecil itu bicara, Lituhayu
mulai merasakan kedua kelopak matanya semakin lama semakin berat. Ia menghela
napas sambil berusaha untuk membelalakkan matanya. Desir sepoi angin nyaman
semakin terasa…. Dan semakin lama, Lituhayu merasa semakin nyaman, dalam
bincang-bincangnya dengan anak perempuan cantik yang masih asik menikmati
jenang gempol buatan tangannya. Pandangan matanyapun makin berat…. Makin berat…
dan sosok anak kecil dihadapannyapun semakin kabur… kabur… kabur dan
menghilang….
“Aaaah…
aku rasanya mengantuk sekali…” kata Lituhayu pada anak kecil itu. Lanjutnya,
“Kamu tidak dicari oleh simbokmu?”
“Tidak,
dia sudah tahu aku mau makan jenang disini….” Jawabnya sambil meletakkan piring
bekas makannya di tempat belakang bale-bale tempat Lituhayu mencuci bekas makan
para tamu dan langsung mencucinya.
“Aaaah
kamu anak yang manis, makananmu habis tanpa sisa… dan langsung kau cuci sendiri
piring kotor ditempat aku mencuci piring. Aku tidak pernah melihatmu? Baru kali
ini aku melihatmu dipasar ini. Kamu pasti bukan orang sini. Siapa namamu?”
“Simbok
yang selalu mengajariku untuk mencuci piring setelah makan… dan simbok selalu
berpesan untuk tidak menyisakan makanan… kasihan makanan yang disisakan…
teman-temannya masuk perut dia ditinggal sendiian… nangis dia nanti… itu kata
simbokku. Piring yang tadinya bersih… harus kembali bersih.”
“Hoooo
gitu…” Lituhayu membelalakan matanya. Kalimat itu sepertinya sudah tidak asing
ditelinganya. Terngian lagi suara simboknya, “Kasian dia wuk kalau disisakan
dipiring… nangis dia nanti. Oleh karenanya, kamu harus bisa ukur sendiri,
seberapa yang kamu mau. Jangan kurang jangan lebih… yang pas saja…supaya piring
yang tadinya bersih, kembali jadi bersih…” kata Lituhayu dalam hati.
“Mana
mbokmu?”
“Itu…
simbokku disana… bekerja.”
“Kamu
ditinggal sendiri…?”
“Aku harus
bisa main sendiri saat simbokku kerja. Kadang aku ikut membantu simbok. Jadi
aku tau apa yang dilakukan simbokku. Dan aku juga bisa melakukan apa yang
simbok lakukan. Supaya aku bisa membantu, saat simbok membutuhkannku. Kadang
simbokku pergi berhari-hari….”
“Lalu kamu
sama siapa kalau simbokmu pergi?”
“Sama
simbah. Aku diasuh simbahku kalau simbok pergi…”
“Aaaah
kerterlaluannya simbokmu… pergi-pergi dan meninggalkanmu sama simbah.”
“Supaya
bisa dapat uang untuk makan katanya… kalau simbok pulang, kadang bawa belanjaan
banyaaaaaaak sekali… sampai gerobaknya tidak muat lagi.”
Lituhayu
mengernyitkan dahinya. Ada gemuruh didalam hatinya… anak kecil itu melanjutkan
kata-katanya…”Simbok banyak bawa barang-barang… pakaian, makanan, juga mainan…
kata simbok ada yang dibelinya, tapi ada juga yang pemberian orang. Ada yang
dari guru Sani, ada yang dari paman Bekti, ada yang dari mantri Gagak, ada yang
dari Begawan Sabdo, ada juga yang dari Resi Bhrebhrama… itu yang diatas bukit
sana padepokannya…”
“Itu semua
untuk kamu?”
“Ya siapa
lagi kalau bukan untuk aku? Aku hanya berdua dengan simbokku. Simbok bekerja
keras untuk aku…”
Lituhayu
mengernyitkan dahinya. Ingatan tentang masa kecilnya seakan hadir samar-samar. Anak
perempuan kecil itu menoleh padanya. Lituhayu pun memalingkan wajah memandangi
anak perempuan itu.
“Hampir
sama dengan masa kecilku…” katanya perlahan. Namun kemudian sambungnya, “Tapi
aaaah… aku lupa…” katanya lagi sambil membuang wajahnya kedepan.
“Kamu
bukan lupa… tapi kamu sengaja melupakan…”
Lituhayu
tersentak…. Secepat kilat ia menoleh pada anak perempuan itu. “Berani-beraninya
kamu mengatakan bahwa aku sengaja melupakannya. Apa alasanmu mengatakan begitu.
Tau apa kamu… dengan masa kecilku…?”
“Sssst….
Jangan ribut… “ katanya sambil menunjuk pada sesuatu. Lituhayu menoleh pada
arah yang ditunjuk oleh anak kecil itu. Terlihat
seorang ibu muda, dengan bertelanjang dada memeluk seorang bayi yang juga
bertelanjang dada. Terdengar lirih suara perempuan muda itu mendendangkan lagu
menyayat hati…
“…. Gusti… duh Gusti junjunganku….
Bertahtalah KAU dialam semesta luas ini…
Ambilah sakit penyakit yang ada dalam tubuh anak perempuanku….
Wuk Hayu… anak simbok….
Pindahkan panas badanmu pada simbok… anakku yang cantik…
Lekat dadamu di dadaku…
biarlah sakitmu simbok yang rasakan…
biarlah sakitmu simbok yang panggul…
heeeem… heeeem…
sehat lah nak….
Sehatlah anakku…
Segarlah kamu…. Sesegar kembang melati…
Agar simbok bisa kembali melihatmu menyanyi dan menari….”
Lituhayu
memandangi perempuan muda itu dalam-dalam… sekelebatan ia mengenali wajah ibu
muda itu. Tapi dimana … dia lupa… dia juga mengenali langgam gita menyayat itu…
tapi dia juga lupa… kapan…
“Kau tidak
lupa Hayu… kau sengaja melupakannya…. Tak akan pernah bisa kita lupakan… apa
yang telah terjadi dimasa lalu… kau hanya berusaha untuk menimbunnya dengan
batu… agar tidak nampak dimatamu… tapi semua itu masih lah ada disitu… ditempat
itu… semakin subur dan berakar… akan menjadi indah bila kau sirami dengan kasih…
namun akan menjadi busuk… bila kau sirami dengan kebencian…”
Dada
Lituhayu berdegup kencang… matanya memanas…. Ingin rasanya ia mencekik anak
kecil yang saat ini berada disebelahnya… Lituhayu memicingkan matanya…
memperhatikan betul siapa anak kecil disampingnya… dilihatnya sebuah toh[5]
tepat dilipatan tangan kirinya… itu miliknya….
“Dari mana
kau tahu namaku Hayu…. Siapa kamu…?”
“Jangan
pernah kau memalingkan pandanganmu untuk mengelak dari apa yang pernah kau
alami…”
“Siapa
kamu…. Jawab aku….”
“Perempuan
itu berjalan sendiri… menimang, menggendong dan menciummu sepanjang waktu… “
“Jawab
pertanyaanku… Siapa kamu….”
“Bukan
berarti tanpa kesalahan… banyak kesalahan pula yang telah dia lakukan… tapi
bukan kamu yang berhak untuk mengadilinya… Dia telah menerima penugasan dari
Pencipta untuk merawatmu… untuk menjagamu…. Untuk mendidikmu… dan dia terima
itu…. Dalam usianya yang masih sangat muda…. Sendirian… tanpa bekal apapun…
tanpa kawan… tanpa teman…dan... tanpa melawan...”
“Hentikaaaan….
Hentiiiiiikaaaan….. hentikan ocehanmu…. Sudah terlalu panjang kau bicara tak
beraturan…. Jawab pertanyaanku… Siapa kamu….?”
Anak
perempuan kecil itu menoleh pada Lituhayu …. Semilir angin mulai terasa lagi…
menerbangkan anak-anak rambut anak perempuan kecil itu… terdengar lagi lantun
suara ibu muda bertelanjang dada… “Pindahkan
panas badanmu pada simbok… anakku yang cantik… Lekat dadamu di dadaku… biarlah
sakitmu simbok yang rasakan…biarlah sakitmu simbok yang panggul…Sehatlah
anakku, Segarlah kamu…. Sesegar kembang
melati…Agar simbok bisa kembali melihatmu menyanyi dan menari….” . Tubuh
Lituhayu terasa lemas bagai tak bertulang….
“Siapa
kamu….” Lirih suara Lituhayu merendah, untuk kembali bertanya .
“Aku… aku
adalah Lituhayu… masa kecilmu…”
Mampang,
25 November 2013
BERSAMBUNG