SKETSA PURNAMA : BERSAMAMU BUKANLAH KEBETULAN, BERSAMAMU ADALAH
SURATAN
Malam ini Purnama… Rhea diatas menara.
Berdiam dalam hening… matanya terkatup rapat, lengket terpejam…
Seluruh tubuhnya lepas… tanggalkan seluruh
tulang-belulang yang menyangga tubuhnya. Lepas segala ketegangan dari sekujur
tubuhnya. Rhea seakan mematikan seluruh aliran medan magnet yang menjalar pada
tubuhnya. Tubuhnya bebas, siap mengembara dalam gerakan tarinya…. Napasnya teratur,
terlihat dari turun naik dadanya dalam irama yang tetap… Rambutnya tersapu
angin terkibas… tak dihiraukannya. Rhea bersimpuh lepas… tanpa penyangga dalam
hening yang dalam… tanpa sebuah arah tertuju…
Rhea menarik napas dalam, untuk kemudian dilepaskan
semua INGIN… agar keinginan dapat berlarian kesana-kemari sesuka hati… kebebasan
ingin yang tiada kendali… agar ingin punya kesempatan mutlak sebagai ingin…
tanpa ada yang membatasi.
Dilepas semua PIKIR… agar pikir dapat bebas
merdeka melanglang buana…. Hingga temui kebebasan pikir yang tiada batasnya… agar
pikir punya wujudnya sendiri sebagai pikir… tanpa ada yang mempengaruhi.
Dilepasnya semua HARAP… agar harap dapat bebas
melangkah bahkan berlari… hingga dapat sungguh teryakini… harap apa yang dicari…
Dilepasnya semua DIRI… entah hidup entah mati…
agar dapat bebas menentukan sendiri… berdaya hidup ataupun berdaya mati…
Karena rangkaian kenyataan hidup yang
terperangkap dalam jelma kasat manusia Rhea saat ini… adalah ruh energi bebas
tanpa batas dan kendali… sebagai DIRI SENDIRI…
Saat datang di bumi… dalam telanjangnya
sendiri…
Saat menjalani napas hidup… dalam pakaian
aturan dan kendali yang berlaku dibumi…
Saat menentukan arah… dalam kebingungan
kesana-kemari sambil dengarkan celotehan manusia dari sana-sini… yang makin membuat semua menjadi
rumit…
Saat menjadi seseorang yang selalu terpantaui
… kembali lagi merasa dipantau oleh celotehan dari sana-sini… mencela saat
terjerembab, memuji saat bermahkota…. Ada yang sambil lalu berceloteh… ada yang
sambil berpikir pula berkata-kata…. Semua lalu berjalan sesuai dengan putaran ….
Saat tiba jelang kembali…. Pun sendiri…. Dalam
kotak mati, atau bungkusan putih untuk kemudian benam dalam tanah abu debu fana
dibawah sana….
Lalu mau apa….? Aliran sungai bisa berliku
kemana saja… entah berbelok kekiri ataupun kekanan… pula lurus maju terus
kedepan sana… namun ingat… tidak ada aliran sungai yang berbalik mundur
kebelakang…. Semua bermuara disana… disamudra lepas tanpa batas…. Bercampur dalam
gemulung air laut yang tak akan pernah surut…
Mau kemana pergi… ? Tentukan sendiri…
lepaskan agar diri dapat sungguh menjadi diri… untuk kemudian terbentuk sendiri…
apa yang menjadi ingin, apa yang menjadi pikir, apa yang menjadi harap… Semua
terangkum dalam ikat DIRI SENDIRI…. Karena memang semua ada dalam DIRI SENDIRI…
Untuk kemudian diserahkan semua pada alam
semesta, diakhir hidup, apa yang sudah dilakukan disini … dihidup ini sebagai
sebuah pertanggung jawaban sebagai DIRI yang terjerat dalam tubuh kasat raga manusiawi…
Dalam hening… yang tanpa tuju… segala getar
energi yang lalu lalang tanpa arah disekitar ditangkapnya … warna-warni alam
semesta, merah, jingga, kuning, hijau, biru, lila dan ungu…. Diserapnya untuk
mengaktifkan roda-roda pusat energi di dalam diri… roda-roda itu mulai bergerak
tanpa aba-aba… ditempatnya masing-masing mereka bergerak mulai dari perlahan,
makin kencang, makin cepat, makin kuat…. Yang kemudian berputar dahsyat tanpa
bisa dan harus berhenti…. Bebas mereka berputar… hingga pancarkan sinar terang
dari masing-masing roda dalam tubuhnya… warna-warna berbaur menjadi satu,
melebur menjadi sebuah kekuatan dahsyat yang siap disemburkannya sebagai sebuah
DAYA ….
Rhea menutup pengembaraan heningnya…. Sungging
senyum masih dalam katup mata kekosongannya, bersiap untuk menggeleggakkan
energi yang baru saja diserap melalui kekehingannya… untuk kemudian dibagikannya
melalui gemulai tariannya, melalui liuk tubuhnya… melalui sinar mata dan
sungging senyumnya pancarkan sinar-sinar yang telah berputar dahsyat pada
roda-roda dalam dirinya… dan membagikannya pada manusia mana yang mampu untuk
menangkapnya…
Semua mata dari segala penjuru telah siap
tertuju padanya… adalah para dewata diatas langit sana… dan para manusia
dibawah bumi fana… semua bersiap menantikan pancar RAGA yang penuh DAYA, dari
atas menara….. siapa yang mampu menangkap gerakannya????.... Adalah semua… Namun pertanyaannya…. Siapa yang
mampu menangkap MAKNA nya….??? Hanya yang paham akan keterlibatan alam semesta
dalam dirinya…. Yang akan mampu mencerna MAKNA liuk tubuhnya… dalam gerak
tarian persembahan pada alam semesta.
Saat gerakan telah diluncurkan… MAKNA menjadi
sangatlah fana… tergantung dari siapa yang menikmatinya… Bagaimana kemampuan
daya pikirnya… yang hanya sebatas raga… birahilah yang muncul disana… namun
yang mampu menangkapnya melebihi batas raga… akan menjadi DAYA lah makna yang lahir
disana…. Aaaah… Rhea mengembalikannya pada penikmat gerakannya… bukan urusannya…
urusannya adalah mengasah RAGAnya… agar dapat menjadi DAYA… apapun penerimaan
pemirsanya… bukan menjadi pikirnya… manusia bertanggung jawab sendiri atas
DIRInya SENDIRI… atas INGIN, PIKIR dan HARAP nya sendiri-sendiri… Rhea tidak
peduli…
Rhea tersenyum… ia mulai merentangan tangannya,
menariknya kedada, tangkup tangan dan diangkatnya keangkasa… Sembah Purnama
bagi seluruh jagad raya, alam semesta luas yang melingkupinya… Memasrahkan
kembali pada pencipta jagad raya… untuk menentukan …. Apakah masih tetap dalam
tugasnya hidup dalam raga… dibumi manusia. Karena sejatinya manusia memanggul
tugasnya, saat menjalani hidup dalam jerat raga manusia. Diingatkannya kembali
pada Sang Pencipta saat meniupkan roh hidup ketika ia masih dalam janin sana… Dalam
gerak sembah purnama… Rhea memasrahkan kembali pada pencipta…. tugas yang harus
diembannya saat menjadi manusia fana… lanjut atau hentilah kiranya…
Rhea mulai menari… dilatar belakangi Purnama
bugil bulat penuh tanpa tertutupi…
Bumi chaos bila purnama tiba… ada yang hanya
berani mengintip dari balik tirai…. Sampai yang berani mengayun langkah menuju
menara. Mulai dari pengemis disudut negeri hingga para petinggi, semua bersiap
berdiri dibawah menara, menggenggam berbagai macam upeti, mulai dari kuntum
bunga melati hingga sunting hiasan sanggul emas murni… dari tahun ketahun…
mereka hanya bisa membawa upeti-upeti itu ke menara, lalu membawanya kembali
pulang… yang akhirnya diserahkan pula pada perempuan penguasa rumah tangga dalam
negeri… karena upeti tidak akan pernah terjamahi oleh Rhea perempuan penari….
Adalah Kuomo, yang sedari tadi telah bersiap
menikmati pertunjukan liuk tunggal diatas sana, disusul Uraim yang baru saja
hadir dengan tergopoh-gopoh dan jengkel melihat sudah ada manusia terlebih
dahulu tiba disana… Belum lagi Diema, dengan langkah tenang mendekati menara,
sambil memegangi pelipisnya yang luka terkena lemparan sodet penggorengan
Dienta istrinya saat ia mulai bersiap-siap melangkah menuju menara… suara
Dienta makin sayup tak dihiraunya lagi…“Bedebah kau lelaki setaaaan… pergilah
kau melihat pertunjukan alam setiap purnama bulat… kau tinggalkan aku menikmati
selimut malam ini sendiri… “ teriaknya memaki.
Langit terang diatas sana… suara kibasan
sayap membahana memekakkan telinga… dari seluruh penjuru mereka semua bersiap
melesak turun … menuju menara… tepat disela-sela antara bumi dan langit sana…
seperti biasa… para bidadari sudah lebih dulu berbaris bersusun rapi… menapaki
selasar pelangi… turun dari langit … untuk curi gerak tari Rhea manusia bumi….
Seorang dewa bersayap nampak mulai terbang
mendekati menara…. Namun kemudian lesak laju naik lagi keudara… saat dilihatnya
seorang dewa bersayap lainnya muncul menuju arah yang sama…. Dewa itupun segera
kepakkan sayapnya kuat berbalik mengangkasa,saat muncul dari kejauhan dewa
bersayap lainnya yang laju menuju titik yang sama…. Setiap dewa bersayap memancarkan sinarnya…
maka terang benderanglah langit yang seharusnya malam gulita… suara sinar
bertabrakan menimbulkan bising seantero angkasa… semua dewa bersayap menuju
arah yang sama… menara… hingga muncullah dari kejauhan sana… Dewa Naraa,
perlahan ia mengepakkan sayapnya menuju menara… dan berdiri tepat dihadapan
Rhea. Seluruh dewa yang sedianya bersiap pengepakkan sayap menuju menara,
terhenti, dan hanya sanggup sembunyi dibalik apapun yang sekiranya sanggup
untuk menutupi, dibalik bintang, dibalik awan, dibalik tiang langit bahkan
dibalik benda-benda langit yang bertebaran diatas sana… nyali menjadi ciut, saat
Dewata Naraa pula hadir dan berdiri dihadapan Rhea. Semua Dewa memicingkan
mata, menatap tajam pada Rhea, apakah perempuan itu menyadari kehadiran Yang
Mulia Penguasa Langit semesta raya….
Rhea tetap larut dalam gerak tarinya, matanya
masih terpejam tanpa tengarai Yang Mulia Penguasa Langit telah berdiri
dihadapannya. Naraa memandangi gerakan Rhea yang bebas penuh merdeka… dadanya
sesak saat dilihatnya Rhea menundukkan kepalanya, menarik napas dan kemudian
menengadahkan kepala sambil membuka matanya… Sinar mata Rhea terang memancar
dari kedua bola matanya…. Tajam menatap kedepan…. Dewata Naraa siap sungging
senyum dan merentangkan tangannya… Namun….. ada ragu disana… ketika disadarinya…
tatapan Rhea bukan mengarah padanya…. Dewata Naraa masih memandangi Rhea, yang
sungging senyum dan merentangkan kedua tangannya …. Rhea berlari menghampirinya…
saat Dewata Naraa akan menangkap tubuh Rhea… dirasakannya seseorang berada
dibelakangnya…. Rhea lari menghambur masuk dalam pelukan seseorang yang berada
tepat dibelakannya…
Semua terjadi dengan begitu cepatnya…. Seluruh
langit gelegar gemuruh suara para dewa… memaki … menghujati… atas nama iri…
mengapa diri tidak berani…. Para Dewa mulai menyalahkan diri sendiri, kembali
ciut nyali… mengapa tidak seberani dewa nekat yang kini berdiri dibelakang
Dewata Naraa pemimpin langit…. Menangisi diri mengapa tidak mampu seberani laki-laki
bersayap yang saat ini dapat menikmati jemari Rhea membelai pipi. Tak berani
menunjukkan dada bidangnya tempat untuk Rhea dapat meringkuk manja bagai bayi….
Dewata Naraa memejamkan mata merasa panas… segera lesak membubungi tinggi,
menutup pintu langit untuk kemudian terpekur memandangi… dari tempat
tersembunyi…
Semua lidah kelu… baik mahluk langit maupun
bumi… seakan napas terhenti… laki-laki bumipun tak henti memaki, merasa tak
memiliki peluang lagi… saat perempuan bumi rengguk dalam dekapan dewa langit
yang tinggi….
Dewa Tora memejamkan mata… merasakan betul
keberadaan Rhea dalam peluknya… saat hatinya terasa bahagia… saat Rhea memilih
untuk menyeruak masuk dalam pelukannya.
“Tak kuijinkan siapapun menyentuhmu,
perempuanku…. Tak pula yang tertinggi sekalipun… karena aku telah memilihmu dan
kau telah memilihku… “
“Namun Tora… jangan pernah kau tanggalkan
sayapmu…”
“Serahkan semua padaku… apa yang akan
kuhadapi diatas sana… jangan kau cemasi apa yang akan terjadi… menemukanmu
bukanlah kebetulan, tetapi sudah suratan…”
“Kita akan menari bersama disini… Kita bisa
MENARI DIATAS MENARA….saat kau merindukanku… ”
“Sssst… perempuanku… itu semua urusanku…. Adalah
sebuah kebebasanku untuk bisa mencintaimu dan dicintaimu…” Dekapan hangat Dewa
Tora membuat Rhea kemudian hanya sanggup berkata… “Jangan tinggalkan aku,
kekasihku…”