01 July 2011
Pesona Topeng Bali
Saat ini aku sedang terpesona dengan keindahan topeng Bali...
Daya tarik yang begitu kuat membuatku ingin menyajikannya dalam sebuah pertunjukan topeng yang dahsyat.
06 September 2010
Emptiness
Duh Gusti...
Kenapa rasanya kok KOSONG begini...?
Letih sekali...
Apa sebenarnya yang terjadi...?
Rindukah? Nelangsakah? Cintakah? Bencikah? atau kah... kah... yang lain kah?
Astaga...
Kenapa aku tidak bisa menjelaskan dengan baik, runut, teratur, sistematis...?
Ada apa ini...?
Analisa S3 yang biasa kulakukan runtuh seperti tak pernah mengenal bangku sekolah...
Semakin banyak kubaca... semakin pula kumerasa tak mengerti apa-apa...?
Apa ini...?
Duh Gusti...
KOSONG... HAMPA... GALAU melanda...
semoga tak lah lama...
Ingin kubuang semua... hingga habis perkara...
Bisakah...?
Ku tak tahu jawabnya....
Mampang, 06 September 2010
30 August 2010
Pesona Pulau Seribu
18 August 2010
Surat untukmu 1
“ Pa…
Singapura saat ini sudah banyak berubah dari terakhir kunjungan kita…
Banyak bangunan baru lho, pa…
Rasanya baru kemarin kita bertahun baruan disini bersama…
Dan menjadi hal yang aneh rasanya menjejakkan kaki disini, karena kunjungan terakhirku ke tanah temasek ini adalah bersamamu… bergidik kudukku menyadari itu…
Pa,
Memang bukan kali pertama aku kesini, tapi dalam berkali-kali kunjungan itu, yang terakhir adalah bersamamu dan itu memang pula akan kunjungan pertama dan terakhir bagi kita …. Agak berlibet ya pa, aku menyampaikannya… tapi mudah-mudahan kau mengerti maksudku itu…
Pa,
Saat ini aku ada di bandara, menunggu pesawat yang akan membawaku kembali ketanah air. Kuingat waktu itu, aku makan bebek panggang dengan Uli dan kau menghampiri, setelah kau habiskan nasi goreng basi yang kita beli semalam sebelumnya. Padahal kalau kau mau, akupun sudah menawarkanmu untuk ikut makan bersama kami… Pertimbangan yang dahsyat… -three dollar… tidak lebih… aaahhhh-
Pa,
Banyak derita yang saat ini kurubah menjadi suka cita, pa… karena kalau tidak begitu tentu akan memberatkan langkahmu.
Pa,
Perjalanan kita yang kala itu sangatlah jauh dari sempurna, menjadi indah rasanya…. Ketika saat ini aku harus sendiri…
Pa,
Ketika tulisan ini kutulis, aku sedang sendiri, menyulut rokok di teras bandara Changi yang dulu kita lakukan bersama… Walau tanpa saling berkata-kata, yang ada hanya diam…. –tepatnya sebal dan kesal dihatiku… entah aku tak tahu apa yang ada di kepala dan hatimu-…. Namun saat ini semua menjadi terasa begitu sepi…
Pa,
Kamu baik-baik ya …
Aku selalu berdoa untukmu, agar ringanlah langkahmu.
Dampingi aku dan Uli ya pa…
Aku yakin… Jauh didasar hatimu… selalu ada cinta untukku…”
Changi, 17 Agustus 2010
14:27 Local Time
Casino
“Semua orang sibuk mengorek tas dan saku, untuk mencari tanda identitas diri, didepan selasar yang terbelah untuk Singaporean dan untuk foreigner …
Petugas yang sangat informative tersebar disemua sisi, agar tak lah orang akan kesasar kesana-kesini… well prepared… luar biasa…
Casino Marina Bay Sand barulah beberapa bulan berdiri…
Namun telah mampu merebut hati jutaan orang yang ingin mengadu nasib.
Kocek tebal menjadi tipis
Kocek tipis bisalah menjadi tebal.
Ada yang impas…
Tapi yang paling menyedihkan adalah yang sudah tipis makin menjadi tipis…. Bahkan habis…
Casino Marina Bay Sand…
Lahan yang tak pernah lengang…
Lahan yang selalu dipenuhi manusia…
Tak kenal senyap…
Gemerincing suara mesin, tawa, tangis, teriakan, mata sembab, wajah cerah ditengah kepulan asap rokok dilantai bawah dari manusia-manusia yang mengadu nasib… semua tertumpuk disana…”
Singapura 17 Agustus 2010
09:15 local Time
Untuk Franki
“Franki…
Terima kasih atas hari-hari kita ini…
Bersama merajut tawa, canda, tangis, duka dalam kemasan yang langka.
Hanya tiga hari kita bersama, namun sangatlah sarat dengan makna… Pinguin dimana-mana…
Franki…
Jujur aku tak mengerti arti tatapan matamu,
Jujur aku kadang tak mampu menyelami arti diammu,
Kau hanya menyajikan banyak tatapan dan senyuman padaku tanpa kata-kata.
Alasanmu, kau sedang mengaggumi apa yang sedang berada dihadapanmu… ya… yaitu aku… -tersanjunglah kiranya diriku, Frank….-
Franki…
Sekali lagi, terima kasih atas hari-hari kita yang sungguh singkat ini.
Imagi penguin yang menari-nari dan bunyi music pengiringnya, sungguh melesak dalam hati. Dan Franki… akan kupanggil memori ini bila rindu menghampiri…”
Singapura, 17 Agustus 2010
09:00 Local time
Orchard Road pagi hari
“Hangat pagi, disela semilir angin… matahari membuka lembar hari.
Lalu lalang manusia penghuni bumi, mulai bergerak kesana-kemari dengan urusannya sendiri-sendiri.
Lali-laki berdasi, perempuan ber rok mini, anak-anak dan remaja berseragam rapi. Ibu-ibu tua menarik tali anjing pudel manis yang kadang tak terkendali lari-lari. Tak tertinggal pula bapak-bapak tua melangkah perlahan menapaki hari yang baru lagi.
Tak lah terlihat beban diraut pagi, berbagai ras berkumpul dan tertumpuk disini.
Bersama-sama mengadu hidup, mengais rejeki agar dapat terus menjalani hari.
Memenuhi naluri atas perintah Sang Pemilik Hidup itu sendiri.
Orchard Road pagi hari…
Menyadarkan ku kembali… -yang sedang ditemani segelas kopi dan sebatang rokok tidak sehat- akan indahnya hidup ini…”
Singapura, 17 Agustus 2010
08:50 local time
14 August 2010
Catatan untuk Taruli Anakku
"Hari kita kedepan akan menjadi hari yang melelahkan, nak... Berdua kita berjuang untuk tetap bertahan hidup...
Perjuangan kita masihlah panjang... Namun bekal kerja keras sudah terpatri dihati kita bukan? Ayo nak, sekarang sungguh tinggal kita berdua...
Bayang-bayang itu memang sudah tidak ada, tetapi ia tetap akan hidup ditengah kita berdua...."
Kenanganku untukmu
Tulisan ini dibacakan saat Misa Peringatan 40 hari kepergian Ir. Sahala Parlindungan Situmeang, M.Sc, yang dipimpin oleh Romo Jourdan, OFM
Dalam piluku yang tak pernah orang tahu….
Aku selalu ingin kau ada didekatku…
Tak hanya saat-saat terakhir hidupmu…
22 tahun aku selalu berusaha meraihmu…
Ingin selalu mendekapmu…
Kupegang teguh janji itu, dengan segala gelombang pasang surut untuk tetap hidup bersamamu.
Bukan hal yang mudah.
Lelah, letih… hingga rasanya tak kuat lagi… aku tahankan rasa gemuruh hatiku untuk lari menjauh darimu. Tapi kutahankan itu…
Sering kulantunkan lagu James Ingrams dalam hatiku…
“… to make the magic last for more than just one night….”
Aku menanti keajaiban…. Sekaliiiiii saja
Sekali saja…
Harapanku hanya ingin sekaliiiii saja kau ungkapkan rasamu untuk ingin selalu dekat denganku.
Sekaliiiii saja kau sampaikan rasa cintamu padaku.
Lalu kita kembali berjalan bersama … bertiga… menapaki jalan hidup yang kukira masih panjang untukmu.
Harapanku hanya sekali…
Tetapi… ternyata kau beri aku lebih banyak dari itu…
“Aku mau ikut kamu…” dengan gaya ucapmu yang kaku
“Aku mau dekat kamu…” tetap dengan gaya bicaramu yang beku
“Aku mau selalu dekat kamu…” katamu sekenanya dengan langkahmu yang selalu buru-buru itu.
Tiga kalimat pendek yang kau tinggalkan untukku…
Sebagai jawaban penantian 22 tahun hidup bersamamu…
Dan setelah itu….
Kau pergi …
Jangan takut sayangku…. kau akan selalu dekat aku… karena memang itu adalah harapanku
Jangan cemas cintaku… kau akan selalu dekat denganku… karena memang itu adalah impianku sejak dulu.
Selamat jalan, Sahala…
Selamat jalan, Suamiku…
Kita akan selalu dekat… sangat dekat….
Karena memang selalu ada cinta diantara kita…
Mampang,
Medio, 3 Juli 2010 - 22:15
24 January 2009
Gado - gado yu Lasmi
Bingung... Mas...
Yu Lasmi si penjual gado-gado di ujung perempatan gang itu, tidak pernah kesiangan. Ia selalu sudah siap dengan segala macam sayur-mayur bahan gado-gadonya sejak matahari meletik di pagi hari dan baru kemas-kemas pulang setelah matahari mulai condong ke barat.
“Kok rajin banget sih Yu… pagi-pagi selalu sudah buka” Tanya Amin si tukang ojek, sambil menyedot rokoknya hingga kempot.
“Laaah… bang Amin ini gimana toh… orang itu kadang suka bingung cari sarapan. Pagi-pagi suka bingung cari warung, belum ada yang buka…”
“Lah, Yu… apa ya gado-gado pantes toh buat sarapan… “
“Yo pantes-pantes aja toh bang, wong buktinya orang ya antri mau pesan gado-gadoku buat sarapan juga lho…”
“Eh.. jangan salah, Min. Kalo gado-gado Yu Lasmi ini cocok-cocok aja buat makan disetiap waktu… nggeh mboten Yu? Kamu tau nggak, Min, orang nyari gado-gadonya Yu Lasmi bukan cuma karena rasanya saja, tapi gara-gara Yu Lasminya… gimana gak ngantri wong yang jualan uuuayuuuu tenan…” Sarwono ikutan bicara.
“Wezz gombal kamu Sar, kamu ngomong gitu biar dapet sarapan gratis, yo Sar”
“Mboten, Yu… ini bener. Wong saya itu kemarin, pagi-pagi nganter tamu ke daerah Tomang sana… kan jauh toh ya. Lha kok waktu mau balik, ada penumpang yang minta dianter ke sini, cuma gara-gara mau beli gado-gadonya Yu Lasmi. Waktu aku tanya, lho tau gado-gado Yu Lasmi juga toh mas? Trus dia jawab, ya tau toh mas… wong gado-gado itu gak cuma bikin kenyang perut, tapi juga bikin kenyang mata… Trus kutanya lagi… bikin kenyang mata gimana toh mas? Dia jawab lagi… lha kalo yang jual semlohe begitu kan itu namanya kenyang lahir bathin toh mas… itu dia… mantab kan? Bisa buat sangu seminggu. Min… bayangin dari Tomang lho… nyampe kesini, Cuma mau makan gado-gado sambil nontonin Yu Lasmi ngulek… weeeuedaaan tenan…”
“Lambe mu, Sar… wis kamu mau apa? Pedes atau ndak?”
“Waduuuuh Alhamdulillah… aku dapet sarapan ini? Yo jangan pedes toh Yu… wong pagi-pagi gini… bisa panas nanti perutku sampai siang…” jawab Sarwono langsung mendekat ke gerobak Yu Lasmi… Lumayan, dapat sarapan. Tapi anehnya Sarwono gak pernah tega kalau mau nge bon. Padahal Yu Lasmi sudah beberapa kali bilang kalau belum bisa bayar, bisa di catat saja dulu. Tapi ya namanya juga Sarwono, gak pernah bisa kalau gak bayar, malah kadang harga gado-gado yang cuma lima ribu tanpa telur, atau enam ribu pake telur itu bisa jadi dibayar sepuluh ribu tanpa kembali. Mantab kan? Tapi kalau tidak pake uang kembali seperti itu, Sarwono biasanya dikasih gratis krupuk, biar makan bisa jadi lebih meriah kata Yu Lasmi. Weleeh...
“Yu… gado-gadonya dua…” Pinta seorang laki-laki perlente bersama seorang temannya yang baru saja turun dari mobilnya.
“Oooh.. iya mas, pedes ndak?”
“Kamu pedes gak?” Tanyanya pada laki-laki kawannya yang sudah duduk di bangku panjang.
“Dikit…”
“Sedeng saja ya mas…kalau mas yang ini?” sambar Yu Lasmi.
“Sama in aja lah…”
“Ooh iya mas… silahkan duduk dulu. Sebentar ya saya buatkan.”
Laki-laki yang tadi berdiri disamping Yu Lasmi membuka kaleng krupuk, mengambil krupuk yang berwarna putih itu dan segera menyusul duduk dihadapan kawannya yang sudah asyik tenggelam oleh berita-berita di Koran pagi, yang diambilnya dari meja panjang. Yu Lasmi tidak pernah menyediakan koran di meja warungnya, tapi ada saja loper koran yang meletakkannya disana. Akhir bulan, entah siapa juga yang membayar tagihan korannya, sampai sekarang Yu Lasmi sendiripun tidak pernah paham.
“Walah… partai apa lagi… ini? Milih logo kok ya aneh-aneh… kepala kucing. Apa coba maknanya?” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lah biasa kan… demokrasi… semua boleh punya aspirasi. Kalau merasa aspirasi tidak terpenuhi… ya bikin partai lagi…”
“Heem… iya ya… trus kalau sudah bikin partai baru, dan gak sepaham, trus bikin partai tandingan…”
“Ya iya… kaya partai yang tadi kamu lihat… apa? Partai kucing? Kalau nanti pecah, namanya jadi Partai Kucing tandingan… seru juga lho, Men…Atas nama demokrasi toooh? Sah-sah saja…”
“ Heeeh… demokrasi kok malah jadi kaya main-mainan aja…”
“Itulah… trus masyarakat dicekokin harus milih… lha… nongol aja barusan, gimana orang bisa kenal? Pe de banget?”
“Sebentar lagi banyak muncul selebritis-selebritis baru nih… semua orang balapan masang foto diri… wah… makin bingung. Akhirnya malah milih gara-gara ganteng atau cantiknya aja, bukan karena partainya…”
“Ya bisa jadi… atau malah nggak milih sama sekali… lha wong pusing mau milih yang mana…”
“Semua partai pasti tujuannya baik toh?”
“Lha ya harus yang baik-baik toh kalau mau nyusun visi misi partai…”
“Tapi kita gak tau pelaksanaannya kaya apa…”
“Bisa jadi… itu kawan kita si Haris, kemarin bilang sama aku, setiap liat titik strategis penginnya pasang baliho foto dia gede-gede. Biar orang kenal katanya. Berapa duit itu? Trus yang dipikirin gimana caranya untuk bisa pasang foto gede-gede. Bukannya mikirin program kerja yang bisa ditawarkan demi memenuhi kebutuhan rakyat itu apa, tapi malah mikir gaya foronya gimana?”
“Eh … kalo Haris kan memang berduit, man… Biarin aja…”
“Lah trus kalau caleg-caleg yang lain itu gimana? Apa ya semua orang punya duit?”
“Ya itu resiko dia lah… pinter-pinternya dia cari sponsor… semua itu kan tergantung kepentingannya…”
“Sedih juga…”
“Kenapa harus sedih…?”
“Apa lagi kepentingannya sekarang ini… kalau nggak UUD…?
“Ujung-Ujungnya Duit maksudmu?”
“Ya iyalah… mana ada sekarang orang yang mbahas UUD itu Undang-Undang Dasar. Sekarang ini kan singkatan UUD lebih dikenal Ujung-Ujungnya Duit. Coba tanya sana sama anak SD, mana mereka tau UUD itu Undang-Undang Dasar? Wong pelajaran sekarang ini gak lagi mikirin itu. Kemajuan dan perubahan jaman katanya.”
“Iya juga ya… “
“Ya memang iya… bukan sekedar iya juga… lihat saja, berapa persen sih dari caleg-caleg itu yang bener-bener bisa njalanin program kerja sesuai dengan kebutuhan rakyat? Yang jadi targetnya kan kesejahteraan… diri sendiri maksudnya… bukan kesejahteraan rakyat. Lihat saja jumlah partai bererot begitu banyaknya. Berapa duit itu? Bikin partai kan gak kecil duitnya…? Semua aliran dana tumplek blek di situ. Bagaimana bisa mbangun Negara, wong uangnya malah muter disitu…”
“Yang katanya Pesta Demokrasi ya…”
“Ya iyalah… Berapa dana yang muter di tahun 2009 yang katanya atas nama pesta demokrasi.”
“Iya mas, mbok ya buat nambahin modal gado-gado saya aja ya mas, malah karuan. Kelihatan hasilnya. Atau buat nyekolahin anak-anak di kampung-kampung pelosok sana…” Celetuk Yu Lasmi sambil mengelap tangannya ke celemek dan siap mengangkat piring gado-gado pesanan.
“Nah… loe denger sendiri? Yu gado-gado aja cerdas… kok malah orang-orang ini balapan mau pada nge top sendiri. Ya nggak Yu?”
Yu Lasmi Cuma tersenyum sambil meletakkan piring ke hadapan kedua orang tamunya.
“Ealaaah, cerdas apanya toh mas, lha wong orang kaya saya ini kan mikirnya yang gampang-gampang aja. Buat masang foto sebesar rumah begitu ongkosnya sepuluh kali lipat dari modal saya bikin warung mas… padahal ya cuma dipasang sebentar. Selesai pemilu ya sudah harus dicopot-copot lagi. Abis itu orang sudah lali meneh… Kalau buat modal warung kaya saya gini kan bisa buat hidup sampai tua toh… Bisa buat nyekolahin anak… sukur-sukur bisa buat naik haji.”
“Nah kalo Yu sendiri mikirnya gimana?”
“Lah, lha wong sekarang ini banyak banget mas partainya. Saya malah jadi bingung. Apa itu namanya orang yang pada mau jadi anggota dewan itu?”
“Caleg… Calon Legislatif, Yu…”
“Iya… itu …. Calegnya buaaanyak banget. Mulai dari tukang kulkas sampe artis semua bisa jadi caleg. Yang penting punya duit toh mas, supaya bisa pasang-pasang foto kaya gitu itu.”
Kedua tamu Yu Lasmi manggut-manggut. Tanpa ragu yu Lasmi kemudian ikut duduk di bangku panjang warungnya.
“Waah… aneh kok mas, kalo jaman saya kecil dulu, kita gak pernah tau siapa anggota dewannya. Sekarang ini foto-foto dipajang-pajang, tapi ya tetep juga kita ndak kenal siapa dia. Lha yang untung kan ya artis-artis itu toh ya mas. Mending jadi artis dulu aja baru ikutan nyalon jadi caleg. Jadinya sudah pasti menang toh? Nah… Kalo sudah menang trus bingung kalo dah disuruh kerja, lha wong biasanya cuma baca scenario bikinan orang, trus acting di depan kamera, sekarang disuruh beneran mikir sendiri. Opo yo iso kuwi? Jangan-jangan dia merasa lagi acting di depan kamera. Lah ini kehidupan nyata je… bukan cuma sekedar dongeng, Trus yang memang sudah sekolah tentang ilmu pemerintahan mau pada jadi apa ya mas?”
“Ya itu yang namanya demokrasi, yu. Semua mempunyai hak yang sama untuk memilih dan dipilih.”
“Lha kalo partainya sebanyak gitu ya gimana milihnya toh mas?”
“Ya tergantung… Yu ini sreg dengan partai yang mana?”
“Laah lha wong semua partai itu ngomongnya sama je mas…pasti yang bagus-bagus toh ya…”
“Nah kalo menurut yu sendiri gimana?”
“Kalau saya sih mikirnya gini mas… Nuwun sewu lho ini ya mas, bukannya mau ngajari. Tapi ini cuma pikiran saya saja. Lha wong namanya juga cuma tukang gado-gado… ya pasti lah kepinterannya cuma sebates gado-gado aja…”
“Lho… gak apa-apa toh, yu. Justru omongan wong cilik seperti Yu Lasmi ini yang malah natural. Gimana Yu? Ayo ngomong aja…”
“Kalo menurut saya… ini menurut saya lho mas…”
“Iya Yu… kita berdua ndengerin kok…” Kata seorang tamu sambil menyuapkan gado-gado ke mulutnya.
“Partai itu ndak usah banyak-banyak, mas…”
“Heem… gitu?”
“Iyo… misale dua aja, atau yaaah paling tidak tiga lah kaya dulu itu lho… Pe tiga, golkar sama PeDeI. Jadi kita nggak bingung. Itu tadi cuma contoh lho mas…”
“Heeem… Trus…”
“Nah kalau partainya cuma ada dua atau tiga… em… buat contoh aja nih mas, Indonesia ini partainya ada dua. Misalnya Partai Korek sama Partai Gunting. Nah… masing-masing partai itu maju atas dasar program kerja mas… “
“Wah Yu Lasmi ini ternyata paham juga dengan yang namanya program kerja toh yu…”
“Lah kalau saya kan ya cuma denger-denger saja kalau orang-orang ngomongin apa itu yang namanya program kerja. Program kerja itu kan Itu toh mas ya kegiatan-kegiatan gitu toh mas…?”
“Yah… kira-kira begitu lah… trus gimana yu?”
“Ya partai itu berdasarkan program kerja saja… jadi ndak usah banyak-banyak… bingung mas… yang milih nanti. Wong-wong cilik kaya saya ini kan ya kasian toh…”
“Maksud Yu Lasmi?”
“Gini… untuk masa pemerintahan lima tahun kedepan ini, misalnya Partai Korek menawarkan program kerja pembenahan pendidikan. Nah trus Partai Gunting menawarkan program pembenahan kesehatan. Nah kita masyarakat ini tinggal milih, kita cocok sama programnya siapa? Jadinya rakyat itu gak Cuma dibujuk-bujuk untuk milih aja, tapi juga diajak mikir… Negara kita ini lima tahun kedepan mau mbenahi apa? Kesehatan atau pendidikan. Nah kan rakyat malah jadi pinter toh mas, wong diajak mikir. Jadi partai itu gak usah yang muluk-muluk gede-gede maunya… yang pendidikan, ekonomi, kesehatan, agama, semua dijadikan satu, mau di pek sendiri. Ya gak ketanganan toh?”
Kedua tamu Yu Lasmi manggut-manggut.
“Kan lebih baik mbenerin satu bidang aja tapi yang bener-bener gitu lho mas… dari pada maunya ini dan itu, tapi malah bingung mau mulai dari mana.”
Kedua laki-laki itu mengernyitkan dahinya.
“Nah trus juga kita ini kan katanya Pancasila, eh tapi ngomong-ngomong kita ini masih Negara Pancasila ndak toh mas?” Yu Lasmi mengernyitkan dahinya.
“Laaah, Yu ini gimana toh? Ya masih lah”
“Ndak, saya cuma tanya saja, takut salah… siapa tau sudah diganti. Lha wong sekarang ini kok kayanya Pancasila itu sudah kurang top kaya jaman saya dulu.”
Keduanya saling pandang. Nampaknya muncul keraguan dalam raut wajah mereka. Ada benarnya juga… kemana Pancasila sekarang ya?
“Trus hubungannya dengan Pancasila opo Yu?”
“Ndak… saya melihatnya, sekarang ini kok jadi ada partai-partai untuk gplongan-golongan dan kepercayaan-kepercayaan tertentu. Wah ndak berani ah mas… nanti saya dianggap ngomongin… opo… mas… itu lho… sar..sar… gitu…
“Maksud Yu, SARA?”
“Lha… ya itu… SARA… salah omong malah warung saya digulung…”
“Ndak lah yu… ini kan cuma omong-omongan pinggir jalan aja… hayo apa yu?”
“Ndak… gini lho mas, kan lebih bagus kita ini rukun toh? Jadi ya ndak usah pake partai yang pake dasar agama-agama gitu. Soalnya agama itu artinya dalem banget je mas… urusan kita sama Gusti Allah. Yang penting kita ini hidup percaya dengan adanya Gusti Allah… mau pake jalan yang mana, itu kan pilihan kita sendiri toh ya…ndak usah bengak-bengok kita ini opo.”
“Ya… ya… trus hubungannya dengan partai tadi apa yu?”
“Ya itu tadi mas, jadi partai itu ya sifatnya umum saja, jadi malah bisa menjaring keinginan orang banyak. Ndak dibatasi. Misale… saya ini kan orang islam yo mas, tapi kalo saya tertarik sama programe partai yang bukan islam kan malah jadi keliatannya saya ini murtad toh…padahal yang saya turut itu bukan agamane tapi program partai ne… Trus misalnya, partai buruh lah, partai petani lah, partai gado-gado lah… lha nanti kan yang milih jadi Cuma sedikit toh ya mas, lha kaya saya ini pasti akan milih partai gado-gado wong saya ini tukang gado-gado… lha gimana ngitung menang kalahnya? Malah jadi Cuma sedikit toh dapet suaranya… weleeeh kan jadi bingung toh mas? Gitu maksud saya… Wis ah mas… saya tak ngelayanin tamu yang lain dulu ya…” Yu Lasmi beranjak bangun dari duduknya dan kembali menuju gerobak gado-gadonya. Meninggalkan kedua tamunya yang masih melenggong melihat sosok Yu Lasmi si penjual gado-gado dengan segala ocehan panjang lebarnya. Ya pantas saja kalau banyak orang datang ke warung gado-gado Yu Lasmi ini. Ternyata tamu-tamu tidak hanya dilayani dengan sepiring gado-gado dengan ulekan yang yahud, tetapi juga diajak mikir.
“Oh ya mas, doyan susu kedele ndak? Kalau doyan, saya kasih panjenengan berdua susu kedele bikinan ku sendiri lho…”
“Wah ya doyan banget Yu… boleh-boleh…” Jawab salah satu dari kedua tamu yang tadi asyik bincang-bincang dengannya.
“Le… tolong ambilkan susu dele nya dua ya, buat mas-mas yang itu…” teriak Yu Lasmi pada Kamal, anak laki-laki tanggung yang membantu seluruh akrifitas warungnya. Asisten kalau kata orang gedongan.
“Men, kalau orang kaya Yu Lasmi ini dapet kesempatan sekolah udah jadi professor kali ya…”
“Hehe… bisa jadi… tuh duit daripada dibuang-buang buat bikin baliho mending buat nyekolahin anak-anak di pelosok sana. Biar orang-orang makin pada pinter. Yu Lasmi aja gak sekolah bisa mikir. Apalagi kalo dikasih kesempatan sekolah…”
“Jadi kamu mau pilih mana? Partai Korek atau Gunting?”
“Aku pilih partai gado-gado aja, kalau si Yu Lasmi ini bikin partai gado-gado… “ Jawab laki-laki itu sambil menyuapkan gado-gado pamungkasnya.
Mampang, 19 Desember 2008.
Yu Lasmi si penjual gado-gado di ujung perempatan gang itu, tidak pernah kesiangan. Ia selalu sudah siap dengan segala macam sayur-mayur bahan gado-gadonya sejak matahari meletik di pagi hari dan baru kemas-kemas pulang setelah matahari mulai condong ke barat.
“Kok rajin banget sih Yu… pagi-pagi selalu sudah buka” Tanya Amin si tukang ojek, sambil menyedot rokoknya hingga kempot.
“Laaah… bang Amin ini gimana toh… orang itu kadang suka bingung cari sarapan. Pagi-pagi suka bingung cari warung, belum ada yang buka…”
“Lah, Yu… apa ya gado-gado pantes toh buat sarapan… “
“Yo pantes-pantes aja toh bang, wong buktinya orang ya antri mau pesan gado-gadoku buat sarapan juga lho…”
“Eh.. jangan salah, Min. Kalo gado-gado Yu Lasmi ini cocok-cocok aja buat makan disetiap waktu… nggeh mboten Yu? Kamu tau nggak, Min, orang nyari gado-gadonya Yu Lasmi bukan cuma karena rasanya saja, tapi gara-gara Yu Lasminya… gimana gak ngantri wong yang jualan uuuayuuuu tenan…” Sarwono ikutan bicara.
“Wezz gombal kamu Sar, kamu ngomong gitu biar dapet sarapan gratis, yo Sar”
“Mboten, Yu… ini bener. Wong saya itu kemarin, pagi-pagi nganter tamu ke daerah Tomang sana… kan jauh toh ya. Lha kok waktu mau balik, ada penumpang yang minta dianter ke sini, cuma gara-gara mau beli gado-gadonya Yu Lasmi. Waktu aku tanya, lho tau gado-gado Yu Lasmi juga toh mas? Trus dia jawab, ya tau toh mas… wong gado-gado itu gak cuma bikin kenyang perut, tapi juga bikin kenyang mata… Trus kutanya lagi… bikin kenyang mata gimana toh mas? Dia jawab lagi… lha kalo yang jual semlohe begitu kan itu namanya kenyang lahir bathin toh mas… itu dia… mantab kan? Bisa buat sangu seminggu. Min… bayangin dari Tomang lho… nyampe kesini, Cuma mau makan gado-gado sambil nontonin Yu Lasmi ngulek… weeeuedaaan tenan…”
“Lambe mu, Sar… wis kamu mau apa? Pedes atau ndak?”
“Waduuuuh Alhamdulillah… aku dapet sarapan ini? Yo jangan pedes toh Yu… wong pagi-pagi gini… bisa panas nanti perutku sampai siang…” jawab Sarwono langsung mendekat ke gerobak Yu Lasmi… Lumayan, dapat sarapan. Tapi anehnya Sarwono gak pernah tega kalau mau nge bon. Padahal Yu Lasmi sudah beberapa kali bilang kalau belum bisa bayar, bisa di catat saja dulu. Tapi ya namanya juga Sarwono, gak pernah bisa kalau gak bayar, malah kadang harga gado-gado yang cuma lima ribu tanpa telur, atau enam ribu pake telur itu bisa jadi dibayar sepuluh ribu tanpa kembali. Mantab kan? Tapi kalau tidak pake uang kembali seperti itu, Sarwono biasanya dikasih gratis krupuk, biar makan bisa jadi lebih meriah kata Yu Lasmi. Weleeh...
“Yu… gado-gadonya dua…” Pinta seorang laki-laki perlente bersama seorang temannya yang baru saja turun dari mobilnya.
“Oooh.. iya mas, pedes ndak?”
“Kamu pedes gak?” Tanyanya pada laki-laki kawannya yang sudah duduk di bangku panjang.
“Dikit…”
“Sedeng saja ya mas…kalau mas yang ini?” sambar Yu Lasmi.
“Sama in aja lah…”
“Ooh iya mas… silahkan duduk dulu. Sebentar ya saya buatkan.”
Laki-laki yang tadi berdiri disamping Yu Lasmi membuka kaleng krupuk, mengambil krupuk yang berwarna putih itu dan segera menyusul duduk dihadapan kawannya yang sudah asyik tenggelam oleh berita-berita di Koran pagi, yang diambilnya dari meja panjang. Yu Lasmi tidak pernah menyediakan koran di meja warungnya, tapi ada saja loper koran yang meletakkannya disana. Akhir bulan, entah siapa juga yang membayar tagihan korannya, sampai sekarang Yu Lasmi sendiripun tidak pernah paham.
“Walah… partai apa lagi… ini? Milih logo kok ya aneh-aneh… kepala kucing. Apa coba maknanya?” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lah biasa kan… demokrasi… semua boleh punya aspirasi. Kalau merasa aspirasi tidak terpenuhi… ya bikin partai lagi…”
“Heem… iya ya… trus kalau sudah bikin partai baru, dan gak sepaham, trus bikin partai tandingan…”
“Ya iya… kaya partai yang tadi kamu lihat… apa? Partai kucing? Kalau nanti pecah, namanya jadi Partai Kucing tandingan… seru juga lho, Men…Atas nama demokrasi toooh? Sah-sah saja…”
“ Heeeh… demokrasi kok malah jadi kaya main-mainan aja…”
“Itulah… trus masyarakat dicekokin harus milih… lha… nongol aja barusan, gimana orang bisa kenal? Pe de banget?”
“Sebentar lagi banyak muncul selebritis-selebritis baru nih… semua orang balapan masang foto diri… wah… makin bingung. Akhirnya malah milih gara-gara ganteng atau cantiknya aja, bukan karena partainya…”
“Ya bisa jadi… atau malah nggak milih sama sekali… lha wong pusing mau milih yang mana…”
“Semua partai pasti tujuannya baik toh?”
“Lha ya harus yang baik-baik toh kalau mau nyusun visi misi partai…”
“Tapi kita gak tau pelaksanaannya kaya apa…”
“Bisa jadi… itu kawan kita si Haris, kemarin bilang sama aku, setiap liat titik strategis penginnya pasang baliho foto dia gede-gede. Biar orang kenal katanya. Berapa duit itu? Trus yang dipikirin gimana caranya untuk bisa pasang foto gede-gede. Bukannya mikirin program kerja yang bisa ditawarkan demi memenuhi kebutuhan rakyat itu apa, tapi malah mikir gaya foronya gimana?”
“Eh … kalo Haris kan memang berduit, man… Biarin aja…”
“Lah trus kalau caleg-caleg yang lain itu gimana? Apa ya semua orang punya duit?”
“Ya itu resiko dia lah… pinter-pinternya dia cari sponsor… semua itu kan tergantung kepentingannya…”
“Sedih juga…”
“Kenapa harus sedih…?”
“Apa lagi kepentingannya sekarang ini… kalau nggak UUD…?
“Ujung-Ujungnya Duit maksudmu?”
“Ya iyalah… mana ada sekarang orang yang mbahas UUD itu Undang-Undang Dasar. Sekarang ini kan singkatan UUD lebih dikenal Ujung-Ujungnya Duit. Coba tanya sana sama anak SD, mana mereka tau UUD itu Undang-Undang Dasar? Wong pelajaran sekarang ini gak lagi mikirin itu. Kemajuan dan perubahan jaman katanya.”
“Iya juga ya… “
“Ya memang iya… bukan sekedar iya juga… lihat saja, berapa persen sih dari caleg-caleg itu yang bener-bener bisa njalanin program kerja sesuai dengan kebutuhan rakyat? Yang jadi targetnya kan kesejahteraan… diri sendiri maksudnya… bukan kesejahteraan rakyat. Lihat saja jumlah partai bererot begitu banyaknya. Berapa duit itu? Bikin partai kan gak kecil duitnya…? Semua aliran dana tumplek blek di situ. Bagaimana bisa mbangun Negara, wong uangnya malah muter disitu…”
“Yang katanya Pesta Demokrasi ya…”
“Ya iyalah… Berapa dana yang muter di tahun 2009 yang katanya atas nama pesta demokrasi.”
“Iya mas, mbok ya buat nambahin modal gado-gado saya aja ya mas, malah karuan. Kelihatan hasilnya. Atau buat nyekolahin anak-anak di kampung-kampung pelosok sana…” Celetuk Yu Lasmi sambil mengelap tangannya ke celemek dan siap mengangkat piring gado-gado pesanan.
“Nah… loe denger sendiri? Yu gado-gado aja cerdas… kok malah orang-orang ini balapan mau pada nge top sendiri. Ya nggak Yu?”
Yu Lasmi Cuma tersenyum sambil meletakkan piring ke hadapan kedua orang tamunya.
“Ealaaah, cerdas apanya toh mas, lha wong orang kaya saya ini kan mikirnya yang gampang-gampang aja. Buat masang foto sebesar rumah begitu ongkosnya sepuluh kali lipat dari modal saya bikin warung mas… padahal ya cuma dipasang sebentar. Selesai pemilu ya sudah harus dicopot-copot lagi. Abis itu orang sudah lali meneh… Kalau buat modal warung kaya saya gini kan bisa buat hidup sampai tua toh… Bisa buat nyekolahin anak… sukur-sukur bisa buat naik haji.”
“Nah kalo Yu sendiri mikirnya gimana?”
“Lah, lha wong sekarang ini banyak banget mas partainya. Saya malah jadi bingung. Apa itu namanya orang yang pada mau jadi anggota dewan itu?”
“Caleg… Calon Legislatif, Yu…”
“Iya… itu …. Calegnya buaaanyak banget. Mulai dari tukang kulkas sampe artis semua bisa jadi caleg. Yang penting punya duit toh mas, supaya bisa pasang-pasang foto kaya gitu itu.”
Kedua tamu Yu Lasmi manggut-manggut. Tanpa ragu yu Lasmi kemudian ikut duduk di bangku panjang warungnya.
“Waah… aneh kok mas, kalo jaman saya kecil dulu, kita gak pernah tau siapa anggota dewannya. Sekarang ini foto-foto dipajang-pajang, tapi ya tetep juga kita ndak kenal siapa dia. Lha yang untung kan ya artis-artis itu toh ya mas. Mending jadi artis dulu aja baru ikutan nyalon jadi caleg. Jadinya sudah pasti menang toh? Nah… Kalo sudah menang trus bingung kalo dah disuruh kerja, lha wong biasanya cuma baca scenario bikinan orang, trus acting di depan kamera, sekarang disuruh beneran mikir sendiri. Opo yo iso kuwi? Jangan-jangan dia merasa lagi acting di depan kamera. Lah ini kehidupan nyata je… bukan cuma sekedar dongeng, Trus yang memang sudah sekolah tentang ilmu pemerintahan mau pada jadi apa ya mas?”
“Ya itu yang namanya demokrasi, yu. Semua mempunyai hak yang sama untuk memilih dan dipilih.”
“Lha kalo partainya sebanyak gitu ya gimana milihnya toh mas?”
“Ya tergantung… Yu ini sreg dengan partai yang mana?”
“Laah lha wong semua partai itu ngomongnya sama je mas…pasti yang bagus-bagus toh ya…”
“Nah kalo menurut yu sendiri gimana?”
“Kalau saya sih mikirnya gini mas… Nuwun sewu lho ini ya mas, bukannya mau ngajari. Tapi ini cuma pikiran saya saja. Lha wong namanya juga cuma tukang gado-gado… ya pasti lah kepinterannya cuma sebates gado-gado aja…”
“Lho… gak apa-apa toh, yu. Justru omongan wong cilik seperti Yu Lasmi ini yang malah natural. Gimana Yu? Ayo ngomong aja…”
“Kalo menurut saya… ini menurut saya lho mas…”
“Iya Yu… kita berdua ndengerin kok…” Kata seorang tamu sambil menyuapkan gado-gado ke mulutnya.
“Partai itu ndak usah banyak-banyak, mas…”
“Heem… gitu?”
“Iyo… misale dua aja, atau yaaah paling tidak tiga lah kaya dulu itu lho… Pe tiga, golkar sama PeDeI. Jadi kita nggak bingung. Itu tadi cuma contoh lho mas…”
“Heeem… Trus…”
“Nah kalau partainya cuma ada dua atau tiga… em… buat contoh aja nih mas, Indonesia ini partainya ada dua. Misalnya Partai Korek sama Partai Gunting. Nah… masing-masing partai itu maju atas dasar program kerja mas… “
“Wah Yu Lasmi ini ternyata paham juga dengan yang namanya program kerja toh yu…”
“Lah kalau saya kan ya cuma denger-denger saja kalau orang-orang ngomongin apa itu yang namanya program kerja. Program kerja itu kan Itu toh mas ya kegiatan-kegiatan gitu toh mas…?”
“Yah… kira-kira begitu lah… trus gimana yu?”
“Ya partai itu berdasarkan program kerja saja… jadi ndak usah banyak-banyak… bingung mas… yang milih nanti. Wong-wong cilik kaya saya ini kan ya kasian toh…”
“Maksud Yu Lasmi?”
“Gini… untuk masa pemerintahan lima tahun kedepan ini, misalnya Partai Korek menawarkan program kerja pembenahan pendidikan. Nah trus Partai Gunting menawarkan program pembenahan kesehatan. Nah kita masyarakat ini tinggal milih, kita cocok sama programnya siapa? Jadinya rakyat itu gak Cuma dibujuk-bujuk untuk milih aja, tapi juga diajak mikir… Negara kita ini lima tahun kedepan mau mbenahi apa? Kesehatan atau pendidikan. Nah kan rakyat malah jadi pinter toh mas, wong diajak mikir. Jadi partai itu gak usah yang muluk-muluk gede-gede maunya… yang pendidikan, ekonomi, kesehatan, agama, semua dijadikan satu, mau di pek sendiri. Ya gak ketanganan toh?”
Kedua tamu Yu Lasmi manggut-manggut.
“Kan lebih baik mbenerin satu bidang aja tapi yang bener-bener gitu lho mas… dari pada maunya ini dan itu, tapi malah bingung mau mulai dari mana.”
Kedua laki-laki itu mengernyitkan dahinya.
“Nah trus juga kita ini kan katanya Pancasila, eh tapi ngomong-ngomong kita ini masih Negara Pancasila ndak toh mas?” Yu Lasmi mengernyitkan dahinya.
“Laaah, Yu ini gimana toh? Ya masih lah”
“Ndak, saya cuma tanya saja, takut salah… siapa tau sudah diganti. Lha wong sekarang ini kok kayanya Pancasila itu sudah kurang top kaya jaman saya dulu.”
Keduanya saling pandang. Nampaknya muncul keraguan dalam raut wajah mereka. Ada benarnya juga… kemana Pancasila sekarang ya?
“Trus hubungannya dengan Pancasila opo Yu?”
“Ndak… saya melihatnya, sekarang ini kok jadi ada partai-partai untuk gplongan-golongan dan kepercayaan-kepercayaan tertentu. Wah ndak berani ah mas… nanti saya dianggap ngomongin… opo… mas… itu lho… sar..sar… gitu…
“Maksud Yu, SARA?”
“Lha… ya itu… SARA… salah omong malah warung saya digulung…”
“Ndak lah yu… ini kan cuma omong-omongan pinggir jalan aja… hayo apa yu?”
“Ndak… gini lho mas, kan lebih bagus kita ini rukun toh? Jadi ya ndak usah pake partai yang pake dasar agama-agama gitu. Soalnya agama itu artinya dalem banget je mas… urusan kita sama Gusti Allah. Yang penting kita ini hidup percaya dengan adanya Gusti Allah… mau pake jalan yang mana, itu kan pilihan kita sendiri toh ya…ndak usah bengak-bengok kita ini opo.”
“Ya… ya… trus hubungannya dengan partai tadi apa yu?”
“Ya itu tadi mas, jadi partai itu ya sifatnya umum saja, jadi malah bisa menjaring keinginan orang banyak. Ndak dibatasi. Misale… saya ini kan orang islam yo mas, tapi kalo saya tertarik sama programe partai yang bukan islam kan malah jadi keliatannya saya ini murtad toh…padahal yang saya turut itu bukan agamane tapi program partai ne… Trus misalnya, partai buruh lah, partai petani lah, partai gado-gado lah… lha nanti kan yang milih jadi Cuma sedikit toh ya mas, lha kaya saya ini pasti akan milih partai gado-gado wong saya ini tukang gado-gado… lha gimana ngitung menang kalahnya? Malah jadi Cuma sedikit toh dapet suaranya… weleeeh kan jadi bingung toh mas? Gitu maksud saya… Wis ah mas… saya tak ngelayanin tamu yang lain dulu ya…” Yu Lasmi beranjak bangun dari duduknya dan kembali menuju gerobak gado-gadonya. Meninggalkan kedua tamunya yang masih melenggong melihat sosok Yu Lasmi si penjual gado-gado dengan segala ocehan panjang lebarnya. Ya pantas saja kalau banyak orang datang ke warung gado-gado Yu Lasmi ini. Ternyata tamu-tamu tidak hanya dilayani dengan sepiring gado-gado dengan ulekan yang yahud, tetapi juga diajak mikir.
“Oh ya mas, doyan susu kedele ndak? Kalau doyan, saya kasih panjenengan berdua susu kedele bikinan ku sendiri lho…”
“Wah ya doyan banget Yu… boleh-boleh…” Jawab salah satu dari kedua tamu yang tadi asyik bincang-bincang dengannya.
“Le… tolong ambilkan susu dele nya dua ya, buat mas-mas yang itu…” teriak Yu Lasmi pada Kamal, anak laki-laki tanggung yang membantu seluruh akrifitas warungnya. Asisten kalau kata orang gedongan.
“Men, kalau orang kaya Yu Lasmi ini dapet kesempatan sekolah udah jadi professor kali ya…”
“Hehe… bisa jadi… tuh duit daripada dibuang-buang buat bikin baliho mending buat nyekolahin anak-anak di pelosok sana. Biar orang-orang makin pada pinter. Yu Lasmi aja gak sekolah bisa mikir. Apalagi kalo dikasih kesempatan sekolah…”
“Jadi kamu mau pilih mana? Partai Korek atau Gunting?”
“Aku pilih partai gado-gado aja, kalau si Yu Lasmi ini bikin partai gado-gado… “ Jawab laki-laki itu sambil menyuapkan gado-gado pamungkasnya.
Mampang, 19 Desember 2008.
04 October 2008
Mengenang seorang MOERDOPO 3
15 Tahun kemudian, kujawab tulisan mas Wahyu Wibowo dengan goresan penaku, dalam sebuah acara peringatan kepergiannya....
Kubayangkan bagaimana rasa ibuku dalam usia rentanya, seorang diri bersama kami garuda-garuda buah cintanya....
"GARUDA TUAKU.......
Lereng gunung itu masih tetap pekat dan dingin.....
Dingin telah menyampaikan rindumu pada GARUDA CINTAMU ....
pekat juga telah menyampaikan rindumu pada GARUDA-GARUDA KECILMU....
KINI......
GARUDA CINTAMU masih disini.... masih tetap mencintaimu tanpa terbagi.....
Lihatlah kami saat ini....... GARUDA-GARUDA KECILMU dulu......
saat ini telah menjadi GARUDA-GARUDA PERKASA....
yang siap untuk terus menjaga GARUDA CINTAMU......
yang siap untuk mulai mengepakkan sayap, terbang tinggi melesat, menggantikan pertempuranmu .....
karena kami selalu.... punya kobaran apimu di dada.....
; kita tetap saling menyinta.....
( EM ; media 2005 )
Lereng gunung itu masih tetap pekat dan dingin.....
Dingin telah menyampaikan rindumu pada GARUDA CINTAMU ....
pekat juga telah menyampaikan rindumu pada GARUDA-GARUDA KECILMU....
KINI......
GARUDA CINTAMU masih disini.... masih tetap mencintaimu tanpa terbagi.....
Lihatlah kami saat ini....... GARUDA-GARUDA KECILMU dulu......
saat ini telah menjadi GARUDA-GARUDA PERKASA....
yang siap untuk terus menjaga GARUDA CINTAMU......
yang siap untuk mulai mengepakkan sayap, terbang tinggi melesat, menggantikan pertempuranmu .....
karena kami selalu.... punya kobaran apimu di dada.....
; kita tetap saling menyinta.....
( EM ; media 2005 )
Bapak dan ibuku....
adalah segalanya untukku.....
Mengenang seorang MOERDOPO 2
Walaupun binatang favoritnya adalah KUDA, namun bapak selalu membahasakan dirinya sebagai seekor GARUDA.....
Lonely Eagle.... itu adalah simbol dirinya......
Oleh karenanya pada saat kepergiannya, mas Wahyu Wibowo menulis serangkai kata, sebagai ucapan selamat jalan baginya.....
"di lereng gunung itu
pada senja berkabut yang pekat dan dingin
sang Garuda tak kuasa lagi mengepakkan sayapnya
tubuhnya lunglai, bola matanya meredup.... diam
“ aku ingin terus terbang....... meneruskan pertempuran..... tapi.....
itu tak mungkin, karena nyanyian pada dewa terdengar...... begitu dekat.
Katakanlah pada dingin..... betapa aku rindukan GARUDA CINTAKU....
Katakanlah pada pekat..... betapa aku rindukan GARUDA-GARUDA KECILKU.....
Aku masih punya kobaran api di dadaku.....
yang ingin kuberikan pada mereka........“
; kita tetap saling menyinta.....
(WW ; media 1990 )
Kenangan akanmu tak akan terhapus oleh waktu....
Mengenang seorang MOERDOPO 1
Pringgondani TAWANGMANGU, di lereng Gunung Lawu...
Tanggal 26 Februari 1990, seorang MOERDOPO terkulai lemah dan menghadap Sang Khalik....
Tepat dilokasi inilah ayahku mangkat, 18 tahun yanga lalu.
Perjalanan hidup bersamanya terhenti dengan begitu tiba-tiba. Tanpa ada pertanda yang aku rasakan.
Semua sirna dengan begitu cepatnya.....
Ditempat ini.... Pringgondani, di Lereng Gunung Lawu
30 September 2008
19 September 2008
Sebuah perjalanan dalam lorong kepenulisan
Seperti yang dikatakan seorang kawan dari Banda Aceh, bahwa dia tidak menyangka bahwa tulisan yang pernah kusodorkan padanya pada suatu hari, kini telah menjadi sebuah buku. Komentarnya singkat namun bagiku, ungkapan itu adalah ungkapan yang sangat objetif dan spontan dari seorang kawan yang baru kukenal di tanah Aceh. "Akhirnya, jadi juga barang itu.Saat saya baca prolog dulu, sempat terpikir bahwa tulisan itu bukan garapan serius.Cuma mencoba menghilangkan rasa suntuk di wilayah yg sdg "sakit"." Kurasa wajar saja dia berkomentar itu, karena memang dia mengenalku bukan sebagai seorang penulis atau paling tidak gemar menulis.
Jangankan dia, aku sendiri pun tidak menyangka bahwa akhirnya aku memasuki sebuah koridor baru dalam dunia tulis menulis, yang sebenarnya dari dulu sudah kulakukan.
apa yang terjadi dulu???
Sejak SD, aku memang sudah sering mencorat-coret kertas dengan cerita-cerita pendek yang kemudian kertas itu hilang, terbang tertiup angin tanpa sempat kuselesaikan. Mengapa begitu? aku pun tidak tahu secara pasti, apakah karena terlalu liarnya imaginasi, sehingga otakku yang kecil ini tidak sanggup menampung ribuan hal indah yang sebenarnya dapat kuungkapkan dalam sebuah rangkaian kata. Atau karena "keset" (malas;dalam bahasa jawa) yang sering diteriakkan ibuku, untuk menulis. Atau juga karena pada saat itu, banyak hal yang lebih menarik untuk kulakukan, sehingga imajinasi dan kreatifitasku untuk merangkai kata menjadi mendua.
Tapi ternyata tidak ada kata terlambat !!!!
Setelah melalui perjalanan panjang kehidupan dalam kurun waktu yang tidak singkat. Juga dengan berjuta pengalaman hidup yang beraneka warna yang juga sempat kujalani, kualami dan mungkin juga kunikmati.... ditanah seberang yang tidak pernah kuduga pula yaitu Aceh... aku mulai menangkap kata-kata yang tadinya hanya terbang-terbang disekelilingku, mengumpulkannya dan kemudian merangkainya dalam sebuah karya yang kemudian bisa bermakna dalam hidupku.
Kini, namaku sebagai seorang penulis sudah mulai muncul... paling tidak di toko buku Gramedia, sebaris namaku sudah mulai terbaca orang. Baik yang sengaja mencari, sengaja melihat, atau tidak sengaja, atau sambil lalu, atau terbaca tapi tidak sangkut di pikiran, karena memang bukan bukuku yang dituju. Tidak apa-apa.... ini sebuah rintisan baru dalam sejarah hidup diusiaku ke 40 tahun.... Tidak muda lagi.... Kadang menyesal juga kenapa baru diusiaku tepat 40 tahun, baru jadi barang itu....
Kembali kukatakan ... Tidak ada kata terlambat... !!!
Saat bukuku sedang dalam proses penerbitan, ada rasa gamang juga dalam diriku.... apakah buku ini dapat diterima oleh calon pembacaku nanti? Bagus atau tidak? menarik atau sampah? Pergumulan hebat telah terjadi padaku saat itu. Mungkin itu wajar, karena ini adalah tulisan pertamaku yang akan diterbitkan oleh sebuah kelompok penerbitan yang di labelkan "bergengsi" yaitu GRASINDO. Banyak juga yang mengomentari kehebatanku, bahwa tulisanku bisa diterima oleh kelompok penerbitan GRAMEDIA. Memang sudah rejekiku.... seperti kata orang tua-tua dan sampai saat ini masih menjadi pegangan.... "Rejeki nggak kemana..."
Saat ini bukuku sudah mulai beredar, dan bagiku sangat mengharukan karena kegamangan yang terjadi sebelum buku itu terbit sirna. Mengapa? karena sebagian besar pembaca memberikan tanggapan yang luar biasa..... Positif dan sangat membangun.... Hingga pada suatu malam, kubolak-balik lagi lembar demi lembar tulisanku.... PEREMPUAN KEUMALA.... hingga akhirnya tersadar olehku buku itu tetap dalam dekapanku hingga pagi menjelang.... "Ya Tuhan... terima kasih banyak".
Mudah-mudahan bukuku ini, dapat mem"virus"i para calon pembaca untuk menjadi pembaca, untuk kemudian dapat memaknai tulisanku sebagai sebuah tambahan warna dalam kehidupan pembacaku.... itu sungguh harapanku.
Bukan waktunya lagi aku untuk berdiam diri, karena aku harus mulai mempersiapkan segala sesuatunya untuk karyaku berikutnya... Identitas baru, baru saja tersemat dipundakku. Oleh karenanya aku harus semakin banyak membekali diri, agar semakin mantab kiranya langkahku melaju.
Seperti kata Adi, seorang sobatku "mbak, loe dah buka pintu. Sekarang waktunya untuk mulai menapaki sebuah lorong baru yaitu lorong kepenulisan...."
Salam
Endang Moerdopo
Jangankan dia, aku sendiri pun tidak menyangka bahwa akhirnya aku memasuki sebuah koridor baru dalam dunia tulis menulis, yang sebenarnya dari dulu sudah kulakukan.
apa yang terjadi dulu???
Sejak SD, aku memang sudah sering mencorat-coret kertas dengan cerita-cerita pendek yang kemudian kertas itu hilang, terbang tertiup angin tanpa sempat kuselesaikan. Mengapa begitu? aku pun tidak tahu secara pasti, apakah karena terlalu liarnya imaginasi, sehingga otakku yang kecil ini tidak sanggup menampung ribuan hal indah yang sebenarnya dapat kuungkapkan dalam sebuah rangkaian kata. Atau karena "keset" (malas;dalam bahasa jawa) yang sering diteriakkan ibuku, untuk menulis. Atau juga karena pada saat itu, banyak hal yang lebih menarik untuk kulakukan, sehingga imajinasi dan kreatifitasku untuk merangkai kata menjadi mendua.
Tapi ternyata tidak ada kata terlambat !!!!
Setelah melalui perjalanan panjang kehidupan dalam kurun waktu yang tidak singkat. Juga dengan berjuta pengalaman hidup yang beraneka warna yang juga sempat kujalani, kualami dan mungkin juga kunikmati.... ditanah seberang yang tidak pernah kuduga pula yaitu Aceh... aku mulai menangkap kata-kata yang tadinya hanya terbang-terbang disekelilingku, mengumpulkannya dan kemudian merangkainya dalam sebuah karya yang kemudian bisa bermakna dalam hidupku.
Kini, namaku sebagai seorang penulis sudah mulai muncul... paling tidak di toko buku Gramedia, sebaris namaku sudah mulai terbaca orang. Baik yang sengaja mencari, sengaja melihat, atau tidak sengaja, atau sambil lalu, atau terbaca tapi tidak sangkut di pikiran, karena memang bukan bukuku yang dituju. Tidak apa-apa.... ini sebuah rintisan baru dalam sejarah hidup diusiaku ke 40 tahun.... Tidak muda lagi.... Kadang menyesal juga kenapa baru diusiaku tepat 40 tahun, baru jadi barang itu....
Kembali kukatakan ... Tidak ada kata terlambat... !!!
Saat bukuku sedang dalam proses penerbitan, ada rasa gamang juga dalam diriku.... apakah buku ini dapat diterima oleh calon pembacaku nanti? Bagus atau tidak? menarik atau sampah? Pergumulan hebat telah terjadi padaku saat itu. Mungkin itu wajar, karena ini adalah tulisan pertamaku yang akan diterbitkan oleh sebuah kelompok penerbitan yang di labelkan "bergengsi" yaitu GRASINDO. Banyak juga yang mengomentari kehebatanku, bahwa tulisanku bisa diterima oleh kelompok penerbitan GRAMEDIA. Memang sudah rejekiku.... seperti kata orang tua-tua dan sampai saat ini masih menjadi pegangan.... "Rejeki nggak kemana..."
Saat ini bukuku sudah mulai beredar, dan bagiku sangat mengharukan karena kegamangan yang terjadi sebelum buku itu terbit sirna. Mengapa? karena sebagian besar pembaca memberikan tanggapan yang luar biasa..... Positif dan sangat membangun.... Hingga pada suatu malam, kubolak-balik lagi lembar demi lembar tulisanku.... PEREMPUAN KEUMALA.... hingga akhirnya tersadar olehku buku itu tetap dalam dekapanku hingga pagi menjelang.... "Ya Tuhan... terima kasih banyak".
Mudah-mudahan bukuku ini, dapat mem"virus"i para calon pembaca untuk menjadi pembaca, untuk kemudian dapat memaknai tulisanku sebagai sebuah tambahan warna dalam kehidupan pembacaku.... itu sungguh harapanku.
Bukan waktunya lagi aku untuk berdiam diri, karena aku harus mulai mempersiapkan segala sesuatunya untuk karyaku berikutnya... Identitas baru, baru saja tersemat dipundakku. Oleh karenanya aku harus semakin banyak membekali diri, agar semakin mantab kiranya langkahku melaju.
Seperti kata Adi, seorang sobatku "mbak, loe dah buka pintu. Sekarang waktunya untuk mulai menapaki sebuah lorong baru yaitu lorong kepenulisan...."
Salam
Endang Moerdopo
10 September 2008
Ungkapan Rasa Terima Kasih
Alhamdulillah, akhirnya tiba juga waktu yang sangat mendebarkan itu.
Dengan penuh kebanggaan, aku bisa mempersembahkan karyaku ini bagi pembaca semua.
Kini PEREMPUAN KEUMALA telah lahir, sebagai sebuah tanda kasihku pada bangsaku dan tumpah darahku, Indonesia tercinta.
Dan sejak ini pula, PEREMPUAN KEUMALA bukan hanya milik masyarakat Aceh saja, namun juga milik masyarakat Indonesia, bahkan milik dunia. Semoga kita bisa meneladani nilai-nilai perjuangan yang telah dibuktikannya bagi tanah tercinta.
PEREMPUAN KEUMALA, juga kupersembahkan kepada pembaca tercinta saudara-saudaraku di tanah Nanggroe. Ini adalah hasil jerih payahku selama aku berada disana. Hasil ini tak akan pernah habis dimakan waktu. Bagiku tulisan ini adalah abadi seumur hidupku.
Ini bukan sebuah akhir, namun ini adalah tonggak awal aku harus memulai lagi kerja kerasku untuk langkah selanjutnya.
Terima kasih banyak atas semua dukungannya, baik moril maupun materiil.
Salam.
Endang Moerdopo
Dengan penuh kebanggaan, aku bisa mempersembahkan karyaku ini bagi pembaca semua.
Kini PEREMPUAN KEUMALA telah lahir, sebagai sebuah tanda kasihku pada bangsaku dan tumpah darahku, Indonesia tercinta.
Dan sejak ini pula, PEREMPUAN KEUMALA bukan hanya milik masyarakat Aceh saja, namun juga milik masyarakat Indonesia, bahkan milik dunia. Semoga kita bisa meneladani nilai-nilai perjuangan yang telah dibuktikannya bagi tanah tercinta.
PEREMPUAN KEUMALA, juga kupersembahkan kepada pembaca tercinta saudara-saudaraku di tanah Nanggroe. Ini adalah hasil jerih payahku selama aku berada disana. Hasil ini tak akan pernah habis dimakan waktu. Bagiku tulisan ini adalah abadi seumur hidupku.
Ini bukan sebuah akhir, namun ini adalah tonggak awal aku harus memulai lagi kerja kerasku untuk langkah selanjutnya.
Terima kasih banyak atas semua dukungannya, baik moril maupun materiil.
Salam.
Endang Moerdopo
23 August 2008
Apresiasi dari seorang Arswendo Atmowiloto
Aku tercengang saat mas Wendo dengan begitu lancar menceritakan kembali bab 7 dari tulisanku PEREMPUAN KEUMALA. Dengan gaya bicaranya yang keras namun lugas beliau mengatakan bahwa aku mampu dengan baik dan detil menggambarkan gejolak suasana hati Keumala. Beberapa kali mas Wendo mengulang kembali menceritakan tentang bagaimana ikan-ikan dan angsa-angsa yang berkejaran di kolam istana.... baginya bagian itu merupakan bagian yang paling menyentuh dan DAHSYAT...!!!
Mengapa aku tercengang? Karena pernyataan itu muncul dari seorang ARSWENDO ATMOWILOTO ; seorang budayawan kawakan yang tentu tidak sembarangan bagi orang sekelas beliau memberikan ulasan untuk ku yang notabene seorang pemula. Walaupun adapula kelemahan yang beliau sampaikan, namun bagiku itu justru merupakan sebuah masukan yang sungguh sangat membangun.
Moody... itu adalah komentarnya saat membaca tulisanku. "Emosimu tidak stabil" tambahnya lagi. Yaaah... begitulah kira-kira aku. Dengan "sharp" beliau langsung menembak sisi ruang hatiku yang terdalam. Aku mengangguk membenarkan.
Dalam kesempatan ini, kepada yang terhormat, mas Wendo.... sekali lagi terima kasih banyak atas apresiasi yang sangat tinggi dan atas berkenannya memberikan ulasan atas karya PERDANA ku.
Juga atas buku barunya yang berjudul "BLAKANIS" yang diserahkan padaku dengan tak lupa membubuhkan tanda tangannya, serta sebuah tulisan DAHSYAT untukku :
" Salam buat CUT ENDANG MOERDOPO" dari sesama pengarang..... "
Sebuah pengakuan yang sungguh luar biasa dari seorang ARSWENDO ATMOWILOTO untuk seorang pendatang baru ENDANG MOERDOPO.
Matur Nuwun Sanget mas.....
22 August 2008
Dream Come True
Selembar undangan kini ada di tanganku. Oooh My GOD.... Mimpikah aku....? Ternyata tidak... aku tidak sedang bermimpi.
Dua tahun bukan waktu yang pendek... namun juga bukan waktu yang panjang untuk sebuah kesempurnaan....
Semua berpulang kepada pembaca....
Aku sudah terlalu banyak bicara melalui buku ini, oleh karenanya mohon tanggapan dan masukannya untuk memperkaya warna...
Mohon doa restu atas segala daya dan upaya yang telah kulakukan untuk menyumbangkan sedikit warna, bagi NANGGROE tercinta.....
Sekaligus mohon kehadirannya untuk lebih menghidupkan kobaran jiwa yang kini sedang menyala di dalam dada.....
Saleum
Endang Moerdopo
Dua tahun bukan waktu yang pendek... namun juga bukan waktu yang panjang untuk sebuah kesempurnaan....
Semua berpulang kepada pembaca....
Aku sudah terlalu banyak bicara melalui buku ini, oleh karenanya mohon tanggapan dan masukannya untuk memperkaya warna...
Mohon doa restu atas segala daya dan upaya yang telah kulakukan untuk menyumbangkan sedikit warna, bagi NANGGROE tercinta.....
Sekaligus mohon kehadirannya untuk lebih menghidupkan kobaran jiwa yang kini sedang menyala di dalam dada.....
Saleum
Endang Moerdopo
Persembahan untuk NANGRROE tercinta
Judul : PEREMPUAN KEUMALA ; Sebuah EPOS untuk NANGGROE
Ukuran buku : 14 x 20 cm
Jumlah Halaman : 360 halaman
Penerbit : PT. GRAMEDIA WIDIASARANA INDONESIA (GRASINDO)
Harga : Rp. 52,000,-
Peluncuran Buku : Tanggal 27 Agustus 2008, di Toko Buku GRAMEDIA Matraman, Pukul 16 - 18 WIB.
SINOPSIS
Prolog dalam cerita ini menggambarkan pengalaman Hira, seorang pekerja sosial yang sedang bertugas di Nanggroe Aceh Darussalam pasca bencana. Kekagumannya pada pahlawan perempuan Keumalahayati membuatnya ingin menggali lebih jauh siapa sosok perempuan itu. Keprihatinan atas kurangnya penghargaan generasi muda saat ini kepada Laksamana Malahayati, membawanya masuk dalam kehidupan Laksamana perempuan itu.
Cerita dalam buku ini dimulai sejak Keumalahayati masih menjalani pendidikan di tempat belajar militer kerajaan yaitu Mahad Baitul Maqdis. Tempat inilah yang mencetak para perwira tangguh yang memperkuat pertahanan Kerajaan Aceh Darussalam. Di tempat belajar ini pulalah Keumalahayati bertemu dengan Tuanku Mahmuddin Bin Said Al Latief taruna senior yang kemudian menjadi suaminya.
Setelah lulus dari tempat pendidikan militer tersebut, keduanya menikah dan mereka mengabdikan diri menjadi pejabat tinggi kerajaan. Tuanku Mahmuddin Bin Said Al Latief menjadi Panglima Armada Selat Malaka dan Keumalahayati menjadi Komandan Protokol Istana. Kisah sepak terjang keberanian Keumalahayati di kerajaan Darud Donya Darussalam berawal dari kematian suaminya yang tewas dalam pertempuran di teluk Haru. Tak lama setelah kematian suaminya, Keumalahayati harus lagi mengalami cobaan yang disebabkan oleh penculikan putri tunggal tercintanya yang dilakukan oleh sesama petinggi kerajaan.
Sejalan dengan malapetaka yang terus menerus menderanya, membuat Keumala tak mampu untuk menjalankan tugas dengan baik. Hal ini disebabkan karena kekacauan yang terjadi di tanah nanggroe, baik dari luar kerajaan, antara lain karena para orang kaya yang bersekutu dengan Portugis pendatang yang hanya mencari keuntungan diri sendiri, maupun dari dalam lingkungan kerajaan, yaitu rencana kudeta yang akan dilakukan oleh Sultan Muda, putra Baginda Sultan sendiri.
Pada masa-masa kesedihannya inilah yang membuat Keumala seakan menjadi putus asa, dan situasi ini dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kepentingan untuk melenyapkan Keumala. Mereka mengirimkan mantera Tapak Tuan (mantera yang membuat orang menjadi tak berdaya) agar Keumala dipecat dari Kerajaan. Namun Keumala adalah seorang yang kuat, baik secara fisik maupun keimanan, maka dengan segera mantera yang sempat mempengaruhinya tersebut hilang dan Keumala menyadari keadaan negerinya yang semakin kacau dan carut marut.
Berangkat dari rasa tanggung jawab dan rasa kehilangan inilah yang memacunya untuk bangkit berdiri membela negeri sekaligus membela kebenaran, dengan membentuk ARMADA INONG BALEE (Armada janda) yang semuanya terdiri dari kaum perempuan yang telah menjadi janda, karena suami-suami mereka tewas dalam pertempuran di teluk Haru, yang juga menewaskan suami Keumalahayati. Selama memimpin Armada Inong Balee, Keumalahayati telah mampu unjuk gigi dengan melenyapkan siapa saja yang berani melawan daulat (perintah) Baginda Sultan. Seluk beluk kehidupan kekacauan yang disebabkan oleh intrik-intrik yang terjadi di Kerajaan Aceh Darussalam justru semakin membuat Laksamana Keumalahayati menjadi sosok manusia yang tegar, tangguh dan seakan tanpa hati. Sementara jauh dibalik semua itu, ia tetaplah seorang manusia biasa, perempuan biasa, yang juga memiliki kasih, memiliki cinta dan memiliki naluri seorang ibu. Cerita dalam novel ini ditutup dengan perkelahian sengit antara Laksamana Keumalahayati dengan pendatang Belanda pertama di Nusantara yaitu Cornelis De Houtman dengan kemenangan berada di pihak Laksamana Keumalahayati. Ia berhasil membunuhnya melalui pertempuran satu lawan satu diatas geladak kapal.
Dalam Epilog digambarkan keprihatinan Laksamana Malahayati terhadap Nanggroe Aceh Darussalam yang saat ini seakan telah porak poranda, sejak konflik hingga bencana besar gempa bumi dan tsunami yang telah membuat sendi-sendi kehidupan seakan luluh rantak. Melalui titian waktu sosok Laksamana Keumalahayati ingin meneriakkan semangat perjuangan kepada seluruh manusia yang seakan tertidur dalam tenang, sementara kehidupan tetap harus diperjuangkan.
Ukuran buku : 14 x 20 cm
Jumlah Halaman : 360 halaman
Penerbit : PT. GRAMEDIA WIDIASARANA INDONESIA (GRASINDO)
Harga : Rp. 52,000,-
Peluncuran Buku : Tanggal 27 Agustus 2008, di Toko Buku GRAMEDIA Matraman, Pukul 16 - 18 WIB.
SINOPSIS
Prolog dalam cerita ini menggambarkan pengalaman Hira, seorang pekerja sosial yang sedang bertugas di Nanggroe Aceh Darussalam pasca bencana. Kekagumannya pada pahlawan perempuan Keumalahayati membuatnya ingin menggali lebih jauh siapa sosok perempuan itu. Keprihatinan atas kurangnya penghargaan generasi muda saat ini kepada Laksamana Malahayati, membawanya masuk dalam kehidupan Laksamana perempuan itu.
Cerita dalam buku ini dimulai sejak Keumalahayati masih menjalani pendidikan di tempat belajar militer kerajaan yaitu Mahad Baitul Maqdis. Tempat inilah yang mencetak para perwira tangguh yang memperkuat pertahanan Kerajaan Aceh Darussalam. Di tempat belajar ini pulalah Keumalahayati bertemu dengan Tuanku Mahmuddin Bin Said Al Latief taruna senior yang kemudian menjadi suaminya.
Setelah lulus dari tempat pendidikan militer tersebut, keduanya menikah dan mereka mengabdikan diri menjadi pejabat tinggi kerajaan. Tuanku Mahmuddin Bin Said Al Latief menjadi Panglima Armada Selat Malaka dan Keumalahayati menjadi Komandan Protokol Istana. Kisah sepak terjang keberanian Keumalahayati di kerajaan Darud Donya Darussalam berawal dari kematian suaminya yang tewas dalam pertempuran di teluk Haru. Tak lama setelah kematian suaminya, Keumalahayati harus lagi mengalami cobaan yang disebabkan oleh penculikan putri tunggal tercintanya yang dilakukan oleh sesama petinggi kerajaan.
Sejalan dengan malapetaka yang terus menerus menderanya, membuat Keumala tak mampu untuk menjalankan tugas dengan baik. Hal ini disebabkan karena kekacauan yang terjadi di tanah nanggroe, baik dari luar kerajaan, antara lain karena para orang kaya yang bersekutu dengan Portugis pendatang yang hanya mencari keuntungan diri sendiri, maupun dari dalam lingkungan kerajaan, yaitu rencana kudeta yang akan dilakukan oleh Sultan Muda, putra Baginda Sultan sendiri.
Pada masa-masa kesedihannya inilah yang membuat Keumala seakan menjadi putus asa, dan situasi ini dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kepentingan untuk melenyapkan Keumala. Mereka mengirimkan mantera Tapak Tuan (mantera yang membuat orang menjadi tak berdaya) agar Keumala dipecat dari Kerajaan. Namun Keumala adalah seorang yang kuat, baik secara fisik maupun keimanan, maka dengan segera mantera yang sempat mempengaruhinya tersebut hilang dan Keumala menyadari keadaan negerinya yang semakin kacau dan carut marut.
Berangkat dari rasa tanggung jawab dan rasa kehilangan inilah yang memacunya untuk bangkit berdiri membela negeri sekaligus membela kebenaran, dengan membentuk ARMADA INONG BALEE (Armada janda) yang semuanya terdiri dari kaum perempuan yang telah menjadi janda, karena suami-suami mereka tewas dalam pertempuran di teluk Haru, yang juga menewaskan suami Keumalahayati. Selama memimpin Armada Inong Balee, Keumalahayati telah mampu unjuk gigi dengan melenyapkan siapa saja yang berani melawan daulat (perintah) Baginda Sultan. Seluk beluk kehidupan kekacauan yang disebabkan oleh intrik-intrik yang terjadi di Kerajaan Aceh Darussalam justru semakin membuat Laksamana Keumalahayati menjadi sosok manusia yang tegar, tangguh dan seakan tanpa hati. Sementara jauh dibalik semua itu, ia tetaplah seorang manusia biasa, perempuan biasa, yang juga memiliki kasih, memiliki cinta dan memiliki naluri seorang ibu. Cerita dalam novel ini ditutup dengan perkelahian sengit antara Laksamana Keumalahayati dengan pendatang Belanda pertama di Nusantara yaitu Cornelis De Houtman dengan kemenangan berada di pihak Laksamana Keumalahayati. Ia berhasil membunuhnya melalui pertempuran satu lawan satu diatas geladak kapal.
Dalam Epilog digambarkan keprihatinan Laksamana Malahayati terhadap Nanggroe Aceh Darussalam yang saat ini seakan telah porak poranda, sejak konflik hingga bencana besar gempa bumi dan tsunami yang telah membuat sendi-sendi kehidupan seakan luluh rantak. Melalui titian waktu sosok Laksamana Keumalahayati ingin meneriakkan semangat perjuangan kepada seluruh manusia yang seakan tertidur dalam tenang, sementara kehidupan tetap harus diperjuangkan.
14 August 2008
Mereguk Restu "IBU" ; 3
Inilah waktuku untuk melakukan permenungan....
Disambut dengan hembusan angin kencang diseputar makam....
Ku runut kembali sebuah perjalanan dalam sebuah kehidupan.
Kau pernah ada....
dan kini aku ada....
Dihadapan makam Ibu, dengan segala kerendahan hatiku....
Kumohon restumu....
Amin Ya Robal Alamin.....
Wass Wr Wb
Subscribe to:
Posts (Atom)