24 January 2009

Gado - gado yu Lasmi

Bingung... Mas...

Yu Lasmi si penjual gado-gado di ujung perempatan gang itu, tidak pernah kesiangan. Ia selalu sudah siap dengan segala macam sayur-mayur bahan gado-gadonya sejak matahari meletik di pagi hari dan baru kemas-kemas pulang setelah matahari mulai condong ke barat.
“Kok rajin banget sih Yu… pagi-pagi selalu sudah buka” Tanya Amin si tukang ojek, sambil menyedot rokoknya hingga kempot.
“Laaah… bang Amin ini gimana toh… orang itu kadang suka bingung cari sarapan. Pagi-pagi suka bingung cari warung, belum ada yang buka…”
“Lah, Yu… apa ya gado-gado pantes toh buat sarapan… “
“Yo pantes-pantes aja toh bang, wong buktinya orang ya antri mau pesan gado-gadoku buat sarapan juga lho…”
“Eh.. jangan salah, Min. Kalo gado-gado Yu Lasmi ini cocok-cocok aja buat makan disetiap waktu… nggeh mboten Yu? Kamu tau nggak, Min, orang nyari gado-gadonya Yu Lasmi bukan cuma karena rasanya saja, tapi gara-gara Yu Lasminya… gimana gak ngantri wong yang jualan uuuayuuuu tenan…” Sarwono ikutan bicara.
“Wezz gombal kamu Sar, kamu ngomong gitu biar dapet sarapan gratis, yo Sar”
“Mboten, Yu… ini bener. Wong saya itu kemarin, pagi-pagi nganter tamu ke daerah Tomang sana… kan jauh toh ya. Lha kok waktu mau balik, ada penumpang yang minta dianter ke sini, cuma gara-gara mau beli gado-gadonya Yu Lasmi. Waktu aku tanya, lho tau gado-gado Yu Lasmi juga toh mas? Trus dia jawab, ya tau toh mas… wong gado-gado itu gak cuma bikin kenyang perut, tapi juga bikin kenyang mata… Trus kutanya lagi… bikin kenyang mata gimana toh mas? Dia jawab lagi… lha kalo yang jual semlohe begitu kan itu namanya kenyang lahir bathin toh mas… itu dia… mantab kan? Bisa buat sangu seminggu. Min… bayangin dari Tomang lho… nyampe kesini, Cuma mau makan gado-gado sambil nontonin Yu Lasmi ngulek… weeeuedaaan tenan…”
“Lambe mu, Sar… wis kamu mau apa? Pedes atau ndak?”
“Waduuuuh Alhamdulillah… aku dapet sarapan ini? Yo jangan pedes toh Yu… wong pagi-pagi gini… bisa panas nanti perutku sampai siang…” jawab Sarwono langsung mendekat ke gerobak Yu Lasmi… Lumayan, dapat sarapan. Tapi anehnya Sarwono gak pernah tega kalau mau nge bon. Padahal Yu Lasmi sudah beberapa kali bilang kalau belum bisa bayar, bisa di catat saja dulu. Tapi ya namanya juga Sarwono, gak pernah bisa kalau gak bayar, malah kadang harga gado-gado yang cuma lima ribu tanpa telur, atau enam ribu pake telur itu bisa jadi dibayar sepuluh ribu tanpa kembali. Mantab kan? Tapi kalau tidak pake uang kembali seperti itu, Sarwono biasanya dikasih gratis krupuk, biar makan bisa jadi lebih meriah kata Yu Lasmi. Weleeh...
“Yu… gado-gadonya dua…” Pinta seorang laki-laki perlente bersama seorang temannya yang baru saja turun dari mobilnya.
“Oooh.. iya mas, pedes ndak?”
“Kamu pedes gak?” Tanyanya pada laki-laki kawannya yang sudah duduk di bangku panjang.
“Dikit…”
“Sedeng saja ya mas…kalau mas yang ini?” sambar Yu Lasmi.
“Sama in aja lah…”
“Ooh iya mas… silahkan duduk dulu. Sebentar ya saya buatkan.”
Laki-laki yang tadi berdiri disamping Yu Lasmi membuka kaleng krupuk, mengambil krupuk yang berwarna putih itu dan segera menyusul duduk dihadapan kawannya yang sudah asyik tenggelam oleh berita-berita di Koran pagi, yang diambilnya dari meja panjang. Yu Lasmi tidak pernah menyediakan koran di meja warungnya, tapi ada saja loper koran yang meletakkannya disana. Akhir bulan, entah siapa juga yang membayar tagihan korannya, sampai sekarang Yu Lasmi sendiripun tidak pernah paham.
“Walah… partai apa lagi… ini? Milih logo kok ya aneh-aneh… kepala kucing. Apa coba maknanya?” katanya sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Lah biasa kan… demokrasi… semua boleh punya aspirasi. Kalau merasa aspirasi tidak terpenuhi… ya bikin partai lagi…”
“Heem… iya ya… trus kalau sudah bikin partai baru, dan gak sepaham, trus bikin partai tandingan…”
“Ya iya… kaya partai yang tadi kamu lihat… apa? Partai kucing? Kalau nanti pecah, namanya jadi Partai Kucing tandingan… seru juga lho, Men…Atas nama demokrasi toooh? Sah-sah saja…”
“ Heeeh… demokrasi kok malah jadi kaya main-mainan aja…”
“Itulah… trus masyarakat dicekokin harus milih… lha… nongol aja barusan, gimana orang bisa kenal? Pe de banget?”
“Sebentar lagi banyak muncul selebritis-selebritis baru nih… semua orang balapan masang foto diri… wah… makin bingung. Akhirnya malah milih gara-gara ganteng atau cantiknya aja, bukan karena partainya…”
“Ya bisa jadi… atau malah nggak milih sama sekali… lha wong pusing mau milih yang mana…”
“Semua partai pasti tujuannya baik toh?”
“Lha ya harus yang baik-baik toh kalau mau nyusun visi misi partai…”
“Tapi kita gak tau pelaksanaannya kaya apa…”
“Bisa jadi… itu kawan kita si Haris, kemarin bilang sama aku, setiap liat titik strategis penginnya pasang baliho foto dia gede-gede. Biar orang kenal katanya. Berapa duit itu? Trus yang dipikirin gimana caranya untuk bisa pasang foto gede-gede. Bukannya mikirin program kerja yang bisa ditawarkan demi memenuhi kebutuhan rakyat itu apa, tapi malah mikir gaya foronya gimana?”
“Eh … kalo Haris kan memang berduit, man… Biarin aja…”
“Lah trus kalau caleg-caleg yang lain itu gimana? Apa ya semua orang punya duit?”
“Ya itu resiko dia lah… pinter-pinternya dia cari sponsor… semua itu kan tergantung kepentingannya…”
“Sedih juga…”
“Kenapa harus sedih…?”
“Apa lagi kepentingannya sekarang ini… kalau nggak UUD…?
“Ujung-Ujungnya Duit maksudmu?”
“Ya iyalah… mana ada sekarang orang yang mbahas UUD itu Undang-Undang Dasar. Sekarang ini kan singkatan UUD lebih dikenal Ujung-Ujungnya Duit. Coba tanya sana sama anak SD, mana mereka tau UUD itu Undang-Undang Dasar? Wong pelajaran sekarang ini gak lagi mikirin itu. Kemajuan dan perubahan jaman katanya.”
“Iya juga ya… “
“Ya memang iya… bukan sekedar iya juga… lihat saja, berapa persen sih dari caleg-caleg itu yang bener-bener bisa njalanin program kerja sesuai dengan kebutuhan rakyat? Yang jadi targetnya kan kesejahteraan… diri sendiri maksudnya… bukan kesejahteraan rakyat. Lihat saja jumlah partai bererot begitu banyaknya. Berapa duit itu? Bikin partai kan gak kecil duitnya…? Semua aliran dana tumplek blek di situ. Bagaimana bisa mbangun Negara, wong uangnya malah muter disitu…”
“Yang katanya Pesta Demokrasi ya…”
“Ya iyalah… Berapa dana yang muter di tahun 2009 yang katanya atas nama pesta demokrasi.”
“Iya mas, mbok ya buat nambahin modal gado-gado saya aja ya mas, malah karuan. Kelihatan hasilnya. Atau buat nyekolahin anak-anak di kampung-kampung pelosok sana…” Celetuk Yu Lasmi sambil mengelap tangannya ke celemek dan siap mengangkat piring gado-gado pesanan.
“Nah… loe denger sendiri? Yu gado-gado aja cerdas… kok malah orang-orang ini balapan mau pada nge top sendiri. Ya nggak Yu?”
Yu Lasmi Cuma tersenyum sambil meletakkan piring ke hadapan kedua orang tamunya.
“Ealaaah, cerdas apanya toh mas, lha wong orang kaya saya ini kan mikirnya yang gampang-gampang aja. Buat masang foto sebesar rumah begitu ongkosnya sepuluh kali lipat dari modal saya bikin warung mas… padahal ya cuma dipasang sebentar. Selesai pemilu ya sudah harus dicopot-copot lagi. Abis itu orang sudah lali meneh… Kalau buat modal warung kaya saya gini kan bisa buat hidup sampai tua toh… Bisa buat nyekolahin anak… sukur-sukur bisa buat naik haji.”
“Nah kalo Yu sendiri mikirnya gimana?”
“Lah, lha wong sekarang ini banyak banget mas partainya. Saya malah jadi bingung. Apa itu namanya orang yang pada mau jadi anggota dewan itu?”
“Caleg… Calon Legislatif, Yu…”
“Iya… itu …. Calegnya buaaanyak banget. Mulai dari tukang kulkas sampe artis semua bisa jadi caleg. Yang penting punya duit toh mas, supaya bisa pasang-pasang foto kaya gitu itu.”
Kedua tamu Yu Lasmi manggut-manggut. Tanpa ragu yu Lasmi kemudian ikut duduk di bangku panjang warungnya.
“Waah… aneh kok mas, kalo jaman saya kecil dulu, kita gak pernah tau siapa anggota dewannya. Sekarang ini foto-foto dipajang-pajang, tapi ya tetep juga kita ndak kenal siapa dia. Lha yang untung kan ya artis-artis itu toh ya mas. Mending jadi artis dulu aja baru ikutan nyalon jadi caleg. Jadinya sudah pasti menang toh? Nah… Kalo sudah menang trus bingung kalo dah disuruh kerja, lha wong biasanya cuma baca scenario bikinan orang, trus acting di depan kamera, sekarang disuruh beneran mikir sendiri. Opo yo iso kuwi? Jangan-jangan dia merasa lagi acting di depan kamera. Lah ini kehidupan nyata je… bukan cuma sekedar dongeng, Trus yang memang sudah sekolah tentang ilmu pemerintahan mau pada jadi apa ya mas?”
“Ya itu yang namanya demokrasi, yu. Semua mempunyai hak yang sama untuk memilih dan dipilih.”
“Lha kalo partainya sebanyak gitu ya gimana milihnya toh mas?”
“Ya tergantung… Yu ini sreg dengan partai yang mana?”
“Laah lha wong semua partai itu ngomongnya sama je mas…pasti yang bagus-bagus toh ya…”
“Nah kalo menurut yu sendiri gimana?”
“Kalau saya sih mikirnya gini mas… Nuwun sewu lho ini ya mas, bukannya mau ngajari. Tapi ini cuma pikiran saya saja. Lha wong namanya juga cuma tukang gado-gado… ya pasti lah kepinterannya cuma sebates gado-gado aja…”
“Lho… gak apa-apa toh, yu. Justru omongan wong cilik seperti Yu Lasmi ini yang malah natural. Gimana Yu? Ayo ngomong aja…”
“Kalo menurut saya… ini menurut saya lho mas…”
“Iya Yu… kita berdua ndengerin kok…” Kata seorang tamu sambil menyuapkan gado-gado ke mulutnya.
“Partai itu ndak usah banyak-banyak, mas…”
“Heem… gitu?”
“Iyo… misale dua aja, atau yaaah paling tidak tiga lah kaya dulu itu lho… Pe tiga, golkar sama PeDeI. Jadi kita nggak bingung. Itu tadi cuma contoh lho mas…”
“Heeem… Trus…”
“Nah kalau partainya cuma ada dua atau tiga… em… buat contoh aja nih mas, Indonesia ini partainya ada dua. Misalnya Partai Korek sama Partai Gunting. Nah… masing-masing partai itu maju atas dasar program kerja mas… “
“Wah Yu Lasmi ini ternyata paham juga dengan yang namanya program kerja toh yu…”
“Lah kalau saya kan ya cuma denger-denger saja kalau orang-orang ngomongin apa itu yang namanya program kerja. Program kerja itu kan Itu toh mas ya kegiatan-kegiatan gitu toh mas…?”
“Yah… kira-kira begitu lah… trus gimana yu?”
“Ya partai itu berdasarkan program kerja saja… jadi ndak usah banyak-banyak… bingung mas… yang milih nanti. Wong-wong cilik kaya saya ini kan ya kasian toh…”
“Maksud Yu Lasmi?”
“Gini… untuk masa pemerintahan lima tahun kedepan ini, misalnya Partai Korek menawarkan program kerja pembenahan pendidikan. Nah trus Partai Gunting menawarkan program pembenahan kesehatan. Nah kita masyarakat ini tinggal milih, kita cocok sama programnya siapa? Jadinya rakyat itu gak Cuma dibujuk-bujuk untuk milih aja, tapi juga diajak mikir… Negara kita ini lima tahun kedepan mau mbenahi apa? Kesehatan atau pendidikan. Nah kan rakyat malah jadi pinter toh mas, wong diajak mikir. Jadi partai itu gak usah yang muluk-muluk gede-gede maunya… yang pendidikan, ekonomi, kesehatan, agama, semua dijadikan satu, mau di pek sendiri. Ya gak ketanganan toh?”
Kedua tamu Yu Lasmi manggut-manggut.
“Kan lebih baik mbenerin satu bidang aja tapi yang bener-bener gitu lho mas… dari pada maunya ini dan itu, tapi malah bingung mau mulai dari mana.”
Kedua laki-laki itu mengernyitkan dahinya.
“Nah trus juga kita ini kan katanya Pancasila, eh tapi ngomong-ngomong kita ini masih Negara Pancasila ndak toh mas?” Yu Lasmi mengernyitkan dahinya.
“Laaah, Yu ini gimana toh? Ya masih lah”
“Ndak, saya cuma tanya saja, takut salah… siapa tau sudah diganti. Lha wong sekarang ini kok kayanya Pancasila itu sudah kurang top kaya jaman saya dulu.”
Keduanya saling pandang. Nampaknya muncul keraguan dalam raut wajah mereka. Ada benarnya juga… kemana Pancasila sekarang ya?
“Trus hubungannya dengan Pancasila opo Yu?”
“Ndak… saya melihatnya, sekarang ini kok jadi ada partai-partai untuk gplongan-golongan dan kepercayaan-kepercayaan tertentu. Wah ndak berani ah mas… nanti saya dianggap ngomongin… opo… mas… itu lho… sar..sar… gitu…
“Maksud Yu, SARA?”
“Lha… ya itu… SARA… salah omong malah warung saya digulung…”
“Ndak lah yu… ini kan cuma omong-omongan pinggir jalan aja… hayo apa yu?”
“Ndak… gini lho mas, kan lebih bagus kita ini rukun toh? Jadi ya ndak usah pake partai yang pake dasar agama-agama gitu. Soalnya agama itu artinya dalem banget je mas… urusan kita sama Gusti Allah. Yang penting kita ini hidup percaya dengan adanya Gusti Allah… mau pake jalan yang mana, itu kan pilihan kita sendiri toh ya…ndak usah bengak-bengok kita ini opo.”
“Ya… ya… trus hubungannya dengan partai tadi apa yu?”
“Ya itu tadi mas, jadi partai itu ya sifatnya umum saja, jadi malah bisa menjaring keinginan orang banyak. Ndak dibatasi. Misale… saya ini kan orang islam yo mas, tapi kalo saya tertarik sama programe partai yang bukan islam kan malah jadi keliatannya saya ini murtad toh…padahal yang saya turut itu bukan agamane tapi program partai ne… Trus misalnya, partai buruh lah, partai petani lah, partai gado-gado lah… lha nanti kan yang milih jadi Cuma sedikit toh ya mas, lha kaya saya ini pasti akan milih partai gado-gado wong saya ini tukang gado-gado… lha gimana ngitung menang kalahnya? Malah jadi Cuma sedikit toh dapet suaranya… weleeeh kan jadi bingung toh mas? Gitu maksud saya… Wis ah mas… saya tak ngelayanin tamu yang lain dulu ya…” Yu Lasmi beranjak bangun dari duduknya dan kembali menuju gerobak gado-gadonya. Meninggalkan kedua tamunya yang masih melenggong melihat sosok Yu Lasmi si penjual gado-gado dengan segala ocehan panjang lebarnya. Ya pantas saja kalau banyak orang datang ke warung gado-gado Yu Lasmi ini. Ternyata tamu-tamu tidak hanya dilayani dengan sepiring gado-gado dengan ulekan yang yahud, tetapi juga diajak mikir.
“Oh ya mas, doyan susu kedele ndak? Kalau doyan, saya kasih panjenengan berdua susu kedele bikinan ku sendiri lho…”
“Wah ya doyan banget Yu… boleh-boleh…” Jawab salah satu dari kedua tamu yang tadi asyik bincang-bincang dengannya.
“Le… tolong ambilkan susu dele nya dua ya, buat mas-mas yang itu…” teriak Yu Lasmi pada Kamal, anak laki-laki tanggung yang membantu seluruh akrifitas warungnya. Asisten kalau kata orang gedongan.
“Men, kalau orang kaya Yu Lasmi ini dapet kesempatan sekolah udah jadi professor kali ya…”
“Hehe… bisa jadi… tuh duit daripada dibuang-buang buat bikin baliho mending buat nyekolahin anak-anak di pelosok sana. Biar orang-orang makin pada pinter. Yu Lasmi aja gak sekolah bisa mikir. Apalagi kalo dikasih kesempatan sekolah…”
“Jadi kamu mau pilih mana? Partai Korek atau Gunting?”
“Aku pilih partai gado-gado aja, kalau si Yu Lasmi ini bikin partai gado-gado… “ Jawab laki-laki itu sambil menyuapkan gado-gado pamungkasnya.

Mampang, 19 Desember 2008.

04 October 2008

Mengenang seorang MOERDOPO 3


15 Tahun kemudian, kujawab tulisan mas Wahyu Wibowo dengan goresan penaku, dalam sebuah acara peringatan kepergiannya....
Kubayangkan bagaimana rasa ibuku dalam usia rentanya, seorang diri bersama kami garuda-garuda buah cintanya....
"GARUDA TUAKU.......
Lereng gunung itu masih tetap pekat dan dingin.....
Dingin telah menyampaikan rindumu pada GARUDA CINTAMU ....
pekat juga telah menyampaikan rindumu pada GARUDA-GARUDA KECILMU....

KINI......

GARUDA CINTAMU masih disini.... masih tetap mencintaimu tanpa terbagi.....
Lihatlah kami saat ini....... GARUDA-GARUDA KECILMU dulu......
saat ini telah menjadi GARUDA-GARUDA PERKASA....
yang siap untuk terus menjaga GARUDA CINTAMU......
yang siap untuk mulai mengepakkan sayap, terbang tinggi melesat, menggantikan pertempuranmu .....
karena kami selalu.... punya kobaran apimu di dada.....
; kita tetap saling menyinta.....

( EM ; media 2005 )
Bapak dan ibuku....
adalah segalanya untukku.....

Mengenang seorang MOERDOPO 2



Walaupun binatang favoritnya adalah KUDA, namun bapak selalu membahasakan dirinya sebagai seekor GARUDA.....

Lonely Eagle.... itu adalah simbol dirinya......

Oleh karenanya pada saat kepergiannya, mas Wahyu Wibowo menulis serangkai kata, sebagai ucapan selamat jalan baginya.....

"di lereng gunung itu
pada senja berkabut yang pekat dan dingin
sang Garuda tak kuasa lagi mengepakkan sayapnya
tubuhnya lunglai, bola matanya meredup.... diam
“ aku ingin terus terbang....... meneruskan pertempuran..... tapi.....
itu tak mungkin, karena nyanyian pada dewa terdengar...... begitu dekat.
Katakanlah pada dingin..... betapa aku rindukan GARUDA CINTAKU....
Katakanlah pada pekat..... betapa aku rindukan GARUDA-GARUDA KECILKU.....
Aku masih punya kobaran api di dadaku.....
yang ingin kuberikan pada mereka........“
; kita tetap saling menyinta.....

(WW ; media 1990 )

Kenangan akanmu tak akan terhapus oleh waktu....

Mengenang seorang MOERDOPO 1


Pringgondani TAWANGMANGU, di lereng Gunung Lawu...

Tanggal 26 Februari 1990, seorang MOERDOPO terkulai lemah dan menghadap Sang Khalik....






Tepat dilokasi inilah ayahku mangkat, 18 tahun yanga lalu.
Perjalanan hidup bersamanya terhenti dengan begitu tiba-tiba. Tanpa ada pertanda yang aku rasakan.

Semua sirna dengan begitu cepatnya.....

Ditempat ini.... Pringgondani, di Lereng Gunung Lawu

30 September 2008



Mengucapkan

SELAMAT HARI RAYA IDUL FITRI, 1 Syawal 1429 H.

Mohon maaf lahir dan batin.

Salam,

Endang Moerdopo

19 September 2008

Sebuah perjalanan dalam lorong kepenulisan

Seperti yang dikatakan seorang kawan dari Banda Aceh, bahwa dia tidak menyangka bahwa tulisan yang pernah kusodorkan padanya pada suatu hari, kini telah menjadi sebuah buku. Komentarnya singkat namun bagiku, ungkapan itu adalah ungkapan yang sangat objetif dan spontan dari seorang kawan yang baru kukenal di tanah Aceh. "Akhirnya, jadi juga barang itu.Saat saya baca prolog dulu, sempat terpikir bahwa tulisan itu bukan garapan serius.Cuma mencoba menghilangkan rasa suntuk di wilayah yg sdg "sakit"." Kurasa wajar saja dia berkomentar itu, karena memang dia mengenalku bukan sebagai seorang penulis atau paling tidak gemar menulis.

Jangankan dia, aku sendiri pun tidak menyangka bahwa akhirnya aku memasuki sebuah koridor baru dalam dunia tulis menulis, yang sebenarnya dari dulu sudah kulakukan.

apa yang terjadi dulu???

Sejak SD, aku memang sudah sering mencorat-coret kertas dengan cerita-cerita pendek yang kemudian kertas itu hilang, terbang tertiup angin tanpa sempat kuselesaikan. Mengapa begitu? aku pun tidak tahu secara pasti, apakah karena terlalu liarnya imaginasi, sehingga otakku yang kecil ini tidak sanggup menampung ribuan hal indah yang sebenarnya dapat kuungkapkan dalam sebuah rangkaian kata. Atau karena "keset" (malas;dalam bahasa jawa) yang sering diteriakkan ibuku, untuk menulis. Atau juga karena pada saat itu, banyak hal yang lebih menarik untuk kulakukan, sehingga imajinasi dan kreatifitasku untuk merangkai kata menjadi mendua.

Tapi ternyata tidak ada kata terlambat !!!!

Setelah melalui perjalanan panjang kehidupan dalam kurun waktu yang tidak singkat. Juga dengan berjuta pengalaman hidup yang beraneka warna yang juga sempat kujalani, kualami dan mungkin juga kunikmati.... ditanah seberang yang tidak pernah kuduga pula yaitu Aceh... aku mulai menangkap kata-kata yang tadinya hanya terbang-terbang disekelilingku, mengumpulkannya dan kemudian merangkainya dalam sebuah karya yang kemudian bisa bermakna dalam hidupku.

Kini, namaku sebagai seorang penulis sudah mulai muncul... paling tidak di toko buku Gramedia, sebaris namaku sudah mulai terbaca orang. Baik yang sengaja mencari, sengaja melihat, atau tidak sengaja, atau sambil lalu, atau terbaca tapi tidak sangkut di pikiran, karena memang bukan bukuku yang dituju. Tidak apa-apa.... ini sebuah rintisan baru dalam sejarah hidup diusiaku ke 40 tahun.... Tidak muda lagi.... Kadang menyesal juga kenapa baru diusiaku tepat 40 tahun, baru jadi barang itu....

Kembali kukatakan ... Tidak ada kata terlambat... !!!

Saat bukuku sedang dalam proses penerbitan, ada rasa gamang juga dalam diriku.... apakah buku ini dapat diterima oleh calon pembacaku nanti? Bagus atau tidak? menarik atau sampah? Pergumulan hebat telah terjadi padaku saat itu. Mungkin itu wajar, karena ini adalah tulisan pertamaku yang akan diterbitkan oleh sebuah kelompok penerbitan yang di labelkan "bergengsi" yaitu GRASINDO. Banyak juga yang mengomentari kehebatanku, bahwa tulisanku bisa diterima oleh kelompok penerbitan GRAMEDIA. Memang sudah rejekiku.... seperti kata orang tua-tua dan sampai saat ini masih menjadi pegangan.... "Rejeki nggak kemana..."

Saat ini bukuku sudah mulai beredar, dan bagiku sangat mengharukan karena kegamangan yang terjadi sebelum buku itu terbit sirna. Mengapa? karena sebagian besar pembaca memberikan tanggapan yang luar biasa..... Positif dan sangat membangun.... Hingga pada suatu malam, kubolak-balik lagi lembar demi lembar tulisanku.... PEREMPUAN KEUMALA.... hingga akhirnya tersadar olehku buku itu tetap dalam dekapanku hingga pagi menjelang.... "Ya Tuhan... terima kasih banyak".

Mudah-mudahan bukuku ini, dapat mem"virus"i para calon pembaca untuk menjadi pembaca, untuk kemudian dapat memaknai tulisanku sebagai sebuah tambahan warna dalam kehidupan pembacaku.... itu sungguh harapanku.

Bukan waktunya lagi aku untuk berdiam diri, karena aku harus mulai mempersiapkan segala sesuatunya untuk karyaku berikutnya... Identitas baru, baru saja tersemat dipundakku. Oleh karenanya aku harus semakin banyak membekali diri, agar semakin mantab kiranya langkahku melaju.

Seperti kata Adi, seorang sobatku "mbak, loe dah buka pintu. Sekarang waktunya untuk mulai menapaki sebuah lorong baru yaitu lorong kepenulisan...."

Salam
Endang Moerdopo

10 September 2008

Ungkapan Rasa Terima Kasih

Alhamdulillah, akhirnya tiba juga waktu yang sangat mendebarkan itu.
Dengan penuh kebanggaan, aku bisa mempersembahkan karyaku ini bagi pembaca semua.

Kini PEREMPUAN KEUMALA telah lahir, sebagai sebuah tanda kasihku pada bangsaku dan tumpah darahku, Indonesia tercinta.

Dan sejak ini pula, PEREMPUAN KEUMALA bukan hanya milik masyarakat Aceh saja, namun juga milik masyarakat Indonesia, bahkan milik dunia. Semoga kita bisa meneladani nilai-nilai perjuangan yang telah dibuktikannya bagi tanah tercinta.

PEREMPUAN KEUMALA, juga kupersembahkan kepada pembaca tercinta saudara-saudaraku di tanah Nanggroe. Ini adalah hasil jerih payahku selama aku berada disana. Hasil ini tak akan pernah habis dimakan waktu. Bagiku tulisan ini adalah abadi seumur hidupku.

Ini bukan sebuah akhir, namun ini adalah tonggak awal aku harus memulai lagi kerja kerasku untuk langkah selanjutnya.

Terima kasih banyak atas semua dukungannya, baik moril maupun materiil.

Salam.

Endang Moerdopo

23 August 2008

Apresiasi dari seorang Arswendo Atmowiloto










Aku tercengang saat mas Wendo dengan begitu lancar menceritakan kembali bab 7 dari tulisanku PEREMPUAN KEUMALA. Dengan gaya bicaranya yang keras namun lugas beliau mengatakan bahwa aku mampu dengan baik dan detil menggambarkan gejolak suasana hati Keumala. Beberapa kali mas Wendo mengulang kembali menceritakan tentang bagaimana ikan-ikan dan angsa-angsa yang berkejaran di kolam istana.... baginya bagian itu merupakan bagian yang paling menyentuh dan DAHSYAT...!!!

Mengapa aku tercengang? Karena pernyataan itu muncul dari seorang ARSWENDO ATMOWILOTO ; seorang budayawan kawakan yang tentu tidak sembarangan bagi orang sekelas beliau memberikan ulasan untuk ku yang notabene seorang pemula. Walaupun adapula kelemahan yang beliau sampaikan, namun bagiku itu justru merupakan sebuah masukan yang sungguh sangat membangun.

Moody... itu adalah komentarnya saat membaca tulisanku. "Emosimu tidak stabil" tambahnya lagi. Yaaah... begitulah kira-kira aku. Dengan "sharp" beliau langsung menembak sisi ruang hatiku yang terdalam. Aku mengangguk membenarkan.

Dalam kesempatan ini, kepada yang terhormat, mas Wendo.... sekali lagi terima kasih banyak atas apresiasi yang sangat tinggi dan atas berkenannya memberikan ulasan atas karya PERDANA ku.

Juga atas buku barunya yang berjudul "BLAKANIS" yang diserahkan padaku dengan tak lupa membubuhkan tanda tangannya, serta sebuah tulisan DAHSYAT untukku :

" Salam buat CUT ENDANG MOERDOPO" dari sesama pengarang..... "

Sebuah pengakuan yang sungguh luar biasa dari seorang ARSWENDO ATMOWILOTO untuk seorang pendatang baru ENDANG MOERDOPO.

Matur Nuwun Sanget mas.....

22 August 2008

Dream Come True

Selembar undangan kini ada di tanganku. Oooh My GOD.... Mimpikah aku....? Ternyata tidak... aku tidak sedang bermimpi.

Dua tahun bukan waktu yang pendek... namun juga bukan waktu yang panjang untuk sebuah kesempurnaan....

Semua berpulang kepada pembaca....
Aku sudah terlalu banyak bicara melalui buku ini, oleh karenanya mohon tanggapan dan masukannya untuk memperkaya warna...

Mohon doa restu atas segala daya dan upaya yang telah kulakukan untuk menyumbangkan sedikit warna, bagi NANGGROE tercinta.....

Sekaligus mohon kehadirannya untuk lebih menghidupkan kobaran jiwa yang kini sedang menyala di dalam dada.....

Saleum

Endang Moerdopo

Persembahan untuk NANGRROE tercinta

Judul : PEREMPUAN KEUMALA ; Sebuah EPOS untuk NANGGROE
Ukuran buku : 14 x 20 cm
Jumlah Halaman : 360 halaman
Penerbit : PT. GRAMEDIA WIDIASARANA INDONESIA (GRASINDO)
Harga : Rp. 52,000,-
Peluncuran Buku : Tanggal 27 Agustus 2008, di Toko Buku GRAMEDIA Matraman, Pukul 16 - 18 WIB.

SINOPSIS

Prolog dalam cerita ini menggambarkan pengalaman Hira, seorang pekerja sosial yang sedang bertugas di Nanggroe Aceh Darussalam pasca bencana. Kekagumannya pada pahlawan perempuan Keumalahayati membuatnya ingin menggali lebih jauh siapa sosok perempuan itu. Keprihatinan atas kurangnya penghargaan generasi muda saat ini kepada Laksamana Malahayati, membawanya masuk dalam kehidupan Laksamana perempuan itu.

Cerita dalam buku ini dimulai sejak Keumalahayati masih menjalani pendidikan di tempat belajar militer kerajaan yaitu Mahad Baitul Maqdis. Tempat inilah yang mencetak para perwira tangguh yang memperkuat pertahanan Kerajaan Aceh Darussalam. Di tempat belajar ini pulalah Keumalahayati bertemu dengan Tuanku Mahmuddin Bin Said Al Latief taruna senior yang kemudian menjadi suaminya.
Setelah lulus dari tempat pendidikan militer tersebut, keduanya menikah dan mereka mengabdikan diri menjadi pejabat tinggi kerajaan. Tuanku Mahmuddin Bin Said Al Latief menjadi Panglima Armada Selat Malaka dan Keumalahayati menjadi Komandan Protokol Istana. Kisah sepak terjang keberanian Keumalahayati di kerajaan Darud Donya Darussalam berawal dari kematian suaminya yang tewas dalam pertempuran di teluk Haru. Tak lama setelah kematian suaminya, Keumalahayati harus lagi mengalami cobaan yang disebabkan oleh penculikan putri tunggal tercintanya yang dilakukan oleh sesama petinggi kerajaan.

Sejalan dengan malapetaka yang terus menerus menderanya, membuat Keumala tak mampu untuk menjalankan tugas dengan baik. Hal ini disebabkan karena kekacauan yang terjadi di tanah nanggroe, baik dari luar kerajaan, antara lain karena para orang kaya yang bersekutu dengan Portugis pendatang yang hanya mencari keuntungan diri sendiri, maupun dari dalam lingkungan kerajaan, yaitu rencana kudeta yang akan dilakukan oleh Sultan Muda, putra Baginda Sultan sendiri.

Pada masa-masa kesedihannya inilah yang membuat Keumala seakan menjadi putus asa, dan situasi ini dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kepentingan untuk melenyapkan Keumala. Mereka mengirimkan mantera Tapak Tuan (mantera yang membuat orang menjadi tak berdaya) agar Keumala dipecat dari Kerajaan. Namun Keumala adalah seorang yang kuat, baik secara fisik maupun keimanan, maka dengan segera mantera yang sempat mempengaruhinya tersebut hilang dan Keumala menyadari keadaan negerinya yang semakin kacau dan carut marut.

Berangkat dari rasa tanggung jawab dan rasa kehilangan inilah yang memacunya untuk bangkit berdiri membela negeri sekaligus membela kebenaran, dengan membentuk ARMADA INONG BALEE (Armada janda) yang semuanya terdiri dari kaum perempuan yang telah menjadi janda, karena suami-suami mereka tewas dalam pertempuran di teluk Haru, yang juga menewaskan suami Keumalahayati. Selama memimpin Armada Inong Balee, Keumalahayati telah mampu unjuk gigi dengan melenyapkan siapa saja yang berani melawan daulat (perintah) Baginda Sultan. Seluk beluk kehidupan kekacauan yang disebabkan oleh intrik-intrik yang terjadi di Kerajaan Aceh Darussalam justru semakin membuat Laksamana Keumalahayati menjadi sosok manusia yang tegar, tangguh dan seakan tanpa hati. Sementara jauh dibalik semua itu, ia tetaplah seorang manusia biasa, perempuan biasa, yang juga memiliki kasih, memiliki cinta dan memiliki naluri seorang ibu. Cerita dalam novel ini ditutup dengan perkelahian sengit antara Laksamana Keumalahayati dengan pendatang Belanda pertama di Nusantara yaitu Cornelis De Houtman dengan kemenangan berada di pihak Laksamana Keumalahayati. Ia berhasil membunuhnya melalui pertempuran satu lawan satu diatas geladak kapal.

Dalam Epilog digambarkan keprihatinan Laksamana Malahayati terhadap Nanggroe Aceh Darussalam yang saat ini seakan telah porak poranda, sejak konflik hingga bencana besar gempa bumi dan tsunami yang telah membuat sendi-sendi kehidupan seakan luluh rantak. Melalui titian waktu sosok Laksamana Keumalahayati ingin meneriakkan semangat perjuangan kepada seluruh manusia yang seakan tertidur dalam tenang, sementara kehidupan tetap harus diperjuangkan.

14 August 2008

Mereguk Restu "IBU" ; 3


Inilah waktuku untuk melakukan permenungan....
Disambut dengan hembusan angin kencang diseputar makam....
Ku runut kembali sebuah perjalanan dalam sebuah kehidupan.
Kau pernah ada....
dan kini aku ada....
Dihadapan makam Ibu, dengan segala kerendahan hatiku....
Kumohon restumu....
Amin Ya Robal Alamin.....
Wass Wr Wb

Mereguk Restu "IBU" ; 2


Kuucapkan salam saat aku membuka pintu gerbang makam.

Kulihat makam penuh dengan debu...
Dengan niatan hati yang tulus, segera ku sapu debu dan daun-daun kering diseputar nisan. Kubasuh nisan dan batu dengan air yang memang sudah kusiapkan....

Dalam hati aku menyebut nama ALLAH ribuan kali banyaknya, serta melantunkan doa untuk ketenangan dan ketentraman hati Ibu. Sambil terus mengusir debu yang menebal di tanah makam.

"Ibu... kulantunkan doa untukmu...."

Mereguk Restu "IBU" ; 1


Ass Wr Wb,
Pesawatku mendarat di tanah NANGGROE dengan selamat. Kulihat bandar udara SULTAN ISKANDAR MUDA sudah berbeda dengan yang terakhir kulihat. Sudah ada sebuah kubah cantik yang menghiasi, membuat tanah NANGGROE menjadi makin menarik untuk dikunjungi.
Kunjunganku kali ini bisa kukatakan sebagai sebuah kunjungan emosional antara aku dan "IBU". Kubulatkan hati untuk mengunjungi makan Ibu untuk memohon restunya atas peluncuran buku yang akan mengangkat cerita tentang sepak terjang kepahlawanannya.
Lepas azar, tepat pukul 16:00 aku berangkat menuju Krueng Raya. aku sengaja menghitung waktu perjalanan, agar relevan dengan prolog dalam bukuku yang mengatakan perjalanan dari Banda Aceh menuju Krueng Raya ditempuh dalam waktu 45 menit. Dan ternyata benar, kami tiba di makam tepat pukul 16:45... Subhanallah, bukan waktu yang kurekayasa, tetapi benar demikianlah adanya....
"Ibu... aku datang...."

05 August 2008

PEREMPUAN KEUMALA ; Sebuah Master Piece

Untuk menghasilkan sebuah karya seperti PEREMPUAN KEUMALA ini, aku dengan rela menghabiskan waktu selama 2 tahun. Entah mengapa, aku begitu sayang dengan karyaku ini. Semakin sempurna kebahagiaanku, saat dengan tegas mas Bimo dari PT. GRASINDO menyambut karyaku ini.

Mungkin bagi orang lain, hal ini adalah biasa... Tapi bagiku ini adalah luar biasa. Jelas mungkin saja pada saat peluncurannya nanti akan banyak friksi yang terjadi. Bisa jadi karena aku bukan orang Aceh... tapi seakan sok tau menulis tentang seorang Inong Aceh. Juga dengan karakteristik masyarakat Aceh. Tapi aku maju terus, karena aku merasa yakin bahwa "Pesan" ini harus tersampaikan. Siapapun pembawa pesan.... tidaklah menjadi penting, ketika pesan itu sendiri bertujuan sebagai sebuah kebangunan dan kesadaran akan sebuah pilihan (seperti komentar mas Arswendo Atmowiloto dalam bukuku nanti). Bila aku cemas dan ragu untuk menghadapi apa yang akan terjadi setelah peluncuran nanti, tentu tulisan ini tidak akan pernah kuselesaikan. Akan segera kututup rapi dan aku akan segera beralih mencari topik "Yang Ringan dan Yang Lucu" saja.

Tapi itu semua adalah ANUGRAH bagiku, karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk dapat ber"silaturahmi" dengan sosok sang Laksamana....

Oleh karenanya kubagikan pengalaman Silaturahmi ku dengan sang Laksamana kebanggaanku pada pembaca semua....

Alhamdulillah, sampai saat ini semua berjalan dengan baik dan lancar. Oleh karenanya, penting bagiku untuk kembali ke tanah NANGGROE untuk membasahi makamnya dengan doa dan dengan air segar yang memang sengaja kubawa dari Jakarta. Oooh.. Mak... pasti ini dianggap musrik pula !!!!

Tidak, ini bukan musrik. Ini adalah sebuah tanda kasih. Kasih yang tak akan terputus .... antara diriku; seorang EM kepada idolanya... LAKSAMANA KEUMALAHAYATI.....

Saleum

EM

04 August 2008

PEREMPUAN KEUMALA


Tidak ada yang lebih membahagiakanku, ketika tanggal 1 Agustus 2008 saat aku akan berangkat ke Bali. You know what...?
Sebuah surat dari PT. GRASINDO, yang membuatku menjadi bertanya... "Apakah ini sebuah mimpi disiang hari?"
Gak.... ini bukan mimpi ternyata. Aku segera membukanya dan sebelum kubaca dengan rinci aku segera memeluk Taruli yang masih tergolek malas di tempat tidur. Iapun segera bangun saat aku mendaratkan berjuta ciuman di seluruh wajahnya.
Sebuah surat kontrak penerbitan buku PEREMPUAN KEUMALA, saat ini sudah ada ditanganku.... Aku bersorak kegirangan... "Tuhaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaan..... Terima Kasih".
Bagiku ini adalah sebuah pencapaian besar yang tidak pernah kubayangkan sebelumnya. Terbayang lagi masa-masa gelap saat aku tidak tahu akan dikemanakan naskah ku ini??? Sudah bosan aku mendengar pertanyaan-pertanyaan yang saat itu menyakitkan hatiku..."mana bukumu? kok gak terbit-terbit..?". lain lagi mengatakan " aaaaaaaaaaah... sudah keburu basi". Juga sering kudengar.."loe katanya nulis? mana?"..... dan berjuta pertanyaan lainnya yang membuatku kemudian memeluk naskah itu dengan hati "ngenes".
Naskah ini sangat berharga bagiku. Kuingat-ingat lagi proses penulisannya sejak awal hingga akhir. Mulai dari ketika panas-panasan aku ke benteng.... malam-malam ke makam, sampai-sampai gak ada orang yang mau menemaniku lagi.
Pernah suatu saat ketika kami ke benteng, mobil terguncang-guncang... Ijal sopirku sampai teriak-teriak. Selain itu juga, dia sering dikelitiki kakinya saat menemaniku ke makam, sampai ia histeris. Juga si Bek, yang tiba-tiba melihat ada sosok perempuan berbaju putih di pagar makam. Lucu lagi, si Manda. Tiba-tiba sejak tiba di makam hingga pulang, bajunya basah berkeringat dan tidak mengeluarkan suara sama sekali. Mukanya pucat seperti kertas.... Manda... kenapa kamu..?
Bang Morenk.... dialah orang yang mengikuti penuh proses penulisan buku ini sejak awal hingga akhir... walaupun penyelesaian naskah ini di Jakarta, tapi dia terus mengingatkanku untuk segera menyelesaikannya.
Tanggal 27 Nopember 2007... naskah ini resmi selesai. saat itu aku segera mengirim sms kepada 1. Bang Morenk, 2. Taruli, 3. Pak Yapto (pendamping spiritualku) bahwa Alhamdulillah naskah ini diakhiri dengan kalimat..." Aku Laksamana Keumalahayati..."
Tulisan ini membawa begitu banyak kenangan....
Terima kasih banyak kepada :
*. Bang Morenk ; yang telah mendampingiku sejak awal hingga akhir penulisan buku.
*. Fauzan Santa ; rekan seniman yang terus memberi warna tentang nuansa Aceh.
*. Leo Nugroho ; yang selalu ready untuk menemaniku ku makam di malam hari...
*. Izma ; walaupun tidak lama di Banda, tapi tidak pernah absen untuk ikut ke benteng juga ke makam.
*. Bek ; selalu mengangguk saat aku minta tolong diantar ke makam, walaupun dengan wajah yang dilipat, gara-gara ketemu "mahluk putih" di pagar makam.
*. Ijal ; kapok mengantarkan aku lagi, setelah mobil digoyang-goyang di benteng... haha... nasibmu Jaal.....
Untuk proses penerbitan di jakarta, terima kasih kusampaikan kepada :
*. Mas Prasetyo; oomku yang begitu berjasa menjembataniku dengan PT. GRASINDO.
*. Mas Bimo ; editor yang saat ini banyak ku ganggu dengan sms2 persiapan peluncuran buku.
*. Mbak Mira Hujan ; yang sudah bersusah payah mengedit naskahku. "Tampak dan nampak"... haha... itu yang membuatnya bingung... Tapi tidak merubah ke"imut"an wajahnya.
*. Mas Agung ; yang akan menangani promosi dan pelancuran bukuku.
*. Mas Bambang BmW ; yang akan mengatur publishing bukuku di luar penerbit.
Terima kasih banyak diucapkan kepada :
*. Ibu Prof. Dr. Meutia Hatta Suasono (Menteri Pemberdayaan Perempuan) yang telah memberikan naskah kata pengantar dalam buku ini.
*. Bapak Munawar Liza Zein (Walikota Sabang) atas komentarnya.
*. Sdr. Semuel Samson ; atas kata-kata penyemangatnya.
*. Bapak Arswendo Atmowiloto ; atas kesediaannya memberikan endorsement. Maaf mas, mengganggu jam istirahatnya....
*. Ibu Prof. Dr. Hj. Kemala Motik Gafur (Rektor UIEU) ; tempatku bekerja saat ini. Bu, jangan judes-judes... serem aku....
Buku ini kepersembahkan kepada :
*. TARULI ; Sebuah Inspirasi
*. IBU ku ; Persembahanku di hari senjamu.
Mudah-mudahan buku ini dapat memberikan kontribusi terhadap kebangunan perempuan Indonesia. Jelas sebagai sebuah karya, buku ini merupakan tonggak awal perjalanan ku sebagai seorang penulis.
SALEUM
Endang Moerdopo

15 July 2008

Katoer Bapak...

DESEMBER KEDUA TANPAMU

Sadarkah kau, bahwa Desember ini adalah Desember kedua tanpa kehadiranmu.
Aku tak tahu engkau ada dimana,
kata imam kau berada di tempat yang jauh lebih indah dari dunia ini.
Dari mana imam tahu, sedangkan ia sendiri belum pernah mati.
Tahukah kau, ibu kini sendiri
dikelilingi bocah-bocah centil yang pasti makan hati,
untuk lupakan kenangan indah bersamamu.
Desember ini adalah Desember kedua tanpa kehadiranmu.
tak ada lagi, balon-balon yang tergantung di ruang tengah untuk merayakan ultahmu,
dan yang pasti tak ada lagi pesta ulangtahun di Kukusan seperti waktu itu.
Aku tak tahu engkau ada dimana,
karena jawaban yang kudapat hanyalah sama...
entah itu dari ibu, dari kakak, dari sahabat, dari imam
bahkan dari orang gila sekalipun.
tapi aku telah siap untuk menghadapi
Desember-Desember lain yang pasti tanpamu
karena aku tahu pasti kau memang tidak akan kembali padaku lagi.

Narada, 18 Desember 1991
Endang Moerdopo

Medio, Minggu Kedua Januari 1992
Suara Karya Minggu, Halaman II

(Jadul...? Yup... karena saat ini aku sangat merindukan papaku... kutulis dengan tinta jingga karena ini warna kesayangannya....)

13 July 2008

SUWUNG....

Jerat semakin kuat mengikatku. Aku muak dengan semuanya ini. Aku ingin lepas dari segala sandiwara membosankan ini. Namun seperti sebuah lingkaran sindikat yang tak dapat kutinggal pergi begitu saja. Sekali pergi, haruslah mati. Seakan takut aku akan bernyanyi sana-sini.

Jerat semakin kuat mencekik leherku. Seakan aku tak kuasa lagi untuk berteriak. Kalaupun kuberteriak, seakan tak ada suara yang terdengar. Sehingga orang-orang disekelilingkupun tak pernah tengarai ada apa denganku. Yang mereka tahu, aku hanya menebar senyum selalu selama hari berlalu. Tanpa beban kelu yang sebenarnya mengikatku.

Jerat semakin kuat mengikatku. Setelah tahun berganti tahun harus tetap berada disini, dijalan ini. Tak ada satupun yang menempatkanku menjadi nomor satu. Tak ada orang yang mau membawaku pergi dan berlari, walau mereka tahu begitu kuat ikat menjeratku. Tak satu orang yang kutuju, untuk membebaskanku dari jerat yang semakin membuatku kaku.

Hidupku adalah hampa, walau penuh warna. Kosong hanya nampak dinding yang penuh coretan beraneka rupa. Semua pergi, semua berlari dengan pikiran dan tujuannya sendiri. Saat membutuhkanku, kembali menoleh padaku. Dan mencoretkan lagi dengan kuas berwarna-warni di dinding yang semakin hari semakin padat berisi. Namun ruang itu tetaplah kosong... SUWUNG....

Medio 6 Desember 2007

10 July 2008

Ooh Maak.. !!!


Tenggorokanku masih tercekat dengan berita di layar kaca plazma 36 inch dihadapanku. Lebarnya layar membuat mayat yang sudah terpotong-potong itu menjadi nampak begitu jelas. Sementara si tersangka yang sudah bengkak-bengkak digebuki massa hanya bisa terpekur dengan tangan ngapurancang tak berdaya. “Ooh mak !!!” pekikku dalam hati dengan kata yang ku pinjam dari bahasa laki-lakiku bila sedang terkejut, terperanjat atas sesuatu yang terjadi diluar dugaannya. Teganya dia memutilasi “kekasih” yang sudah lima tahun hidup bersama di rumah susun itu. Sebenarnya bukan itu penekanan pikiranku, tetapi lebih kepada apa yang ada didalam kepala dan hatinya saat ia menorehkan pisau dapurnya ke tubuh orang yang selama ini hidup dengannya atas nama cinta sejenis.... Sekali lagi… Ooh Mak !!!

Berita ini akan kubawa besok pagi dalam diskusiku dengan Frans dan Max, sahabat-sahabatku, sekaligus tim penelitianku yang sudah kuanggap adik-adikku sendiri. Bagiku berita ini penting sebagai data sekunder penelitian kami. Kebetulan saat ini kami bertiga sedang melakukan penelitian tentang perilaku seksual menyimpang, bekerjasama dengan sebuah Rumah Sakit Pemerintah. Berita tadi, kuanggap penting sebagai data sekunder yang dapat mendukung pernyataan tentang adanya kecenderungan orang-orang yang memiliki penyimpangan perilaku seksual -dalam hal ini cinta sejenis baik gay ataupun lesbian- memiliki sense of belonging yang lebih tinggi dibandingkan dengan perilaku orang normal. Hal ini juga pernah kutemukan dalam penelitianku tahun 1994 dahulu, ketika aku mengambil mata kuliah Sosiologi Perilaku Menyimpang. Dalam mata kuliah itu dijelaskan oleh dosenku bahwa salah satu bentuk dari perilaku menyimpang adalah penyimpangan perilaku seksual, yaitu homoseksual, baik gay untuk laki-laki dan lesbian untuk perempuan. Untuk bisa lulus dalam mata kuliah itu, ujian akhir diganti dengan penelitian. Kala itu aku meneliti tentang perilaku seksual meyimpang pada lesbian. Mengapa aku mengambil perilaku seks menyimpang, karena menurutku masalah seks merupakan topic yang menarik dibandingkan masalah-masalah penyimpangan yang lain. Aku terang-terangan saja mengatakan demikian, karena memang itulah kenyataannya. Banyak yang kemudian juga menganggapku bicara terlalu vulgar. Bagiku sex bukan masalah tabu, justru itu harus dikomunikasikan. Alasannya? Karena banyak suami-suami yang berakhir di ranjang pelacur, karena sang istri menganggap hubungan intim yang aneh-aneh adalah tabu. Sementara suami-suami adalah seorang petualang sejati yang menginginkan sesuatu yang lain, variasi cukup penting dalam hubungan coitus intercourse antara suami dan istri. Nah, yang seperti inilah yang kadang membuatku dicap terlalu vulgar. Padahal menurutku komunikasi dalam berhubungan sex itu penting untuk kelangsungan dan kelanggengan rumah tangga. Aku kadang heran, banyak orang yang sepertinya tabu membicarakan masalah sex, padahal dalam hatinya mau… dan tidak sedikit juga yang curi-curi dengar pembicaraan orang, walau seakan memasang muka cuek dan memandang kami dengan wajah jijik. Ah... tabu tapi mau...

Kembali lagi ke masalah temuan penelitian lesbianku dulu, ya memang begitulah mereka, karena jumlah mereka yang sedikit, maka mereka berusaha mempertahankan pasangannya. Dengan demikian, maka sering kali mereka tidak ragu untuk melakukan tindak kekerasan. “Aku tidak mendapatkan kamu, orang lainpun tak ada yang boleh mendapatkanmu...” Ooh Mak !!! Ngeri kali.... Walaupun tidak semua begitu dan tidak selalu begitu... tapi tetap saja... Ooh Mak!!! Ngerinya...

Sebagai seorang aktifis HIV / AIDS sebuah lembaga swadaya masyarakat, Frans gencar memerangi mereka yang memiliki perilaku seksual menyimpang. Ia selalu mengkaitkan perilaku seksual menyimpang dengan faktor kesehatan terkait dengan penyakit HIV / AIDS yang sudah begitu ngelotok di kepalanya. Frans sangat anti dengan perilaku anal seks yang sering dilakukan oleh para gay. Dengan gamblang ia menjelaskan bagaimana proses penularan virus yang disebarkan melalui hubungan anal. Bagiku penjelasannya jauh dari jorok, tapi justru menjadi sebuah pengetahuan yang sangat berharga. Ia begitu concern dan sangat menguasai. Hebat… dan yang membuatku makin kagum adalah konsistensinya dengan masalah itu. Sejak aku mengenalnya sepuluh tahun yang lalu, sampai detik ini ia masih setia melayani mereka yang terkena HIV/AIDS. Hebat... Max lain lagi, perilaku menyimpang dilihat dari paradigma lingkungan social. Ia begitu fasih menjelaskan peta perilaku menyimpang yang saat ini berkembang di masyarakat. Bagaimana perkembangan perilaku seksual menyimpang yang muncul dan selalu menyajikan data terbaru dari trend para pelaku seksual menyimpang. Max dengan segala keterangannya juga menyadarkan aku bagaimana perilaku seksual itu menjadi begitu mudah merambah. Hal itu disebabkan antara lain karena factor ikut-ikutan, coba-coba dan akhirnya keterusan. Bagiku itu penting, dan kita tidak boleh tutup mata, seakan tabu membicarakan itu atau malah tertawa meledek. Tapi kita harus mencari solusi. Itu menurutku. Bagiku penelitian kali ini menarik, karena kami bertiga memiliki latar belakang yang cukup untuk dapat menemukan solusi terbaik bagi mereka yang mengalami perilaku seksual menyimpang.

Selain itu aku memiliki hal menarik juga untuk bisa kuungkapkan yaitu, aku dan laki-lakiku menyadari bahwa kami adalah sasaran empuk bagi mereka yang memiliki perilaku seksual menyimpang. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu. Hal itu terungkap ketika kami sedang bincang-bincang sore pada suatu hari, aku menceritakan pengalamanku di”gila-gila”i oleh seorang lesbian, saat aku masih kuliah dulu. Itu pula sebabnya mengapa aku mengambil topic lesbian untuk ujian akhir mata kuliah Sosiologi Perilaku Menyimang. Ternyata laki-lakiku pun memiliki cerita yang tak kalah seru juga, karena iapun memiliki pengalaman yang sama, yaitu di”gila-gila”i oleh seorang gay. “Hahaha...” Ketika itu kami tertawa bersama. “Jangan-jangan kita ada bakat juga ya bang jadi homoseksual” kataku padanya. “Ya mungkin juga” jawabnya ringan. Mengapa aku mengatakan begitu, karena setahuku, mereka yang memiliki homosexual sense bisa mengenali mereka yang juga memiliki sense yang sama. Jadi kami was-was juga, karena tidak menutup kemungkinan menjadi target sasaran para homoseksual. “Jangan-jangan kamu juga gay, atau... hetero?” tanyaku padanya. “Sembarangan… kamu juga dong...” jawabnya. “Masih enak meluk kamu, daripada meluk Ade Ray...” jawabnya lagi. Aduh… maaf Ade Ray, namamu jadi disebut-sebut. Maksud laki-lakiku adalah, lebih enak memeluk perempuan daripada memeluk sesama laki-laki. Hanya dia memang terlalu ekstrem menyimbolkan kejantanan dengan sosok seorang Ade Ray. “Tapi jangan salah Nong…” kata laki-lakiku lagi. Ia memanggilku Inong… Jadi bukan karena dahiku nonong… “Orang yang menyimpang itu… biasanya mereka adalah orang yang cerdas”. Aku mengangguk-angguk, mungkin ada benarnya juga. Tapi basically aku tidak tahu kebenaran dari pernyataan laki-lakiku itu, karena bagiku selama aku belum baca sendiri hasil penelitian yang menyatakan bahwa orang berperilaku menyimpang punya kecenderungan berotak cerdas, aku tidak mau berkomentar. Atau mungkin saja sudah ada penelitiannya, tapi aku yang belum baca… Bisa jadi….

Berita mutilasi di TV tadi, membuat tatapanku jadi nanar, pandanganku jadi menerawang. Gila juga orang itu.... pasti sudah gila dia. Atau malah aku yang sudah gila gara-gara berita criminal brengsek itu. Aku seakan berada di tempat kejadian dan melihat si tersangka yang tadi kulihat di TV tak berdaya dan sudah memar-memar, kini dengan beringas mencincang tubuh laki-laki “kekasih”nya itu. Menyeringai ia menoleh padaku sambil memamerkan lengan korban yang telah ditebas dari tubuhnya dan menyodorkannya padaku. Tetes-tetes darah nampak bagai sisa hujan sore hari. Aku menutup mulutku dengan kedua tangan, sambil membelalakkan mata. Menoleh ke kanan dan kiri. Sepi tak ada orang, kami hanya bertiga. Aku, tersangka dan korban yang sudah mulai tidak utuh lagi. Astaga kenapa aku jadi ada disini? Ooh Mak !!! ini tidak betul. Pasti ada yang salah. “Dia selingkuh, dia meninggalkanku…” suaranya parau. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi. Telingaku tidak salah dengarkah? “Kalau sudah seperti ini bentuknya, pasti dia tidak akan bisa selingkuh lagi kan? Sekarang dia benar-benar hanya untukku.” Sambungnya lagi, sambil memeluk potongan-potongan tubuh yang basah dengan darah. Menciuminya dengan penuh nafsu. Tersangka itupun seakan tak menghiraukan tubuhnya berlumuran darah segar korbannya. Ooh Mak!!! Aku ingin menjerit, tapi suaraku tak bisa keluar, seakan tersumbat oleh potongan kaki korban yang menyumpal memenuhi seluruh rongga mulutku. Mual rasaku... tapi aku tetap tidak bisa bergerak. Absurd, abstrak.... Astaga, apa yang terjadi padaku? Gay itu meringis-ringis mengelilingiku sambil menggendong tubuh “kekasih”nya yang sudah tanpa tangan, tanpa kepala, tanpa kaki. Monster keparat... Ia malah tertawa sambil terus menandak-nandak mengelilingiku, yang sedang bersusah payah seakan berusaha melepeh potongan kaki yang disumpalkan dimulutku. Ceceran darah membentuk lingkaran mengelilingiku. Ooh Mak !!! Apa ini? Please... aku tidak mau bercanda. Lepaskan aku dari sini... lepaskan aku dari performing art gay gila ini... Please... rintihku dalam hati. Rintihan ini kutujukan pada siapa? Aku tak tahu… Siapa sajalah yang bisa dengar rintihanku… yang penting aku segera keluar dari lingkaran iblis ini. Aku seperti sedang menjadi Dewi Shinta dalam cerita Ramayana, yang sedang berada di lingkaran ajaib yang dibuat oleh Laksmana, agar terhindar dari kejaran Rahwana. Tapi itu lingkaran keselamatan…Sekarang ini?… Lingkaran setan… Tersangka itu mulai menggapai-gapai tangannya berusaha merengkuh aku dalam pelukan sebelah kiri, sementara tangan kanannya tetap memeluk korban yang hanya tinggal badan saja… Bau anyir aroma darah tersebar menggelitik hidungku. Ooh Mak !!! tolong aku…

Aku tersentak ketika terdengar suara benda jatuh dari arah dapur... Astaga... Terima kasih Tuhan. Aku masih berada di depan layar kaca. Tubuhku terasa basah, aku ngeri membayangkan bahwa tubuhku basah oleh darah, seperti yang baru saja kualami. Perlahan aku lirik tubuhku sendiri dengan separuh mata... fiiuuh.... lega rasanya, karena hanya keringat bukan darah. Mimpi aku rupanya. Brengsek... bolehlah mimpi, tapi kenapa harus mimpi buruk seperti itu. Aku beranjak ke dapur, tempat asal suara kemelontang tadi. Aah... tikus gila. Biasanya aku segera menyumpah serapah, bila tikus-tikus itu membuat dapurku menjadi playground mereka. Tapi tidak kali ini. Terima kasih segera kuucapkan pada tikus keparat itu, karena telah menyelamatkan aku dari tersangka gila yang tak hentinya menandak mengelilingiku tadi. Aku kembali keruang tengah. Dilayar kaca Syaiful Djamil sedang bergoyang dangdut... Astaga, badannya yang kekar itu meliuk-liuk dengan lenturnya. Apa jadinya bila ia seperti korban dalam mimpiku tadi? Hanya badan, tanpa kepala, tanpa tangan, tanpa kaki.... tapi bisa meliuk-liuk, seperti yang kulihat tadi dalam pelukan tersangka. Aah... sumpah, kenapa aku jadi parno begini? Segera kuraih remote control, dan kubunuh layar kaca sialan itu. Lho… kenapa jadi TV nya yang salah? Terdengar suara dentang grandfather clock kuno merk Junghans peninggalan almarhum ayahku yang berdentang empat kali. Harus segera kutanya arti mimpiku pada pak Otto guru spiritualku, mudah-mudahan kejadian tadi hanya bunga tidur. Aah… genit sekali sang tidur, harus dengan persembahan bunga…

Aku tidak bisa konsentrasi mendengar diskusi yang biasanya membuatku sangat antusias. Mungkin karena aku terlalu letih melewati pesta dansa gila bertiga semalam. Ooh Mak !!! mohon ampuuun... Wajah Frans dan Max dihadapanku tampak kabur. Hanya nampak bibir-bibir mereka yang komat-kamit, sedangkan wajah mereka blur tak jelas. Ooh Mak !!! sudah gila sungguhan aku ini. Aku benar-benar tidak bisa konsentrasi dengan pembicaraan mereka tentang penelitian kami kali ini. Aah, aku tahu sekarang, mengapa bunga tidur semalam menghampiriku. Mungkin data-data tentang penelitian ini, telah membuatku penat. Hingga akhirnya pada saat aku melihat potongan mayat korban di berita semalam, semua tumpukan penat itu mencuat keatas, muncul menjadi sebuah gambaran nyata yang sangat mengerikan… Tapi itu juga baru mungkin…. Benar atau salahnya aku juga tidak tahu. Tapi tetap aku beri judul “Brengsek”. Max menyentuh dahiku yang berkeringat. “Loe kenapa sih mbak?” tanyanya sambil mencheck dahiku, mungkin aku demam. Aku segera menceritakan mimpiku semalam dengan terbata-bata. Max memandangiku dengan antusias. Sementara Frans menanggapinya dengan perkataan ringan saja, “Loe capek mbak, dah istirahat dulu deh. Diskusi kita lanjutin besok. Biar sekarang gue sama Max masukin data dari Rumah Sakit dulu”. Aku mengangguk, berterima kasih pada mereka, yang mau mengerti kondisiku. Max berdiri mendekatiku dan membantuku mengangkat badan yang kurasa sangat berat. “Max gendong...” rengekku pada Max. “Ogah... badan loe kan segede galon... Udah... berisik banget sih, sakit aja cerewet, gimana kalo sehat?” jawab Max sambil memapahku. “Brengsek...” jawabku. “Hahaha...” tawa Frans terdengar berderai.... Kurang ajar.

Mimpi buruk itu sudah dua bulan berlalu. “Terima kasih Tuhan, hanya sekali kau memberiku bunga tidur yang mengerikan itu”. Bukan bunga harum wangi, tapi lebih tepat kusebut sebagai bunga bangkai. Penelitian kami sudah hampir selesai. Saat ini kami sedang sibuk menyusun laporan penelitian yang akan kami presentasikan dua minggu lagi dihadapan direktur Rumah Sakit. Kulihat Frans sudah berkemas hendak pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Kutanya Frans dimana Max, “Masih di computer. Aku jalan ya mbak, mau jemput Rosa dulu.” Jawabnya sambil mengenakan jaketnya. Aku mengangguk dan melangkah ke dapur. Tapi aku urung dan berbelok menuju kantor, paling tidak aku mau menyapa Max yang pasti penat di depan komputer terus sejak tadi. Ku lihat ada yang aneh dengan Max. Ia menelungkup dimeja, didepan komputer. Dari belakang kulihat punggungnya naik turun dan kudengar isak seseorang sedang menangis. Aku mengernyitkan dahi. Max rupanya yang menangis. “Max...” panggilku sambil mendekat dan menepuk punggungnya. Max mengangkat wajahnya, dan segera memelukku. Ia menangis sejadinya di dadaku. Aku hampir jatuh ketika Max yang sebesar banteng itu menubrukku. Ingin aku memberondongnya dengan berjuta pertanyaan pertanyaan. Tapi aku sudah harus paham, pasti terjadi sesuatu yang sangat berat pada Max. Max memelukku sambil duduk, sementara aku tetap berdiri. Aku membalas pelukannya, membiarkan airmata sahabatku itu membasahi pakaianku pada bagian dada hingga perut itu. Perlahan kuusap kepalanya perlahan, sambil berdesis “Ssshhh… Ok Max, tumpahkan semua… Go head… buang semua sesakmu… Kamu boleh nangis…. “ Kuusap lembut kepalanya. Isaknya makin terdengar makin kencang. Aku mengangkat kedua alis mataku. Aduuuh.... bagaimana ini? Malah semakin kuat isaknya... Seorang Max, laki-laki dengan lengan berotot dan perut sixpack meraung seperti seorang bayi yang kehilangan puting susu ibunya. Mendadak Max berhenti. Ia mengangkat wajahnya menatapku. Aku membalas tatapannya, sambil tersenyum. Mencoba untuk masuk dalam perasaannya dan mengisyaratkan padanya bahwa aku sangat mengerti dirinya dan siap untuk menjadi tong sampahnya. “Gue capek mbak…” katanya disela napasnya yang masih tersengal. Aku tertawa, “Ya ampun Max… kalo loe capek, ya udah istirahat dulu. Kita masih punya banyak waktu, bisa loe terusin besok kok…” jawabku dengan lembut, berusaha untuk menenangkannya. Tapi Max menggelengkan kepala. Aku segera menariknya untuk duduk di sofa di ruang tamu kantor. Maksudku untuk membuatnya lebih nyaman. Sebenarnya aku juga tidak kuat harus menahan badannya yang sebesar banteng itu. Kami duduk berdampingan. Aku masih menunggu keterangan Max, walau aku tak tahu masalah apa yang akan disampaikan oleh Max, atau apapun lah yang telah membuatnya menjadi seperti itu.

“Gue capek mbak, gue dah nggak tahan lagi sama pacarku…” suaranya terbata-bata. Aku mengernyitkan dahi. Kali ini aku yang terkejut, “Jadi loe punya pacar Max?”. Ia menganggukkan kepala menjawab keingin tahuanku. “Dan pacar gue sekarang ini ninggalin gue…”. Lalu? Tak sadar mataku membelalak, seluruh perbendaharaan kata ku lenyap dan mulutku ternganga lebar begitu mendengar kalimat Max selanjutnya, “Pacarku cowoq mbak… gue gay…”. Ooh Mak !!! Sontak lintasan peristiwa pesta dansa gila dalam mimpiku seakan hadir lagi dihadapanku. Terasa badanku basah berkeringat, didalam ruangan kantorku dengan temperature AC 17 derajat. Astaga... “Pantesan kamu cerdas Max, otakmu cemerlang... IP mu 4. Kalau begitu ada benarnya juga kata laki-lakiku.” Kataku dalam hati. Max masih menatapku, aku membalas tatapannya tanpa berkata-kata. Perlahan matanya mulai membasah dan airmatanya mulai mengalir lagi perlahan. Aku tidak tahan melihat Max, sahabatku, adikku yang selama ini sangat kusayangi. Aku memutuskan untuk dapat menerima dia apa adanya. Ia pasti membutuhkan dukunganku. Tanpa meminta ijinku, Max merebahkan kepalanya di pangkuanku dan ia kembali terisak. Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Apakah aku sedang bermimpi seperti dua bulan silam? Bibirku terasa perih... Ooh Mak!!! Tidak... rupanya aku tidak sedang bermimpi. Ini nyata. Perlahan kembali kuusap kepala Max dengan lembut. Bibirku masih kaku, seperti terekat super glue yang membuat bibirku terasa lekat satu dengan yang lain. “Gue harap loe bisa ngertiin gue ya mbak... Loe masih mau jadi temen gue kan mbak?… masih mau jadi kakak gue kan mbak? Setelah loe tau gimana gue yang sebenernya?” Suaranya parau. Aku masih membelai kepalanya, mengangguk, sambil memejamkan mataku. Tentu Max tidak melihat anggukan kepalaku, karena ia masih terisak dipangkuanku. “Iya Max… gak usah khawatir. Sampai kapanpun, gue tetep temen loe, gue tetep kakak loe…dan gue selalu siap bantu elo.” Aku menenangkan Max dengan suara lembut yang kubisikkan di telinganya. Max nampak jauh lebih tenang dari sebelumnya. “Namun satu hal yang harus kamu tahu Max” kataku dalam hati sambil masih membelai lembut kepalanya, “Aku memang bisa menerimamu apa adanya, karena kau adalah sahabatku, kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Tapi .... awas Max, aku akan menjelma menjadi mahluk yang lebih mengerikan dari yang kualami dalam mimpiku. Tanpa ampun aku akan mencincangmu seperti korban di TV itu, bila kau ambil laki-lakiku… Karena dia hanya untukku, hanya untuk aku.” Tiba-tiba aku merasa Max adalah rivalku... Ooh Mak !!!

Mampang, 22 April 2008

09 July 2008

Seperti katamu ; "Hidup Penuh Warna"



Benar juga lah kiranya kata-katamu ; "HIDUP PENUH WARNA".

Tidak selamanya komposisi warna yang indah akan menghasilkan campuran warna yang indah. Kalau warna merah dicampur putih... jadinya PINK... terkesan lucu, imut, segar, muda dan sebagainya. Tapi kalau dengan hati crowded kita campurkan segala warna.... hasilnya jauh dari indah...

Tidak semua orang punya kesempatan untuk bisa mencampur warna.... Oleh karenanya haruslah bijak kita mencampurnya. Harus dengan kesadaran diri dan kerendahan hati pula kita melakukannya. Tidak bisa semena-mena, campuran warna indah pasti akan menghasilkan warna yang indah pula. Ternyata tidak begitu juga.

Tidak semua orang mengerti bahwa hidup adalah proses mencampur warna. Seakan apa yang kita jalani adalah kehidupan rutin yang biasa... padahal tanpa kita sadari setiap hari kita sedang melakukan proses pencampuran warna. Amaziiiing.....

Sebuah pembelajaran baru telah "kita" lewati.
(Bersyukur tidak semua orang bisa memiliki kesempatan untuk melakukannya).
Bersyukur "kita" menyadari bahwa rajutan ini adalah pula niatan hati "kita" untuk mencari warna indah yang akan menghiasi relung hati untuk bisa "kita" jalani dan "kita" nikmati bersama.

Kata-kataku kali ini abstrak dan penuh simbol.
Hanya "kita" yang yang tahu, hanya "kita" yang bisa mencerna.
Betapa indahnya....

Crowded, 8 Juli 2008

03 July 2008

Misteri Bunga Melati (4)


Dari belakang kuikuti mobil mas Yudi. Mengarah ke daerah selatan. Dengan tetap mengawasi mobil suamiku, aku teringat kata-kata yang selalu dilontarkan mas Yudi padaku, "Be positif, Honey...." Simpel sepertinya, tepat maknanya, tetapi sulit untuk bisa dijalankan rupanya. Itulah uniknya si "positif" itu. Aku geleng-geleng kepala sendiri....
Mas Yudi membelokkan mobilnya kesebuah gang sempit. Tak mungkin aku mengikutinya, karena ia pasti akan tahu keberadaanku dibelakangnya. Oleh karena itu aku segera melaju kembali kejalan besar. Kupikir, besok saja aku kembali ketempat itu seorang diri.
Esok paginya, jam 8 pagi aku sudah berada di mulut gang yang sama dengan kemarin. Perlahan mobilku melaju masuk kedalam gang sempit itu. Jam-jam segini memang jamnya tukang sayur bisa menjadi seorang Don Juan... dikelilingi oleh ibu-ibu muda yang sibuk mengelilingi gerobak sayurnya. Merayu si abang sayur agar memberikan harga murah, ditengah mahalnya harga kebutuhan hidup lainnya. Beli cabe 500 rupiah saja, harus bermanis-manis pada abang sayur agar bisa diberi tambahan barang 2 batang cabe... Sang Don Juan oke saja kehilangan 2 batang cabe, yang penting bisa sambil sedikit nyenggol-nyenggol dan kalau nasib baik, bisa juga nyemol bokong sang pelanggan. Aku geleng-geleng kepala lagi, bayangkan saja jalan sudah sesempit ini, masih dipenuhi dengan gerobak sayur. Konsentrasiku untuk menjadi seorang detektif swasta tak ingin terganggu dengan fenomena abang sayur, oleh karenanya kembali kuperhatikan satu persatu rumah yang ada tanaman melatinya. Makin jauh aku masuk gang itu, baru kutahu bahwa jalan ini buntu. Mati aku....!! Namun tiba-tiba tatapanku tertumbuk pada sebuah pagar yang ditanami tanaman melati penuh sepanjang pagar. Aaaah.... disini rupanya melati-melati itu berasal. Kuberanikan diri untuk memasuki rumah berpagar kayu yang dipenuhi dengan tanaman bunga melati. Kuketuk pagar beberapa kali, tak ada respon sama sekali. Pagar tetap kuketuk... mulai dari pelan sampai keras. Baru setelah agak kencang aku mengetuk, terdengar pagar dibuka dari dalam. Aaaaah.... aku terkejut, ketika kulihat bapak gemuk bertopi Tino Sidin yang kulihat tempo hari di TIM bersama suamiku muncul dari balik pagar. "Selamat pagi, pak" sapaku. "Ya.. selamat pagi, bu. Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya ramah. Aku melihat halaman rumah yang begitu luas dari luar pagar. Bagak gendut ini tidak mempersilahkan aku masuk. Aku tetap berada diluar pagar. Tapi sekilas aku sudah bisa melihat dalam rumah yang luas itu. Sesaat aku terhenyak, ketika angin berhembus dan terasa aroma bunga melati menusuk kuat ke hidungku. "Ibu mau mencari siapa?" Tanya Bapak gendut itu, ketika aku sedang tercekat sesaat akan aroma melati yang ternyata memang berbunga cantik menghiasi pagar. "Begini, pak" jawabku agak terbata-bata. "Apakah bapak kenal dengan Yudistira?" tanyaku padanya. "Yudistira siapa ya?" Tanyanya lagi. "Eem, panggilannya mas Yudi." jawabku. "Oooh, mas Yudi? ya kenal bu... ada apa?" Aku bingung, mau memulai dari mana. Bapak gendut itu mulai kembali menangkap kegelisahanku. "Eem maaf pak, ini rumah siapa ya?". Bapak gendut itu menatapku, sambil kemudian membuka pagar agak lebar. Sekelebat, aku melihat sosok bayangan seorang perempuan berambut sebahu melintas dibalik jendela. Tak sadar aku melongokkan kepala untuk dapat lebih memastikan sosok perempuan itu. Bapak gendut yang ada dihadapanku mendehem, kemudian menjawab pertanyaanku. "Ini dulu rumah bu Oline". "Dulu?" tanyaku menyelidik. "Eeem... Bisa saya bertemu dengan ibu Olin, pak?". Bapak gendut itu mengernyitkan dahi, sambil kemudian menoleh ke arah kiri. Aku mengikuti pandangannya dan kulilhat sebuah batu nisan disana bertuliskan CAROLINE INDRAKUSUMA. "Aaaaah..." aku terpekik. Kembali kulihat kelebatan sosok perempuan dari balik pintu. "Jadi..?" suaraku terdengar parau. "Ini makam ibu Oline, pemilik rumah ini". Bapak gendut itu menjelaskan. "Lalu mas Yudi kalau kesini bertemu siapa, pak?" tanyaku. "Ya cuma ketemu saya. Saya ini pengasuhnya bu Oline sejak almarhumah masih kecil. Setahu saya mas Yudi sedang menulis tentang biografinya bu Oline." jawabnya sambil kulihat ada genangan air mata disana. Sosok perempuan itu, muncul lagi di balik jendela rumah. Kuberanikan diri menanyakannya pada bapak gendut itu. "Maaf pak, lalu yang tinggal dirumah itu siapa?" tunjukku ke rumah besar itu. "Ya, nggak ada orang, bu... sudah tidak ada yang tinggal dirumah itu lagi." Mendadak aku pening, sakit kepalaku menyerang. Aroma melati kembali menusuk-nusuk hidungku.... Aaah... inilah akibatnya bila aku usil dan sok tahu. Aku tidak tahu, rasanya infestigasiku harus segera kuakhiri sampai disini dan be positif seperti yang sering dikatakan mas Yudi. Berarti benar bahwa mas Yudi suamiku memang sedang bekerja, menulis sebuah biografi CAROLINE INDRAKUSUMA, seorang penyair yang tewas dalam pembunuhan tragis oleh seorang penggemarnya saat pementasan. Maafkan aku suamiku, maafkan atas kecurigaanku. Maafkan atas ketidak percayaanku padamu. Aku mencintaimu suamiku... Kau tercipta hanya untukku.
Ditepi pantai Marina, Yudi memeluk Oline erat. "I Love you, Honey.." desis Yudi ditelinga Oline. Oline memejamkan mata yang memanas, ingin rasanya ia menjawab dengan tegas dan jelas "I Love you too, sweetheart..." namun tak juga dapat ia ucapkan. Ia hanya dapat menganggukan kepala sambil menikmati pelukan laki-laki itu. Yudi melepaskan pelukannya dan mengepit wajah Oline yang basah oleh air mata dengan kedua telapak tangannya, mengecup dahi perempuan berambut sebahu itu dengan lembut, "Cantikku, sayangku, manisku... I Love you... Anytime and forever. You belongs to me and I belongs to you. You are the besting in my life. You are the one and the only. You are my real wife....." T A M A T
Medio Mampang, 3 Juli 2008