04 October 2008
Mengenang seorang MOERDOPO 1
Pringgondani TAWANGMANGU, di lereng Gunung Lawu...
Tanggal 26 Februari 1990, seorang MOERDOPO terkulai lemah dan menghadap Sang Khalik....
Tepat dilokasi inilah ayahku mangkat, 18 tahun yanga lalu.
Perjalanan hidup bersamanya terhenti dengan begitu tiba-tiba. Tanpa ada pertanda yang aku rasakan.
Semua sirna dengan begitu cepatnya.....
Ditempat ini.... Pringgondani, di Lereng Gunung Lawu
30 September 2008
19 September 2008
Sebuah perjalanan dalam lorong kepenulisan
Jangankan dia, aku sendiri pun tidak menyangka bahwa akhirnya aku memasuki sebuah koridor baru dalam dunia tulis menulis, yang sebenarnya dari dulu sudah kulakukan.
apa yang terjadi dulu???
Sejak SD, aku memang sudah sering mencorat-coret kertas dengan cerita-cerita pendek yang kemudian kertas itu hilang, terbang tertiup angin tanpa sempat kuselesaikan. Mengapa begitu? aku pun tidak tahu secara pasti, apakah karena terlalu liarnya imaginasi, sehingga otakku yang kecil ini tidak sanggup menampung ribuan hal indah yang sebenarnya dapat kuungkapkan dalam sebuah rangkaian kata. Atau karena "keset" (malas;dalam bahasa jawa) yang sering diteriakkan ibuku, untuk menulis. Atau juga karena pada saat itu, banyak hal yang lebih menarik untuk kulakukan, sehingga imajinasi dan kreatifitasku untuk merangkai kata menjadi mendua.
Tapi ternyata tidak ada kata terlambat !!!!
Setelah melalui perjalanan panjang kehidupan dalam kurun waktu yang tidak singkat. Juga dengan berjuta pengalaman hidup yang beraneka warna yang juga sempat kujalani, kualami dan mungkin juga kunikmati.... ditanah seberang yang tidak pernah kuduga pula yaitu Aceh... aku mulai menangkap kata-kata yang tadinya hanya terbang-terbang disekelilingku, mengumpulkannya dan kemudian merangkainya dalam sebuah karya yang kemudian bisa bermakna dalam hidupku.
Kini, namaku sebagai seorang penulis sudah mulai muncul... paling tidak di toko buku Gramedia, sebaris namaku sudah mulai terbaca orang. Baik yang sengaja mencari, sengaja melihat, atau tidak sengaja, atau sambil lalu, atau terbaca tapi tidak sangkut di pikiran, karena memang bukan bukuku yang dituju. Tidak apa-apa.... ini sebuah rintisan baru dalam sejarah hidup diusiaku ke 40 tahun.... Tidak muda lagi.... Kadang menyesal juga kenapa baru diusiaku tepat 40 tahun, baru jadi barang itu....
Kembali kukatakan ... Tidak ada kata terlambat... !!!
Saat bukuku sedang dalam proses penerbitan, ada rasa gamang juga dalam diriku.... apakah buku ini dapat diterima oleh calon pembacaku nanti? Bagus atau tidak? menarik atau sampah? Pergumulan hebat telah terjadi padaku saat itu. Mungkin itu wajar, karena ini adalah tulisan pertamaku yang akan diterbitkan oleh sebuah kelompok penerbitan yang di labelkan "bergengsi" yaitu GRASINDO. Banyak juga yang mengomentari kehebatanku, bahwa tulisanku bisa diterima oleh kelompok penerbitan GRAMEDIA. Memang sudah rejekiku.... seperti kata orang tua-tua dan sampai saat ini masih menjadi pegangan.... "Rejeki nggak kemana..."
Saat ini bukuku sudah mulai beredar, dan bagiku sangat mengharukan karena kegamangan yang terjadi sebelum buku itu terbit sirna. Mengapa? karena sebagian besar pembaca memberikan tanggapan yang luar biasa..... Positif dan sangat membangun.... Hingga pada suatu malam, kubolak-balik lagi lembar demi lembar tulisanku.... PEREMPUAN KEUMALA.... hingga akhirnya tersadar olehku buku itu tetap dalam dekapanku hingga pagi menjelang.... "Ya Tuhan... terima kasih banyak".
Mudah-mudahan bukuku ini, dapat mem"virus"i para calon pembaca untuk menjadi pembaca, untuk kemudian dapat memaknai tulisanku sebagai sebuah tambahan warna dalam kehidupan pembacaku.... itu sungguh harapanku.
Bukan waktunya lagi aku untuk berdiam diri, karena aku harus mulai mempersiapkan segala sesuatunya untuk karyaku berikutnya... Identitas baru, baru saja tersemat dipundakku. Oleh karenanya aku harus semakin banyak membekali diri, agar semakin mantab kiranya langkahku melaju.
Seperti kata Adi, seorang sobatku "mbak, loe dah buka pintu. Sekarang waktunya untuk mulai menapaki sebuah lorong baru yaitu lorong kepenulisan...."
Salam
Endang Moerdopo
10 September 2008
Ungkapan Rasa Terima Kasih
Dengan penuh kebanggaan, aku bisa mempersembahkan karyaku ini bagi pembaca semua.
Kini PEREMPUAN KEUMALA telah lahir, sebagai sebuah tanda kasihku pada bangsaku dan tumpah darahku, Indonesia tercinta.
Dan sejak ini pula, PEREMPUAN KEUMALA bukan hanya milik masyarakat Aceh saja, namun juga milik masyarakat Indonesia, bahkan milik dunia. Semoga kita bisa meneladani nilai-nilai perjuangan yang telah dibuktikannya bagi tanah tercinta.
PEREMPUAN KEUMALA, juga kupersembahkan kepada pembaca tercinta saudara-saudaraku di tanah Nanggroe. Ini adalah hasil jerih payahku selama aku berada disana. Hasil ini tak akan pernah habis dimakan waktu. Bagiku tulisan ini adalah abadi seumur hidupku.
Ini bukan sebuah akhir, namun ini adalah tonggak awal aku harus memulai lagi kerja kerasku untuk langkah selanjutnya.
Terima kasih banyak atas semua dukungannya, baik moril maupun materiil.
Salam.
Endang Moerdopo
23 August 2008
Apresiasi dari seorang Arswendo Atmowiloto
Aku tercengang saat mas Wendo dengan begitu lancar menceritakan kembali bab 7 dari tulisanku PEREMPUAN KEUMALA. Dengan gaya bicaranya yang keras namun lugas beliau mengatakan bahwa aku mampu dengan baik dan detil menggambarkan gejolak suasana hati Keumala. Beberapa kali mas Wendo mengulang kembali menceritakan tentang bagaimana ikan-ikan dan angsa-angsa yang berkejaran di kolam istana.... baginya bagian itu merupakan bagian yang paling menyentuh dan DAHSYAT...!!!
22 August 2008
Dream Come True
Dua tahun bukan waktu yang pendek... namun juga bukan waktu yang panjang untuk sebuah kesempurnaan....
Semua berpulang kepada pembaca....
Aku sudah terlalu banyak bicara melalui buku ini, oleh karenanya mohon tanggapan dan masukannya untuk memperkaya warna...
Mohon doa restu atas segala daya dan upaya yang telah kulakukan untuk menyumbangkan sedikit warna, bagi NANGGROE tercinta.....
Sekaligus mohon kehadirannya untuk lebih menghidupkan kobaran jiwa yang kini sedang menyala di dalam dada.....
Saleum
Endang Moerdopo
Persembahan untuk NANGRROE tercinta
Ukuran buku : 14 x 20 cm
Jumlah Halaman : 360 halaman
Penerbit : PT. GRAMEDIA WIDIASARANA INDONESIA (GRASINDO)
Harga : Rp. 52,000,-
Peluncuran Buku : Tanggal 27 Agustus 2008, di Toko Buku GRAMEDIA Matraman, Pukul 16 - 18 WIB.
SINOPSIS
Prolog dalam cerita ini menggambarkan pengalaman Hira, seorang pekerja sosial yang sedang bertugas di Nanggroe Aceh Darussalam pasca bencana. Kekagumannya pada pahlawan perempuan Keumalahayati membuatnya ingin menggali lebih jauh siapa sosok perempuan itu. Keprihatinan atas kurangnya penghargaan generasi muda saat ini kepada Laksamana Malahayati, membawanya masuk dalam kehidupan Laksamana perempuan itu.
Cerita dalam buku ini dimulai sejak Keumalahayati masih menjalani pendidikan di tempat belajar militer kerajaan yaitu Mahad Baitul Maqdis. Tempat inilah yang mencetak para perwira tangguh yang memperkuat pertahanan Kerajaan Aceh Darussalam. Di tempat belajar ini pulalah Keumalahayati bertemu dengan Tuanku Mahmuddin Bin Said Al Latief taruna senior yang kemudian menjadi suaminya.
Setelah lulus dari tempat pendidikan militer tersebut, keduanya menikah dan mereka mengabdikan diri menjadi pejabat tinggi kerajaan. Tuanku Mahmuddin Bin Said Al Latief menjadi Panglima Armada Selat Malaka dan Keumalahayati menjadi Komandan Protokol Istana. Kisah sepak terjang keberanian Keumalahayati di kerajaan Darud Donya Darussalam berawal dari kematian suaminya yang tewas dalam pertempuran di teluk Haru. Tak lama setelah kematian suaminya, Keumalahayati harus lagi mengalami cobaan yang disebabkan oleh penculikan putri tunggal tercintanya yang dilakukan oleh sesama petinggi kerajaan.
Sejalan dengan malapetaka yang terus menerus menderanya, membuat Keumala tak mampu untuk menjalankan tugas dengan baik. Hal ini disebabkan karena kekacauan yang terjadi di tanah nanggroe, baik dari luar kerajaan, antara lain karena para orang kaya yang bersekutu dengan Portugis pendatang yang hanya mencari keuntungan diri sendiri, maupun dari dalam lingkungan kerajaan, yaitu rencana kudeta yang akan dilakukan oleh Sultan Muda, putra Baginda Sultan sendiri.
Pada masa-masa kesedihannya inilah yang membuat Keumala seakan menjadi putus asa, dan situasi ini dimanfaatkan oleh mereka yang memiliki kepentingan untuk melenyapkan Keumala. Mereka mengirimkan mantera Tapak Tuan (mantera yang membuat orang menjadi tak berdaya) agar Keumala dipecat dari Kerajaan. Namun Keumala adalah seorang yang kuat, baik secara fisik maupun keimanan, maka dengan segera mantera yang sempat mempengaruhinya tersebut hilang dan Keumala menyadari keadaan negerinya yang semakin kacau dan carut marut.
Berangkat dari rasa tanggung jawab dan rasa kehilangan inilah yang memacunya untuk bangkit berdiri membela negeri sekaligus membela kebenaran, dengan membentuk ARMADA INONG BALEE (Armada janda) yang semuanya terdiri dari kaum perempuan yang telah menjadi janda, karena suami-suami mereka tewas dalam pertempuran di teluk Haru, yang juga menewaskan suami Keumalahayati. Selama memimpin Armada Inong Balee, Keumalahayati telah mampu unjuk gigi dengan melenyapkan siapa saja yang berani melawan daulat (perintah) Baginda Sultan. Seluk beluk kehidupan kekacauan yang disebabkan oleh intrik-intrik yang terjadi di Kerajaan Aceh Darussalam justru semakin membuat Laksamana Keumalahayati menjadi sosok manusia yang tegar, tangguh dan seakan tanpa hati. Sementara jauh dibalik semua itu, ia tetaplah seorang manusia biasa, perempuan biasa, yang juga memiliki kasih, memiliki cinta dan memiliki naluri seorang ibu. Cerita dalam novel ini ditutup dengan perkelahian sengit antara Laksamana Keumalahayati dengan pendatang Belanda pertama di Nusantara yaitu Cornelis De Houtman dengan kemenangan berada di pihak Laksamana Keumalahayati. Ia berhasil membunuhnya melalui pertempuran satu lawan satu diatas geladak kapal.
Dalam Epilog digambarkan keprihatinan Laksamana Malahayati terhadap Nanggroe Aceh Darussalam yang saat ini seakan telah porak poranda, sejak konflik hingga bencana besar gempa bumi dan tsunami yang telah membuat sendi-sendi kehidupan seakan luluh rantak. Melalui titian waktu sosok Laksamana Keumalahayati ingin meneriakkan semangat perjuangan kepada seluruh manusia yang seakan tertidur dalam tenang, sementara kehidupan tetap harus diperjuangkan.
14 August 2008
Mereguk Restu "IBU" ; 3
Mereguk Restu "IBU" ; 2
Kuucapkan salam saat aku membuka pintu gerbang makam.
Kulihat makam penuh dengan debu...
Dengan niatan hati yang tulus, segera ku sapu debu dan daun-daun kering diseputar nisan. Kubasuh nisan dan batu dengan air yang memang sudah kusiapkan....
Dalam hati aku menyebut nama ALLAH ribuan kali banyaknya, serta melantunkan doa untuk ketenangan dan ketentraman hati Ibu. Sambil terus mengusir debu yang menebal di tanah makam.
"Ibu... kulantunkan doa untukmu...."
Mereguk Restu "IBU" ; 1
05 August 2008
PEREMPUAN KEUMALA ; Sebuah Master Piece
Untuk menghasilkan sebuah karya seperti PEREMPUAN KEUMALA ini, aku dengan rela menghabiskan waktu selama 2 tahun. Entah mengapa, aku begitu sayang dengan karyaku ini. Semakin sempurna kebahagiaanku, saat dengan tegas mas Bimo dari PT. GRASINDO menyambut karyaku ini.
Mungkin bagi orang lain, hal ini adalah biasa... Tapi bagiku ini adalah luar biasa. Jelas mungkin saja pada saat peluncurannya nanti akan banyak friksi yang terjadi. Bisa jadi karena aku bukan orang Aceh... tapi seakan sok tau menulis tentang seorang Inong Aceh. Juga dengan karakteristik masyarakat Aceh. Tapi aku maju terus, karena aku merasa yakin bahwa "Pesan" ini harus tersampaikan. Siapapun pembawa pesan.... tidaklah menjadi penting, ketika pesan itu sendiri bertujuan sebagai sebuah kebangunan dan kesadaran akan sebuah pilihan (seperti komentar mas Arswendo Atmowiloto dalam bukuku nanti). Bila aku cemas dan ragu untuk menghadapi apa yang akan terjadi setelah peluncuran nanti, tentu tulisan ini tidak akan pernah kuselesaikan. Akan segera kututup rapi dan aku akan segera beralih mencari topik "Yang Ringan dan Yang Lucu" saja.
Tapi itu semua adalah ANUGRAH bagiku, karena tidak semua orang memiliki kesempatan untuk dapat ber"silaturahmi" dengan sosok sang Laksamana....
Oleh karenanya kubagikan pengalaman Silaturahmi ku dengan sang Laksamana kebanggaanku pada pembaca semua....
Alhamdulillah, sampai saat ini semua berjalan dengan baik dan lancar. Oleh karenanya, penting bagiku untuk kembali ke tanah NANGGROE untuk membasahi makamnya dengan doa dan dengan air segar yang memang sengaja kubawa dari Jakarta. Oooh.. Mak... pasti ini dianggap musrik pula !!!!
Tidak, ini bukan musrik. Ini adalah sebuah tanda kasih. Kasih yang tak akan terputus .... antara diriku; seorang EM kepada idolanya... LAKSAMANA KEUMALAHAYATI.....
Saleum
EM
04 August 2008
PEREMPUAN KEUMALA
15 July 2008
Katoer Bapak...
Sadarkah kau, bahwa Desember ini adalah Desember kedua tanpa kehadiranmu.
Aku tak tahu engkau ada dimana,
kata imam kau berada di tempat yang jauh lebih indah dari dunia ini.
Dari mana imam tahu, sedangkan ia sendiri belum pernah mati.
Tahukah kau, ibu kini sendiri
dikelilingi bocah-bocah centil yang pasti makan hati,
untuk lupakan kenangan indah bersamamu.
Desember ini adalah Desember kedua tanpa kehadiranmu.
tak ada lagi, balon-balon yang tergantung di ruang tengah untuk merayakan ultahmu,
dan yang pasti tak ada lagi pesta ulangtahun di Kukusan seperti waktu itu.
Aku tak tahu engkau ada dimana,
karena jawaban yang kudapat hanyalah sama...
entah itu dari ibu, dari kakak, dari sahabat, dari imam
bahkan dari orang gila sekalipun.
tapi aku telah siap untuk menghadapi
Desember-Desember lain yang pasti tanpamu
karena aku tahu pasti kau memang tidak akan kembali padaku lagi.
Narada, 18 Desember 1991
Endang Moerdopo
Medio, Minggu Kedua Januari 1992
Suara Karya Minggu, Halaman II
(Jadul...? Yup... karena saat ini aku sangat merindukan papaku... kutulis dengan tinta jingga karena ini warna kesayangannya....)
13 July 2008
SUWUNG....
Jerat semakin kuat mencekik leherku. Seakan aku tak kuasa lagi untuk berteriak. Kalaupun kuberteriak, seakan tak ada suara yang terdengar. Sehingga orang-orang disekelilingkupun tak pernah tengarai ada apa denganku. Yang mereka tahu, aku hanya menebar senyum selalu selama hari berlalu. Tanpa beban kelu yang sebenarnya mengikatku.
Jerat semakin kuat mengikatku. Setelah tahun berganti tahun harus tetap berada disini, dijalan ini. Tak ada satupun yang menempatkanku menjadi nomor satu. Tak ada orang yang mau membawaku pergi dan berlari, walau mereka tahu begitu kuat ikat menjeratku. Tak satu orang yang kutuju, untuk membebaskanku dari jerat yang semakin membuatku kaku.
Hidupku adalah hampa, walau penuh warna. Kosong hanya nampak dinding yang penuh coretan beraneka rupa. Semua pergi, semua berlari dengan pikiran dan tujuannya sendiri. Saat membutuhkanku, kembali menoleh padaku. Dan mencoretkan lagi dengan kuas berwarna-warni di dinding yang semakin hari semakin padat berisi. Namun ruang itu tetaplah kosong... SUWUNG....
Medio 6 Desember 2007
10 July 2008
Ooh Maak.. !!!
Berita ini akan kubawa besok pagi dalam diskusiku dengan Frans dan Max, sahabat-sahabatku, sekaligus tim penelitianku yang sudah kuanggap adik-adikku sendiri. Bagiku berita ini penting sebagai data sekunder penelitian kami. Kebetulan saat ini kami bertiga sedang melakukan penelitian tentang perilaku seksual menyimpang, bekerjasama dengan sebuah Rumah Sakit Pemerintah. Berita tadi, kuanggap penting sebagai data sekunder yang dapat mendukung pernyataan tentang adanya kecenderungan orang-orang yang memiliki penyimpangan perilaku seksual -dalam hal ini cinta sejenis baik gay ataupun lesbian- memiliki sense of belonging yang lebih tinggi dibandingkan dengan perilaku orang normal. Hal ini juga pernah kutemukan dalam penelitianku tahun 1994 dahulu, ketika aku mengambil mata kuliah Sosiologi Perilaku Menyimpang. Dalam mata kuliah itu dijelaskan oleh dosenku bahwa salah satu bentuk dari perilaku menyimpang adalah penyimpangan perilaku seksual, yaitu homoseksual, baik gay untuk laki-laki dan lesbian untuk perempuan. Untuk bisa lulus dalam mata kuliah itu, ujian akhir diganti dengan penelitian. Kala itu aku meneliti tentang perilaku seksual meyimpang pada lesbian. Mengapa aku mengambil perilaku seks menyimpang, karena menurutku masalah seks merupakan topic yang menarik dibandingkan masalah-masalah penyimpangan yang lain. Aku terang-terangan saja mengatakan demikian, karena memang itulah kenyataannya. Banyak yang kemudian juga menganggapku bicara terlalu vulgar. Bagiku sex bukan masalah tabu, justru itu harus dikomunikasikan. Alasannya? Karena banyak suami-suami yang berakhir di ranjang pelacur, karena sang istri menganggap hubungan intim yang aneh-aneh adalah tabu. Sementara suami-suami adalah seorang petualang sejati yang menginginkan sesuatu yang lain, variasi cukup penting dalam hubungan coitus intercourse antara suami dan istri. Nah, yang seperti inilah yang kadang membuatku dicap terlalu vulgar. Padahal menurutku komunikasi dalam berhubungan sex itu penting untuk kelangsungan dan kelanggengan rumah tangga. Aku kadang heran, banyak orang yang sepertinya tabu membicarakan masalah sex, padahal dalam hatinya mau… dan tidak sedikit juga yang curi-curi dengar pembicaraan orang, walau seakan memasang muka cuek dan memandang kami dengan wajah jijik. Ah... tabu tapi mau...
Kembali lagi ke masalah temuan penelitian lesbianku dulu, ya memang begitulah mereka, karena jumlah mereka yang sedikit, maka mereka berusaha mempertahankan pasangannya. Dengan demikian, maka sering kali mereka tidak ragu untuk melakukan tindak kekerasan. “Aku tidak mendapatkan kamu, orang lainpun tak ada yang boleh mendapatkanmu...” Ooh Mak !!! Ngeri kali.... Walaupun tidak semua begitu dan tidak selalu begitu... tapi tetap saja... Ooh Mak!!! Ngerinya...
Sebagai seorang aktifis HIV / AIDS sebuah lembaga swadaya masyarakat, Frans gencar memerangi mereka yang memiliki perilaku seksual menyimpang. Ia selalu mengkaitkan perilaku seksual menyimpang dengan faktor kesehatan terkait dengan penyakit HIV / AIDS yang sudah begitu ngelotok di kepalanya. Frans sangat anti dengan perilaku anal seks yang sering dilakukan oleh para gay. Dengan gamblang ia menjelaskan bagaimana proses penularan virus yang disebarkan melalui hubungan anal. Bagiku penjelasannya jauh dari jorok, tapi justru menjadi sebuah pengetahuan yang sangat berharga. Ia begitu concern dan sangat menguasai. Hebat… dan yang membuatku makin kagum adalah konsistensinya dengan masalah itu. Sejak aku mengenalnya sepuluh tahun yang lalu, sampai detik ini ia masih setia melayani mereka yang terkena HIV/AIDS. Hebat... Max lain lagi, perilaku menyimpang dilihat dari paradigma lingkungan social. Ia begitu fasih menjelaskan peta perilaku menyimpang yang saat ini berkembang di masyarakat. Bagaimana perkembangan perilaku seksual menyimpang yang muncul dan selalu menyajikan data terbaru dari trend para pelaku seksual menyimpang. Max dengan segala keterangannya juga menyadarkan aku bagaimana perilaku seksual itu menjadi begitu mudah merambah. Hal itu disebabkan antara lain karena factor ikut-ikutan, coba-coba dan akhirnya keterusan. Bagiku itu penting, dan kita tidak boleh tutup mata, seakan tabu membicarakan itu atau malah tertawa meledek. Tapi kita harus mencari solusi. Itu menurutku. Bagiku penelitian kali ini menarik, karena kami bertiga memiliki latar belakang yang cukup untuk dapat menemukan solusi terbaik bagi mereka yang mengalami perilaku seksual menyimpang.
Selain itu aku memiliki hal menarik juga untuk bisa kuungkapkan yaitu, aku dan laki-lakiku menyadari bahwa kami adalah sasaran empuk bagi mereka yang memiliki perilaku seksual menyimpang. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu. Hal itu terungkap ketika kami sedang bincang-bincang sore pada suatu hari, aku menceritakan pengalamanku di”gila-gila”i oleh seorang lesbian, saat aku masih kuliah dulu. Itu pula sebabnya mengapa aku mengambil topic lesbian untuk ujian akhir mata kuliah Sosiologi Perilaku Menyimang. Ternyata laki-lakiku pun memiliki cerita yang tak kalah seru juga, karena iapun memiliki pengalaman yang sama, yaitu di”gila-gila”i oleh seorang gay. “Hahaha...” Ketika itu kami tertawa bersama. “Jangan-jangan kita ada bakat juga ya bang jadi homoseksual” kataku padanya. “Ya mungkin juga” jawabnya ringan. Mengapa aku mengatakan begitu, karena setahuku, mereka yang memiliki homosexual sense bisa mengenali mereka yang juga memiliki sense yang sama. Jadi kami was-was juga, karena tidak menutup kemungkinan menjadi target sasaran para homoseksual. “Jangan-jangan kamu juga gay, atau... hetero?” tanyaku padanya. “Sembarangan… kamu juga dong...” jawabnya. “Masih enak meluk kamu, daripada meluk Ade Ray...” jawabnya lagi. Aduh… maaf Ade Ray, namamu jadi disebut-sebut. Maksud laki-lakiku adalah, lebih enak memeluk perempuan daripada memeluk sesama laki-laki. Hanya dia memang terlalu ekstrem menyimbolkan kejantanan dengan sosok seorang Ade Ray. “Tapi jangan salah Nong…” kata laki-lakiku lagi. Ia memanggilku Inong… Jadi bukan karena dahiku nonong… “Orang yang menyimpang itu… biasanya mereka adalah orang yang cerdas”. Aku mengangguk-angguk, mungkin ada benarnya juga. Tapi basically aku tidak tahu kebenaran dari pernyataan laki-lakiku itu, karena bagiku selama aku belum baca sendiri hasil penelitian yang menyatakan bahwa orang berperilaku menyimpang punya kecenderungan berotak cerdas, aku tidak mau berkomentar. Atau mungkin saja sudah ada penelitiannya, tapi aku yang belum baca… Bisa jadi….
Berita mutilasi di TV tadi, membuat tatapanku jadi nanar, pandanganku jadi menerawang. Gila juga orang itu.... pasti sudah gila dia. Atau malah aku yang sudah gila gara-gara berita criminal brengsek itu. Aku seakan berada di tempat kejadian dan melihat si tersangka yang tadi kulihat di TV tak berdaya dan sudah memar-memar, kini dengan beringas mencincang tubuh laki-laki “kekasih”nya itu. Menyeringai ia menoleh padaku sambil memamerkan lengan korban yang telah ditebas dari tubuhnya dan menyodorkannya padaku. Tetes-tetes darah nampak bagai sisa hujan sore hari. Aku menutup mulutku dengan kedua tangan, sambil membelalakkan mata. Menoleh ke kanan dan kiri. Sepi tak ada orang, kami hanya bertiga. Aku, tersangka dan korban yang sudah mulai tidak utuh lagi. Astaga kenapa aku jadi ada disini? Ooh Mak !!! ini tidak betul. Pasti ada yang salah. “Dia selingkuh, dia meninggalkanku…” suaranya parau. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi. Telingaku tidak salah dengarkah? “Kalau sudah seperti ini bentuknya, pasti dia tidak akan bisa selingkuh lagi kan? Sekarang dia benar-benar hanya untukku.” Sambungnya lagi, sambil memeluk potongan-potongan tubuh yang basah dengan darah. Menciuminya dengan penuh nafsu. Tersangka itupun seakan tak menghiraukan tubuhnya berlumuran darah segar korbannya. Ooh Mak!!! Aku ingin menjerit, tapi suaraku tak bisa keluar, seakan tersumbat oleh potongan kaki korban yang menyumpal memenuhi seluruh rongga mulutku. Mual rasaku... tapi aku tetap tidak bisa bergerak. Absurd, abstrak.... Astaga, apa yang terjadi padaku? Gay itu meringis-ringis mengelilingiku sambil menggendong tubuh “kekasih”nya yang sudah tanpa tangan, tanpa kepala, tanpa kaki. Monster keparat... Ia malah tertawa sambil terus menandak-nandak mengelilingiku, yang sedang bersusah payah seakan berusaha melepeh potongan kaki yang disumpalkan dimulutku. Ceceran darah membentuk lingkaran mengelilingiku. Ooh Mak !!! Apa ini? Please... aku tidak mau bercanda. Lepaskan aku dari sini... lepaskan aku dari performing art gay gila ini... Please... rintihku dalam hati. Rintihan ini kutujukan pada siapa? Aku tak tahu… Siapa sajalah yang bisa dengar rintihanku… yang penting aku segera keluar dari lingkaran iblis ini. Aku seperti sedang menjadi Dewi Shinta dalam cerita Ramayana, yang sedang berada di lingkaran ajaib yang dibuat oleh Laksmana, agar terhindar dari kejaran Rahwana. Tapi itu lingkaran keselamatan…Sekarang ini?… Lingkaran setan… Tersangka itu mulai menggapai-gapai tangannya berusaha merengkuh aku dalam pelukan sebelah kiri, sementara tangan kanannya tetap memeluk korban yang hanya tinggal badan saja… Bau anyir aroma darah tersebar menggelitik hidungku. Ooh Mak !!! tolong aku…
Aku tersentak ketika terdengar suara benda jatuh dari arah dapur... Astaga... Terima kasih Tuhan. Aku masih berada di depan layar kaca. Tubuhku terasa basah, aku ngeri membayangkan bahwa tubuhku basah oleh darah, seperti yang baru saja kualami. Perlahan aku lirik tubuhku sendiri dengan separuh mata... fiiuuh.... lega rasanya, karena hanya keringat bukan darah. Mimpi aku rupanya. Brengsek... bolehlah mimpi, tapi kenapa harus mimpi buruk seperti itu. Aku beranjak ke dapur, tempat asal suara kemelontang tadi. Aah... tikus gila. Biasanya aku segera menyumpah serapah, bila tikus-tikus itu membuat dapurku menjadi playground mereka. Tapi tidak kali ini. Terima kasih segera kuucapkan pada tikus keparat itu, karena telah menyelamatkan aku dari tersangka gila yang tak hentinya menandak mengelilingiku tadi. Aku kembali keruang tengah. Dilayar kaca Syaiful Djamil sedang bergoyang dangdut... Astaga, badannya yang kekar itu meliuk-liuk dengan lenturnya. Apa jadinya bila ia seperti korban dalam mimpiku tadi? Hanya badan, tanpa kepala, tanpa tangan, tanpa kaki.... tapi bisa meliuk-liuk, seperti yang kulihat tadi dalam pelukan tersangka. Aah... sumpah, kenapa aku jadi parno begini? Segera kuraih remote control, dan kubunuh layar kaca sialan itu. Lho… kenapa jadi TV nya yang salah? Terdengar suara dentang grandfather clock kuno merk Junghans peninggalan almarhum ayahku yang berdentang empat kali. Harus segera kutanya arti mimpiku pada pak Otto guru spiritualku, mudah-mudahan kejadian tadi hanya bunga tidur. Aah… genit sekali sang tidur, harus dengan persembahan bunga…
Aku tidak bisa konsentrasi mendengar diskusi yang biasanya membuatku sangat antusias. Mungkin karena aku terlalu letih melewati pesta dansa gila bertiga semalam. Ooh Mak !!! mohon ampuuun... Wajah Frans dan Max dihadapanku tampak kabur. Hanya nampak bibir-bibir mereka yang komat-kamit, sedangkan wajah mereka blur tak jelas. Ooh Mak !!! sudah gila sungguhan aku ini. Aku benar-benar tidak bisa konsentrasi dengan pembicaraan mereka tentang penelitian kami kali ini. Aah, aku tahu sekarang, mengapa bunga tidur semalam menghampiriku. Mungkin data-data tentang penelitian ini, telah membuatku penat. Hingga akhirnya pada saat aku melihat potongan mayat korban di berita semalam, semua tumpukan penat itu mencuat keatas, muncul menjadi sebuah gambaran nyata yang sangat mengerikan… Tapi itu juga baru mungkin…. Benar atau salahnya aku juga tidak tahu. Tapi tetap aku beri judul “Brengsek”. Max menyentuh dahiku yang berkeringat. “Loe kenapa sih mbak?” tanyanya sambil mencheck dahiku, mungkin aku demam. Aku segera menceritakan mimpiku semalam dengan terbata-bata. Max memandangiku dengan antusias. Sementara Frans menanggapinya dengan perkataan ringan saja, “Loe capek mbak, dah istirahat dulu deh. Diskusi kita lanjutin besok. Biar sekarang gue sama Max masukin data dari Rumah Sakit dulu”. Aku mengangguk, berterima kasih pada mereka, yang mau mengerti kondisiku. Max berdiri mendekatiku dan membantuku mengangkat badan yang kurasa sangat berat. “Max gendong...” rengekku pada Max. “Ogah... badan loe kan segede galon... Udah... berisik banget sih, sakit aja cerewet, gimana kalo sehat?” jawab Max sambil memapahku. “Brengsek...” jawabku. “Hahaha...” tawa Frans terdengar berderai.... Kurang ajar.
Mimpi buruk itu sudah dua bulan berlalu. “Terima kasih Tuhan, hanya sekali kau memberiku bunga tidur yang mengerikan itu”. Bukan bunga harum wangi, tapi lebih tepat kusebut sebagai bunga bangkai. Penelitian kami sudah hampir selesai. Saat ini kami sedang sibuk menyusun laporan penelitian yang akan kami presentasikan dua minggu lagi dihadapan direktur Rumah Sakit. Kulihat Frans sudah berkemas hendak pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Kutanya Frans dimana Max, “Masih di computer. Aku jalan ya mbak, mau jemput Rosa dulu.” Jawabnya sambil mengenakan jaketnya. Aku mengangguk dan melangkah ke dapur. Tapi aku urung dan berbelok menuju kantor, paling tidak aku mau menyapa Max yang pasti penat di depan komputer terus sejak tadi. Ku lihat ada yang aneh dengan Max. Ia menelungkup dimeja, didepan komputer. Dari belakang kulihat punggungnya naik turun dan kudengar isak seseorang sedang menangis. Aku mengernyitkan dahi. Max rupanya yang menangis. “Max...” panggilku sambil mendekat dan menepuk punggungnya. Max mengangkat wajahnya, dan segera memelukku. Ia menangis sejadinya di dadaku. Aku hampir jatuh ketika Max yang sebesar banteng itu menubrukku. Ingin aku memberondongnya dengan berjuta pertanyaan pertanyaan. Tapi aku sudah harus paham, pasti terjadi sesuatu yang sangat berat pada Max. Max memelukku sambil duduk, sementara aku tetap berdiri. Aku membalas pelukannya, membiarkan airmata sahabatku itu membasahi pakaianku pada bagian dada hingga perut itu. Perlahan kuusap kepalanya perlahan, sambil berdesis “Ssshhh… Ok Max, tumpahkan semua… Go head… buang semua sesakmu… Kamu boleh nangis…. “ Kuusap lembut kepalanya. Isaknya makin terdengar makin kencang. Aku mengangkat kedua alis mataku. Aduuuh.... bagaimana ini? Malah semakin kuat isaknya... Seorang Max, laki-laki dengan lengan berotot dan perut sixpack meraung seperti seorang bayi yang kehilangan puting susu ibunya. Mendadak Max berhenti. Ia mengangkat wajahnya menatapku. Aku membalas tatapannya, sambil tersenyum. Mencoba untuk masuk dalam perasaannya dan mengisyaratkan padanya bahwa aku sangat mengerti dirinya dan siap untuk menjadi tong sampahnya. “Gue capek mbak…” katanya disela napasnya yang masih tersengal. Aku tertawa, “Ya ampun Max… kalo loe capek, ya udah istirahat dulu. Kita masih punya banyak waktu, bisa loe terusin besok kok…” jawabku dengan lembut, berusaha untuk menenangkannya. Tapi Max menggelengkan kepala. Aku segera menariknya untuk duduk di sofa di ruang tamu kantor. Maksudku untuk membuatnya lebih nyaman. Sebenarnya aku juga tidak kuat harus menahan badannya yang sebesar banteng itu. Kami duduk berdampingan. Aku masih menunggu keterangan Max, walau aku tak tahu masalah apa yang akan disampaikan oleh Max, atau apapun lah yang telah membuatnya menjadi seperti itu.
“Gue capek mbak, gue dah nggak tahan lagi sama pacarku…” suaranya terbata-bata. Aku mengernyitkan dahi. Kali ini aku yang terkejut, “Jadi loe punya pacar Max?”. Ia menganggukkan kepala menjawab keingin tahuanku. “Dan pacar gue sekarang ini ninggalin gue…”. Lalu? Tak sadar mataku membelalak, seluruh perbendaharaan kata ku lenyap dan mulutku ternganga lebar begitu mendengar kalimat Max selanjutnya, “Pacarku cowoq mbak… gue gay…”. Ooh Mak !!! Sontak lintasan peristiwa pesta dansa gila dalam mimpiku seakan hadir lagi dihadapanku. Terasa badanku basah berkeringat, didalam ruangan kantorku dengan temperature AC 17 derajat. Astaga... “Pantesan kamu cerdas Max, otakmu cemerlang... IP mu 4. Kalau begitu ada benarnya juga kata laki-lakiku.” Kataku dalam hati. Max masih menatapku, aku membalas tatapannya tanpa berkata-kata. Perlahan matanya mulai membasah dan airmatanya mulai mengalir lagi perlahan. Aku tidak tahan melihat Max, sahabatku, adikku yang selama ini sangat kusayangi. Aku memutuskan untuk dapat menerima dia apa adanya. Ia pasti membutuhkan dukunganku. Tanpa meminta ijinku, Max merebahkan kepalanya di pangkuanku dan ia kembali terisak. Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Apakah aku sedang bermimpi seperti dua bulan silam? Bibirku terasa perih... Ooh Mak!!! Tidak... rupanya aku tidak sedang bermimpi. Ini nyata. Perlahan kembali kuusap kepala Max dengan lembut. Bibirku masih kaku, seperti terekat super glue yang membuat bibirku terasa lekat satu dengan yang lain. “Gue harap loe bisa ngertiin gue ya mbak... Loe masih mau jadi temen gue kan mbak?… masih mau jadi kakak gue kan mbak? Setelah loe tau gimana gue yang sebenernya?” Suaranya parau. Aku masih membelai kepalanya, mengangguk, sambil memejamkan mataku. Tentu Max tidak melihat anggukan kepalaku, karena ia masih terisak dipangkuanku. “Iya Max… gak usah khawatir. Sampai kapanpun, gue tetep temen loe, gue tetep kakak loe…dan gue selalu siap bantu elo.” Aku menenangkan Max dengan suara lembut yang kubisikkan di telinganya. Max nampak jauh lebih tenang dari sebelumnya. “Namun satu hal yang harus kamu tahu Max” kataku dalam hati sambil masih membelai lembut kepalanya, “Aku memang bisa menerimamu apa adanya, karena kau adalah sahabatku, kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Tapi .... awas Max, aku akan menjelma menjadi mahluk yang lebih mengerikan dari yang kualami dalam mimpiku. Tanpa ampun aku akan mencincangmu seperti korban di TV itu, bila kau ambil laki-lakiku… Karena dia hanya untukku, hanya untuk aku.” Tiba-tiba aku merasa Max adalah rivalku... Ooh Mak !!!
Mampang, 22 April 2008
09 July 2008
Seperti katamu ; "Hidup Penuh Warna"
Benar juga lah kiranya kata-katamu ; "HIDUP PENUH WARNA".
Tidak selamanya komposisi warna yang indah akan menghasilkan campuran warna yang indah. Kalau warna merah dicampur putih... jadinya PINK... terkesan lucu, imut, segar, muda dan sebagainya. Tapi kalau dengan hati crowded kita campurkan segala warna.... hasilnya jauh dari indah...
Tidak semua orang punya kesempatan untuk bisa mencampur warna.... Oleh karenanya haruslah bijak kita mencampurnya. Harus dengan kesadaran diri dan kerendahan hati pula kita melakukannya. Tidak bisa semena-mena, campuran warna indah pasti akan menghasilkan warna yang indah pula. Ternyata tidak begitu juga.
Tidak semua orang mengerti bahwa hidup adalah proses mencampur warna. Seakan apa yang kita jalani adalah kehidupan rutin yang biasa... padahal tanpa kita sadari setiap hari kita sedang melakukan proses pencampuran warna. Amaziiiing.....
Sebuah pembelajaran baru telah "kita" lewati.
(Bersyukur tidak semua orang bisa memiliki kesempatan untuk melakukannya).
Bersyukur "kita" menyadari bahwa rajutan ini adalah pula niatan hati "kita" untuk mencari warna indah yang akan menghiasi relung hati untuk bisa "kita" jalani dan "kita" nikmati bersama.
Kata-kataku kali ini abstrak dan penuh simbol.
Hanya "kita" yang yang tahu, hanya "kita" yang bisa mencerna.
Betapa indahnya....
Crowded, 8 Juli 2008
03 July 2008
Misteri Bunga Melati (4)
Misteri Bunga Melati (3)
02 July 2008
Misteri Bunga Melati (2)
Semakin hari gumpalan rasa ingin tahuku semakin besar. Aku sungguh ingin tahu sumber kuntum-kuntum melati itu. Kuputuskan untuk mencari tahu, apa yang sedang terjadi pada mas Yudi, suami tercintaku. Aku memarkir mobilku agak jauh dari kantornya, dan kuamati sekeliling kantornya. Kupicingkan mata untuk mencari, apakah ada tanaman melati disana.... huuh aku menghela napas... tak ada. Aku mengernyitkan dahiku sambil meletakkan kepalakau disandaran kursi. Gila... kenapa aku jadi parno begini? Aku seperti sedang menjadi seorang detektif dalam film-film. Aaah... kenapa rupanya? Aku juga seorang wartawati. Tentu naluri investigasikupun telah mengusik ketenangan hatiku, dengan hadirnya melati-melati itu. Sambil masih menerawang menatap bangunan kantor mas Yudi, terdengar alunan lagu keroncong dari radio mobilku... "Cemburuku... karena cinta.... Cemburuku karena sayang... ku tak ingin walau hanya sekejap, siapa jua menyentuhmu...."Begitu tarikan suara Lucy Koes Endang (penyanyi jadul, adik dari Hetty Koes Endang). Kujawab "Bener banget mbak Lucy, aku tak ingin siapapun menyentuh mas Yudi... mas Yudi adalah milikku selama-lamanya..." desisku. Naaah betul kan aku jadi parno. Mungkin Lucy sendiri sudah tidak ingat bahwa ia pernah menyanyikan lagu itu. Keroncong pula... sejak kapan aku concern dengan keroncong?.... Astaga...
Misteri Bunga Melati (1)
Tapi yang membuatku heran adalah, sudah sebulan ini selalu kutemukan bunga melati di saku kemejanya. Masih segar, berarti baru dipetik malam. Sehingga ketika pagi aku memasukkan cucian ke dalam mesin, bunga itu masih terasa harum. Setiap kali aku ingin bertanya padanya aku selalu lupa. karena aku sendiri juga bekerja. Jadi setelah memasukkan cucian ke mesin, lalu aku berangkat ke kantor. Kesibukan kantor membuatku selalu lupa tentang melati itu. Selain itu juga mas Yudi tidak menunjukkan gelagat yang aneh. Dia tetap menunjukkan perhatiannya padaku, tidak pula berubah pada Cici putri kami yang memang sangat dekat dengan ayahnya. Komunikasi kami tetap baik, ia selalu menelponku untuk mengingatkan makan siang, tetap menanyakan keberadaanku saat waktu pulang kantor tiba. Sama sekali tidak ada yang berubah. Ia tetap seorang mas Yudi yang kukenal sejak puluhan tahun lalu. Sikap mas Yudi di tempat tidurpun tidak berubah, ini penting bagiku. Perilakunya tidak semakin hangat untuk sekedar menutup-nutupi atau malah dingin. Tidak sama sekali. Semua berjalan seperti biasa. Ia tetap mencumbuku sebelum kami mengarungi lautan asmara sebelum kami tiba bersama-sama. Juga tidak ada yang berubah pada hari wajibnya ia menafkahi bathinku setiap malam jum'at sesuai sunah Rasul.
(Bersambung)