15 July 2008

Katoer Bapak...

DESEMBER KEDUA TANPAMU

Sadarkah kau, bahwa Desember ini adalah Desember kedua tanpa kehadiranmu.
Aku tak tahu engkau ada dimana,
kata imam kau berada di tempat yang jauh lebih indah dari dunia ini.
Dari mana imam tahu, sedangkan ia sendiri belum pernah mati.
Tahukah kau, ibu kini sendiri
dikelilingi bocah-bocah centil yang pasti makan hati,
untuk lupakan kenangan indah bersamamu.
Desember ini adalah Desember kedua tanpa kehadiranmu.
tak ada lagi, balon-balon yang tergantung di ruang tengah untuk merayakan ultahmu,
dan yang pasti tak ada lagi pesta ulangtahun di Kukusan seperti waktu itu.
Aku tak tahu engkau ada dimana,
karena jawaban yang kudapat hanyalah sama...
entah itu dari ibu, dari kakak, dari sahabat, dari imam
bahkan dari orang gila sekalipun.
tapi aku telah siap untuk menghadapi
Desember-Desember lain yang pasti tanpamu
karena aku tahu pasti kau memang tidak akan kembali padaku lagi.

Narada, 18 Desember 1991
Endang Moerdopo

Medio, Minggu Kedua Januari 1992
Suara Karya Minggu, Halaman II

(Jadul...? Yup... karena saat ini aku sangat merindukan papaku... kutulis dengan tinta jingga karena ini warna kesayangannya....)

13 July 2008

SUWUNG....

Jerat semakin kuat mengikatku. Aku muak dengan semuanya ini. Aku ingin lepas dari segala sandiwara membosankan ini. Namun seperti sebuah lingkaran sindikat yang tak dapat kutinggal pergi begitu saja. Sekali pergi, haruslah mati. Seakan takut aku akan bernyanyi sana-sini.

Jerat semakin kuat mencekik leherku. Seakan aku tak kuasa lagi untuk berteriak. Kalaupun kuberteriak, seakan tak ada suara yang terdengar. Sehingga orang-orang disekelilingkupun tak pernah tengarai ada apa denganku. Yang mereka tahu, aku hanya menebar senyum selalu selama hari berlalu. Tanpa beban kelu yang sebenarnya mengikatku.

Jerat semakin kuat mengikatku. Setelah tahun berganti tahun harus tetap berada disini, dijalan ini. Tak ada satupun yang menempatkanku menjadi nomor satu. Tak ada orang yang mau membawaku pergi dan berlari, walau mereka tahu begitu kuat ikat menjeratku. Tak satu orang yang kutuju, untuk membebaskanku dari jerat yang semakin membuatku kaku.

Hidupku adalah hampa, walau penuh warna. Kosong hanya nampak dinding yang penuh coretan beraneka rupa. Semua pergi, semua berlari dengan pikiran dan tujuannya sendiri. Saat membutuhkanku, kembali menoleh padaku. Dan mencoretkan lagi dengan kuas berwarna-warni di dinding yang semakin hari semakin padat berisi. Namun ruang itu tetaplah kosong... SUWUNG....

Medio 6 Desember 2007

10 July 2008

Ooh Maak.. !!!


Tenggorokanku masih tercekat dengan berita di layar kaca plazma 36 inch dihadapanku. Lebarnya layar membuat mayat yang sudah terpotong-potong itu menjadi nampak begitu jelas. Sementara si tersangka yang sudah bengkak-bengkak digebuki massa hanya bisa terpekur dengan tangan ngapurancang tak berdaya. “Ooh mak !!!” pekikku dalam hati dengan kata yang ku pinjam dari bahasa laki-lakiku bila sedang terkejut, terperanjat atas sesuatu yang terjadi diluar dugaannya. Teganya dia memutilasi “kekasih” yang sudah lima tahun hidup bersama di rumah susun itu. Sebenarnya bukan itu penekanan pikiranku, tetapi lebih kepada apa yang ada didalam kepala dan hatinya saat ia menorehkan pisau dapurnya ke tubuh orang yang selama ini hidup dengannya atas nama cinta sejenis.... Sekali lagi… Ooh Mak !!!

Berita ini akan kubawa besok pagi dalam diskusiku dengan Frans dan Max, sahabat-sahabatku, sekaligus tim penelitianku yang sudah kuanggap adik-adikku sendiri. Bagiku berita ini penting sebagai data sekunder penelitian kami. Kebetulan saat ini kami bertiga sedang melakukan penelitian tentang perilaku seksual menyimpang, bekerjasama dengan sebuah Rumah Sakit Pemerintah. Berita tadi, kuanggap penting sebagai data sekunder yang dapat mendukung pernyataan tentang adanya kecenderungan orang-orang yang memiliki penyimpangan perilaku seksual -dalam hal ini cinta sejenis baik gay ataupun lesbian- memiliki sense of belonging yang lebih tinggi dibandingkan dengan perilaku orang normal. Hal ini juga pernah kutemukan dalam penelitianku tahun 1994 dahulu, ketika aku mengambil mata kuliah Sosiologi Perilaku Menyimpang. Dalam mata kuliah itu dijelaskan oleh dosenku bahwa salah satu bentuk dari perilaku menyimpang adalah penyimpangan perilaku seksual, yaitu homoseksual, baik gay untuk laki-laki dan lesbian untuk perempuan. Untuk bisa lulus dalam mata kuliah itu, ujian akhir diganti dengan penelitian. Kala itu aku meneliti tentang perilaku seksual meyimpang pada lesbian. Mengapa aku mengambil perilaku seks menyimpang, karena menurutku masalah seks merupakan topic yang menarik dibandingkan masalah-masalah penyimpangan yang lain. Aku terang-terangan saja mengatakan demikian, karena memang itulah kenyataannya. Banyak yang kemudian juga menganggapku bicara terlalu vulgar. Bagiku sex bukan masalah tabu, justru itu harus dikomunikasikan. Alasannya? Karena banyak suami-suami yang berakhir di ranjang pelacur, karena sang istri menganggap hubungan intim yang aneh-aneh adalah tabu. Sementara suami-suami adalah seorang petualang sejati yang menginginkan sesuatu yang lain, variasi cukup penting dalam hubungan coitus intercourse antara suami dan istri. Nah, yang seperti inilah yang kadang membuatku dicap terlalu vulgar. Padahal menurutku komunikasi dalam berhubungan sex itu penting untuk kelangsungan dan kelanggengan rumah tangga. Aku kadang heran, banyak orang yang sepertinya tabu membicarakan masalah sex, padahal dalam hatinya mau… dan tidak sedikit juga yang curi-curi dengar pembicaraan orang, walau seakan memasang muka cuek dan memandang kami dengan wajah jijik. Ah... tabu tapi mau...

Kembali lagi ke masalah temuan penelitian lesbianku dulu, ya memang begitulah mereka, karena jumlah mereka yang sedikit, maka mereka berusaha mempertahankan pasangannya. Dengan demikian, maka sering kali mereka tidak ragu untuk melakukan tindak kekerasan. “Aku tidak mendapatkan kamu, orang lainpun tak ada yang boleh mendapatkanmu...” Ooh Mak !!! Ngeri kali.... Walaupun tidak semua begitu dan tidak selalu begitu... tapi tetap saja... Ooh Mak!!! Ngerinya...

Sebagai seorang aktifis HIV / AIDS sebuah lembaga swadaya masyarakat, Frans gencar memerangi mereka yang memiliki perilaku seksual menyimpang. Ia selalu mengkaitkan perilaku seksual menyimpang dengan faktor kesehatan terkait dengan penyakit HIV / AIDS yang sudah begitu ngelotok di kepalanya. Frans sangat anti dengan perilaku anal seks yang sering dilakukan oleh para gay. Dengan gamblang ia menjelaskan bagaimana proses penularan virus yang disebarkan melalui hubungan anal. Bagiku penjelasannya jauh dari jorok, tapi justru menjadi sebuah pengetahuan yang sangat berharga. Ia begitu concern dan sangat menguasai. Hebat… dan yang membuatku makin kagum adalah konsistensinya dengan masalah itu. Sejak aku mengenalnya sepuluh tahun yang lalu, sampai detik ini ia masih setia melayani mereka yang terkena HIV/AIDS. Hebat... Max lain lagi, perilaku menyimpang dilihat dari paradigma lingkungan social. Ia begitu fasih menjelaskan peta perilaku menyimpang yang saat ini berkembang di masyarakat. Bagaimana perkembangan perilaku seksual menyimpang yang muncul dan selalu menyajikan data terbaru dari trend para pelaku seksual menyimpang. Max dengan segala keterangannya juga menyadarkan aku bagaimana perilaku seksual itu menjadi begitu mudah merambah. Hal itu disebabkan antara lain karena factor ikut-ikutan, coba-coba dan akhirnya keterusan. Bagiku itu penting, dan kita tidak boleh tutup mata, seakan tabu membicarakan itu atau malah tertawa meledek. Tapi kita harus mencari solusi. Itu menurutku. Bagiku penelitian kali ini menarik, karena kami bertiga memiliki latar belakang yang cukup untuk dapat menemukan solusi terbaik bagi mereka yang mengalami perilaku seksual menyimpang.

Selain itu aku memiliki hal menarik juga untuk bisa kuungkapkan yaitu, aku dan laki-lakiku menyadari bahwa kami adalah sasaran empuk bagi mereka yang memiliki perilaku seksual menyimpang. Aku tidak tahu kenapa bisa begitu. Hal itu terungkap ketika kami sedang bincang-bincang sore pada suatu hari, aku menceritakan pengalamanku di”gila-gila”i oleh seorang lesbian, saat aku masih kuliah dulu. Itu pula sebabnya mengapa aku mengambil topic lesbian untuk ujian akhir mata kuliah Sosiologi Perilaku Menyimang. Ternyata laki-lakiku pun memiliki cerita yang tak kalah seru juga, karena iapun memiliki pengalaman yang sama, yaitu di”gila-gila”i oleh seorang gay. “Hahaha...” Ketika itu kami tertawa bersama. “Jangan-jangan kita ada bakat juga ya bang jadi homoseksual” kataku padanya. “Ya mungkin juga” jawabnya ringan. Mengapa aku mengatakan begitu, karena setahuku, mereka yang memiliki homosexual sense bisa mengenali mereka yang juga memiliki sense yang sama. Jadi kami was-was juga, karena tidak menutup kemungkinan menjadi target sasaran para homoseksual. “Jangan-jangan kamu juga gay, atau... hetero?” tanyaku padanya. “Sembarangan… kamu juga dong...” jawabnya. “Masih enak meluk kamu, daripada meluk Ade Ray...” jawabnya lagi. Aduh… maaf Ade Ray, namamu jadi disebut-sebut. Maksud laki-lakiku adalah, lebih enak memeluk perempuan daripada memeluk sesama laki-laki. Hanya dia memang terlalu ekstrem menyimbolkan kejantanan dengan sosok seorang Ade Ray. “Tapi jangan salah Nong…” kata laki-lakiku lagi. Ia memanggilku Inong… Jadi bukan karena dahiku nonong… “Orang yang menyimpang itu… biasanya mereka adalah orang yang cerdas”. Aku mengangguk-angguk, mungkin ada benarnya juga. Tapi basically aku tidak tahu kebenaran dari pernyataan laki-lakiku itu, karena bagiku selama aku belum baca sendiri hasil penelitian yang menyatakan bahwa orang berperilaku menyimpang punya kecenderungan berotak cerdas, aku tidak mau berkomentar. Atau mungkin saja sudah ada penelitiannya, tapi aku yang belum baca… Bisa jadi….

Berita mutilasi di TV tadi, membuat tatapanku jadi nanar, pandanganku jadi menerawang. Gila juga orang itu.... pasti sudah gila dia. Atau malah aku yang sudah gila gara-gara berita criminal brengsek itu. Aku seakan berada di tempat kejadian dan melihat si tersangka yang tadi kulihat di TV tak berdaya dan sudah memar-memar, kini dengan beringas mencincang tubuh laki-laki “kekasih”nya itu. Menyeringai ia menoleh padaku sambil memamerkan lengan korban yang telah ditebas dari tubuhnya dan menyodorkannya padaku. Tetes-tetes darah nampak bagai sisa hujan sore hari. Aku menutup mulutku dengan kedua tangan, sambil membelalakkan mata. Menoleh ke kanan dan kiri. Sepi tak ada orang, kami hanya bertiga. Aku, tersangka dan korban yang sudah mulai tidak utuh lagi. Astaga kenapa aku jadi ada disini? Ooh Mak !!! ini tidak betul. Pasti ada yang salah. “Dia selingkuh, dia meninggalkanku…” suaranya parau. Aku hanya bisa mengernyitkan dahi. Telingaku tidak salah dengarkah? “Kalau sudah seperti ini bentuknya, pasti dia tidak akan bisa selingkuh lagi kan? Sekarang dia benar-benar hanya untukku.” Sambungnya lagi, sambil memeluk potongan-potongan tubuh yang basah dengan darah. Menciuminya dengan penuh nafsu. Tersangka itupun seakan tak menghiraukan tubuhnya berlumuran darah segar korbannya. Ooh Mak!!! Aku ingin menjerit, tapi suaraku tak bisa keluar, seakan tersumbat oleh potongan kaki korban yang menyumpal memenuhi seluruh rongga mulutku. Mual rasaku... tapi aku tetap tidak bisa bergerak. Absurd, abstrak.... Astaga, apa yang terjadi padaku? Gay itu meringis-ringis mengelilingiku sambil menggendong tubuh “kekasih”nya yang sudah tanpa tangan, tanpa kepala, tanpa kaki. Monster keparat... Ia malah tertawa sambil terus menandak-nandak mengelilingiku, yang sedang bersusah payah seakan berusaha melepeh potongan kaki yang disumpalkan dimulutku. Ceceran darah membentuk lingkaran mengelilingiku. Ooh Mak !!! Apa ini? Please... aku tidak mau bercanda. Lepaskan aku dari sini... lepaskan aku dari performing art gay gila ini... Please... rintihku dalam hati. Rintihan ini kutujukan pada siapa? Aku tak tahu… Siapa sajalah yang bisa dengar rintihanku… yang penting aku segera keluar dari lingkaran iblis ini. Aku seperti sedang menjadi Dewi Shinta dalam cerita Ramayana, yang sedang berada di lingkaran ajaib yang dibuat oleh Laksmana, agar terhindar dari kejaran Rahwana. Tapi itu lingkaran keselamatan…Sekarang ini?… Lingkaran setan… Tersangka itu mulai menggapai-gapai tangannya berusaha merengkuh aku dalam pelukan sebelah kiri, sementara tangan kanannya tetap memeluk korban yang hanya tinggal badan saja… Bau anyir aroma darah tersebar menggelitik hidungku. Ooh Mak !!! tolong aku…

Aku tersentak ketika terdengar suara benda jatuh dari arah dapur... Astaga... Terima kasih Tuhan. Aku masih berada di depan layar kaca. Tubuhku terasa basah, aku ngeri membayangkan bahwa tubuhku basah oleh darah, seperti yang baru saja kualami. Perlahan aku lirik tubuhku sendiri dengan separuh mata... fiiuuh.... lega rasanya, karena hanya keringat bukan darah. Mimpi aku rupanya. Brengsek... bolehlah mimpi, tapi kenapa harus mimpi buruk seperti itu. Aku beranjak ke dapur, tempat asal suara kemelontang tadi. Aah... tikus gila. Biasanya aku segera menyumpah serapah, bila tikus-tikus itu membuat dapurku menjadi playground mereka. Tapi tidak kali ini. Terima kasih segera kuucapkan pada tikus keparat itu, karena telah menyelamatkan aku dari tersangka gila yang tak hentinya menandak mengelilingiku tadi. Aku kembali keruang tengah. Dilayar kaca Syaiful Djamil sedang bergoyang dangdut... Astaga, badannya yang kekar itu meliuk-liuk dengan lenturnya. Apa jadinya bila ia seperti korban dalam mimpiku tadi? Hanya badan, tanpa kepala, tanpa tangan, tanpa kaki.... tapi bisa meliuk-liuk, seperti yang kulihat tadi dalam pelukan tersangka. Aah... sumpah, kenapa aku jadi parno begini? Segera kuraih remote control, dan kubunuh layar kaca sialan itu. Lho… kenapa jadi TV nya yang salah? Terdengar suara dentang grandfather clock kuno merk Junghans peninggalan almarhum ayahku yang berdentang empat kali. Harus segera kutanya arti mimpiku pada pak Otto guru spiritualku, mudah-mudahan kejadian tadi hanya bunga tidur. Aah… genit sekali sang tidur, harus dengan persembahan bunga…

Aku tidak bisa konsentrasi mendengar diskusi yang biasanya membuatku sangat antusias. Mungkin karena aku terlalu letih melewati pesta dansa gila bertiga semalam. Ooh Mak !!! mohon ampuuun... Wajah Frans dan Max dihadapanku tampak kabur. Hanya nampak bibir-bibir mereka yang komat-kamit, sedangkan wajah mereka blur tak jelas. Ooh Mak !!! sudah gila sungguhan aku ini. Aku benar-benar tidak bisa konsentrasi dengan pembicaraan mereka tentang penelitian kami kali ini. Aah, aku tahu sekarang, mengapa bunga tidur semalam menghampiriku. Mungkin data-data tentang penelitian ini, telah membuatku penat. Hingga akhirnya pada saat aku melihat potongan mayat korban di berita semalam, semua tumpukan penat itu mencuat keatas, muncul menjadi sebuah gambaran nyata yang sangat mengerikan… Tapi itu juga baru mungkin…. Benar atau salahnya aku juga tidak tahu. Tapi tetap aku beri judul “Brengsek”. Max menyentuh dahiku yang berkeringat. “Loe kenapa sih mbak?” tanyanya sambil mencheck dahiku, mungkin aku demam. Aku segera menceritakan mimpiku semalam dengan terbata-bata. Max memandangiku dengan antusias. Sementara Frans menanggapinya dengan perkataan ringan saja, “Loe capek mbak, dah istirahat dulu deh. Diskusi kita lanjutin besok. Biar sekarang gue sama Max masukin data dari Rumah Sakit dulu”. Aku mengangguk, berterima kasih pada mereka, yang mau mengerti kondisiku. Max berdiri mendekatiku dan membantuku mengangkat badan yang kurasa sangat berat. “Max gendong...” rengekku pada Max. “Ogah... badan loe kan segede galon... Udah... berisik banget sih, sakit aja cerewet, gimana kalo sehat?” jawab Max sambil memapahku. “Brengsek...” jawabku. “Hahaha...” tawa Frans terdengar berderai.... Kurang ajar.

Mimpi buruk itu sudah dua bulan berlalu. “Terima kasih Tuhan, hanya sekali kau memberiku bunga tidur yang mengerikan itu”. Bukan bunga harum wangi, tapi lebih tepat kusebut sebagai bunga bangkai. Penelitian kami sudah hampir selesai. Saat ini kami sedang sibuk menyusun laporan penelitian yang akan kami presentasikan dua minggu lagi dihadapan direktur Rumah Sakit. Kulihat Frans sudah berkemas hendak pulang. Waktu sudah menunjukkan pukul Sembilan malam. Kutanya Frans dimana Max, “Masih di computer. Aku jalan ya mbak, mau jemput Rosa dulu.” Jawabnya sambil mengenakan jaketnya. Aku mengangguk dan melangkah ke dapur. Tapi aku urung dan berbelok menuju kantor, paling tidak aku mau menyapa Max yang pasti penat di depan komputer terus sejak tadi. Ku lihat ada yang aneh dengan Max. Ia menelungkup dimeja, didepan komputer. Dari belakang kulihat punggungnya naik turun dan kudengar isak seseorang sedang menangis. Aku mengernyitkan dahi. Max rupanya yang menangis. “Max...” panggilku sambil mendekat dan menepuk punggungnya. Max mengangkat wajahnya, dan segera memelukku. Ia menangis sejadinya di dadaku. Aku hampir jatuh ketika Max yang sebesar banteng itu menubrukku. Ingin aku memberondongnya dengan berjuta pertanyaan pertanyaan. Tapi aku sudah harus paham, pasti terjadi sesuatu yang sangat berat pada Max. Max memelukku sambil duduk, sementara aku tetap berdiri. Aku membalas pelukannya, membiarkan airmata sahabatku itu membasahi pakaianku pada bagian dada hingga perut itu. Perlahan kuusap kepalanya perlahan, sambil berdesis “Ssshhh… Ok Max, tumpahkan semua… Go head… buang semua sesakmu… Kamu boleh nangis…. “ Kuusap lembut kepalanya. Isaknya makin terdengar makin kencang. Aku mengangkat kedua alis mataku. Aduuuh.... bagaimana ini? Malah semakin kuat isaknya... Seorang Max, laki-laki dengan lengan berotot dan perut sixpack meraung seperti seorang bayi yang kehilangan puting susu ibunya. Mendadak Max berhenti. Ia mengangkat wajahnya menatapku. Aku membalas tatapannya, sambil tersenyum. Mencoba untuk masuk dalam perasaannya dan mengisyaratkan padanya bahwa aku sangat mengerti dirinya dan siap untuk menjadi tong sampahnya. “Gue capek mbak…” katanya disela napasnya yang masih tersengal. Aku tertawa, “Ya ampun Max… kalo loe capek, ya udah istirahat dulu. Kita masih punya banyak waktu, bisa loe terusin besok kok…” jawabku dengan lembut, berusaha untuk menenangkannya. Tapi Max menggelengkan kepala. Aku segera menariknya untuk duduk di sofa di ruang tamu kantor. Maksudku untuk membuatnya lebih nyaman. Sebenarnya aku juga tidak kuat harus menahan badannya yang sebesar banteng itu. Kami duduk berdampingan. Aku masih menunggu keterangan Max, walau aku tak tahu masalah apa yang akan disampaikan oleh Max, atau apapun lah yang telah membuatnya menjadi seperti itu.

“Gue capek mbak, gue dah nggak tahan lagi sama pacarku…” suaranya terbata-bata. Aku mengernyitkan dahi. Kali ini aku yang terkejut, “Jadi loe punya pacar Max?”. Ia menganggukkan kepala menjawab keingin tahuanku. “Dan pacar gue sekarang ini ninggalin gue…”. Lalu? Tak sadar mataku membelalak, seluruh perbendaharaan kata ku lenyap dan mulutku ternganga lebar begitu mendengar kalimat Max selanjutnya, “Pacarku cowoq mbak… gue gay…”. Ooh Mak !!! Sontak lintasan peristiwa pesta dansa gila dalam mimpiku seakan hadir lagi dihadapanku. Terasa badanku basah berkeringat, didalam ruangan kantorku dengan temperature AC 17 derajat. Astaga... “Pantesan kamu cerdas Max, otakmu cemerlang... IP mu 4. Kalau begitu ada benarnya juga kata laki-lakiku.” Kataku dalam hati. Max masih menatapku, aku membalas tatapannya tanpa berkata-kata. Perlahan matanya mulai membasah dan airmatanya mulai mengalir lagi perlahan. Aku tidak tahan melihat Max, sahabatku, adikku yang selama ini sangat kusayangi. Aku memutuskan untuk dapat menerima dia apa adanya. Ia pasti membutuhkan dukunganku. Tanpa meminta ijinku, Max merebahkan kepalanya di pangkuanku dan ia kembali terisak. Aku menggigit bibirku kuat-kuat. Apakah aku sedang bermimpi seperti dua bulan silam? Bibirku terasa perih... Ooh Mak!!! Tidak... rupanya aku tidak sedang bermimpi. Ini nyata. Perlahan kembali kuusap kepala Max dengan lembut. Bibirku masih kaku, seperti terekat super glue yang membuat bibirku terasa lekat satu dengan yang lain. “Gue harap loe bisa ngertiin gue ya mbak... Loe masih mau jadi temen gue kan mbak?… masih mau jadi kakak gue kan mbak? Setelah loe tau gimana gue yang sebenernya?” Suaranya parau. Aku masih membelai kepalanya, mengangguk, sambil memejamkan mataku. Tentu Max tidak melihat anggukan kepalaku, karena ia masih terisak dipangkuanku. “Iya Max… gak usah khawatir. Sampai kapanpun, gue tetep temen loe, gue tetep kakak loe…dan gue selalu siap bantu elo.” Aku menenangkan Max dengan suara lembut yang kubisikkan di telinganya. Max nampak jauh lebih tenang dari sebelumnya. “Namun satu hal yang harus kamu tahu Max” kataku dalam hati sambil masih membelai lembut kepalanya, “Aku memang bisa menerimamu apa adanya, karena kau adalah sahabatku, kau sudah kuanggap seperti adikku sendiri. Tapi .... awas Max, aku akan menjelma menjadi mahluk yang lebih mengerikan dari yang kualami dalam mimpiku. Tanpa ampun aku akan mencincangmu seperti korban di TV itu, bila kau ambil laki-lakiku… Karena dia hanya untukku, hanya untuk aku.” Tiba-tiba aku merasa Max adalah rivalku... Ooh Mak !!!

Mampang, 22 April 2008

09 July 2008

Seperti katamu ; "Hidup Penuh Warna"



Benar juga lah kiranya kata-katamu ; "HIDUP PENUH WARNA".

Tidak selamanya komposisi warna yang indah akan menghasilkan campuran warna yang indah. Kalau warna merah dicampur putih... jadinya PINK... terkesan lucu, imut, segar, muda dan sebagainya. Tapi kalau dengan hati crowded kita campurkan segala warna.... hasilnya jauh dari indah...

Tidak semua orang punya kesempatan untuk bisa mencampur warna.... Oleh karenanya haruslah bijak kita mencampurnya. Harus dengan kesadaran diri dan kerendahan hati pula kita melakukannya. Tidak bisa semena-mena, campuran warna indah pasti akan menghasilkan warna yang indah pula. Ternyata tidak begitu juga.

Tidak semua orang mengerti bahwa hidup adalah proses mencampur warna. Seakan apa yang kita jalani adalah kehidupan rutin yang biasa... padahal tanpa kita sadari setiap hari kita sedang melakukan proses pencampuran warna. Amaziiiing.....

Sebuah pembelajaran baru telah "kita" lewati.
(Bersyukur tidak semua orang bisa memiliki kesempatan untuk melakukannya).
Bersyukur "kita" menyadari bahwa rajutan ini adalah pula niatan hati "kita" untuk mencari warna indah yang akan menghiasi relung hati untuk bisa "kita" jalani dan "kita" nikmati bersama.

Kata-kataku kali ini abstrak dan penuh simbol.
Hanya "kita" yang yang tahu, hanya "kita" yang bisa mencerna.
Betapa indahnya....

Crowded, 8 Juli 2008

03 July 2008

Misteri Bunga Melati (4)


Dari belakang kuikuti mobil mas Yudi. Mengarah ke daerah selatan. Dengan tetap mengawasi mobil suamiku, aku teringat kata-kata yang selalu dilontarkan mas Yudi padaku, "Be positif, Honey...." Simpel sepertinya, tepat maknanya, tetapi sulit untuk bisa dijalankan rupanya. Itulah uniknya si "positif" itu. Aku geleng-geleng kepala sendiri....
Mas Yudi membelokkan mobilnya kesebuah gang sempit. Tak mungkin aku mengikutinya, karena ia pasti akan tahu keberadaanku dibelakangnya. Oleh karena itu aku segera melaju kembali kejalan besar. Kupikir, besok saja aku kembali ketempat itu seorang diri.
Esok paginya, jam 8 pagi aku sudah berada di mulut gang yang sama dengan kemarin. Perlahan mobilku melaju masuk kedalam gang sempit itu. Jam-jam segini memang jamnya tukang sayur bisa menjadi seorang Don Juan... dikelilingi oleh ibu-ibu muda yang sibuk mengelilingi gerobak sayurnya. Merayu si abang sayur agar memberikan harga murah, ditengah mahalnya harga kebutuhan hidup lainnya. Beli cabe 500 rupiah saja, harus bermanis-manis pada abang sayur agar bisa diberi tambahan barang 2 batang cabe... Sang Don Juan oke saja kehilangan 2 batang cabe, yang penting bisa sambil sedikit nyenggol-nyenggol dan kalau nasib baik, bisa juga nyemol bokong sang pelanggan. Aku geleng-geleng kepala lagi, bayangkan saja jalan sudah sesempit ini, masih dipenuhi dengan gerobak sayur. Konsentrasiku untuk menjadi seorang detektif swasta tak ingin terganggu dengan fenomena abang sayur, oleh karenanya kembali kuperhatikan satu persatu rumah yang ada tanaman melatinya. Makin jauh aku masuk gang itu, baru kutahu bahwa jalan ini buntu. Mati aku....!! Namun tiba-tiba tatapanku tertumbuk pada sebuah pagar yang ditanami tanaman melati penuh sepanjang pagar. Aaaah.... disini rupanya melati-melati itu berasal. Kuberanikan diri untuk memasuki rumah berpagar kayu yang dipenuhi dengan tanaman bunga melati. Kuketuk pagar beberapa kali, tak ada respon sama sekali. Pagar tetap kuketuk... mulai dari pelan sampai keras. Baru setelah agak kencang aku mengetuk, terdengar pagar dibuka dari dalam. Aaaaah.... aku terkejut, ketika kulihat bapak gemuk bertopi Tino Sidin yang kulihat tempo hari di TIM bersama suamiku muncul dari balik pagar. "Selamat pagi, pak" sapaku. "Ya.. selamat pagi, bu. Ada yang bisa saya bantu?" jawabnya ramah. Aku melihat halaman rumah yang begitu luas dari luar pagar. Bagak gendut ini tidak mempersilahkan aku masuk. Aku tetap berada diluar pagar. Tapi sekilas aku sudah bisa melihat dalam rumah yang luas itu. Sesaat aku terhenyak, ketika angin berhembus dan terasa aroma bunga melati menusuk kuat ke hidungku. "Ibu mau mencari siapa?" Tanya Bapak gendut itu, ketika aku sedang tercekat sesaat akan aroma melati yang ternyata memang berbunga cantik menghiasi pagar. "Begini, pak" jawabku agak terbata-bata. "Apakah bapak kenal dengan Yudistira?" tanyaku padanya. "Yudistira siapa ya?" Tanyanya lagi. "Eem, panggilannya mas Yudi." jawabku. "Oooh, mas Yudi? ya kenal bu... ada apa?" Aku bingung, mau memulai dari mana. Bapak gendut itu mulai kembali menangkap kegelisahanku. "Eem maaf pak, ini rumah siapa ya?". Bapak gendut itu menatapku, sambil kemudian membuka pagar agak lebar. Sekelebat, aku melihat sosok bayangan seorang perempuan berambut sebahu melintas dibalik jendela. Tak sadar aku melongokkan kepala untuk dapat lebih memastikan sosok perempuan itu. Bapak gendut yang ada dihadapanku mendehem, kemudian menjawab pertanyaanku. "Ini dulu rumah bu Oline". "Dulu?" tanyaku menyelidik. "Eeem... Bisa saya bertemu dengan ibu Olin, pak?". Bapak gendut itu mengernyitkan dahi, sambil kemudian menoleh ke arah kiri. Aku mengikuti pandangannya dan kulilhat sebuah batu nisan disana bertuliskan CAROLINE INDRAKUSUMA. "Aaaaah..." aku terpekik. Kembali kulihat kelebatan sosok perempuan dari balik pintu. "Jadi..?" suaraku terdengar parau. "Ini makam ibu Oline, pemilik rumah ini". Bapak gendut itu menjelaskan. "Lalu mas Yudi kalau kesini bertemu siapa, pak?" tanyaku. "Ya cuma ketemu saya. Saya ini pengasuhnya bu Oline sejak almarhumah masih kecil. Setahu saya mas Yudi sedang menulis tentang biografinya bu Oline." jawabnya sambil kulihat ada genangan air mata disana. Sosok perempuan itu, muncul lagi di balik jendela rumah. Kuberanikan diri menanyakannya pada bapak gendut itu. "Maaf pak, lalu yang tinggal dirumah itu siapa?" tunjukku ke rumah besar itu. "Ya, nggak ada orang, bu... sudah tidak ada yang tinggal dirumah itu lagi." Mendadak aku pening, sakit kepalaku menyerang. Aroma melati kembali menusuk-nusuk hidungku.... Aaah... inilah akibatnya bila aku usil dan sok tahu. Aku tidak tahu, rasanya infestigasiku harus segera kuakhiri sampai disini dan be positif seperti yang sering dikatakan mas Yudi. Berarti benar bahwa mas Yudi suamiku memang sedang bekerja, menulis sebuah biografi CAROLINE INDRAKUSUMA, seorang penyair yang tewas dalam pembunuhan tragis oleh seorang penggemarnya saat pementasan. Maafkan aku suamiku, maafkan atas kecurigaanku. Maafkan atas ketidak percayaanku padamu. Aku mencintaimu suamiku... Kau tercipta hanya untukku.
Ditepi pantai Marina, Yudi memeluk Oline erat. "I Love you, Honey.." desis Yudi ditelinga Oline. Oline memejamkan mata yang memanas, ingin rasanya ia menjawab dengan tegas dan jelas "I Love you too, sweetheart..." namun tak juga dapat ia ucapkan. Ia hanya dapat menganggukan kepala sambil menikmati pelukan laki-laki itu. Yudi melepaskan pelukannya dan mengepit wajah Oline yang basah oleh air mata dengan kedua telapak tangannya, mengecup dahi perempuan berambut sebahu itu dengan lembut, "Cantikku, sayangku, manisku... I Love you... Anytime and forever. You belongs to me and I belongs to you. You are the besting in my life. You are the one and the only. You are my real wife....." T A M A T
Medio Mampang, 3 Juli 2008

Misteri Bunga Melati (3)



Malam ini mas Yudi pulang lebih awal, jam 22 sudah tiba di rumah. Aku sudah rebahan di kamar, ketika kulihat ia masuk dan menghampiriku. Mas Yudi duduk disamping tempat tidur, mengelus lembut rambutku dan mencium lembut keningku. Astaga... ya Allah, apakah aku sudah salah berpikir yang bukan-bukan tentangnya? Aku tersenyum bahagia dan segera membalas kecupannya di bibirku. Kamipun saling berpanggut, bibirnya hangat mengisi seluruh relung jiwaku. Tak dapat kubendung lagi segala hasrat dalam diriku untuk dapat kucurahkan malam itu. Kupeluk mas Yudi erat, seerat pelukannya padaku. Bisiknya perlahan "I Love you, Honey...". Segera kubalas bisikannya dengan penuh keyakinan, "I Love you, too mas..." Kamipun segera berlayar ketengah samudra yang penuh gulung gemulung gelombang asmara. Bunga melati? Saat itu tak terlintas sama sekali. Yang ada hanyalah hasrat yang semakin meninggi dan ingin segera terpuasi.... Kami berlayar jauh... jauh sekali... aku dan mas Yudi....
Peluh masih tersisa basah di tempat tidur. Seprei acak-acakan seakan menjadi penari latar pertunjukan kami malam itu. Tanpa selembar benangpun di tubuh, ia mulai menyalakan rokok kreteknya dan merengkuhku dalam pelukannya, setelah kami berdua sudah tiba lagi dipantai kehidupan nyata. Ia menghisap rokoknya dalam-dalam. Saat itu aku memandangi wajahnya, sungguh aku mencintainya. Suami pendamping hidup yang telah dikirimkan Allah bagiku. Otakku tiba-tiba nakal, mendorong dan mendesakku untuk memecahkan gumpalan pertanyaan tentang bunga melati yang selama ini menggangguku. Tapi tiba-tiba saja, aku urung melakukannya. Aku tak ingin merusak suasana indah malam ini. Biarlah malam ini tetap dengan keindahannya. Aku tak ingin mengoyaknya dengan pertanyaan-pertanyaanku seputar bunga melati. "Mas..." tanyaku perlahan. "Ya, sayang..." jawabnya tenang. "Mas masih sayang padaku?" Ia menoleh lembut, mengernyitkan dahi. Kemudian ia meletakkan rokoknya diasbak dan mengepit kedua pipiku dengan tangannya. "Aku akan selalu menyayangi dan mencintaimu, Tresnaningtyas, istriku tercinta. Sampai kapanpun. Believe me, I belongs to you and you belongs to me". Jiwaku seakan terbang... hatiku melonjak girang.... Bunga Melati? Tak kuingat lagi.... yang kutahu, aku segera tertidur dipelukannya yang hangat, hingga alunan adzan subuh memanggil kami untuk segera berdoa.... Terima kasih banyak ya Allah... sungguh kau telah mengirimkan seorang pendamping yang begitu sempurna dalam hidupku. Tapi melati-melati itu??? Masyaallah... sebenarnya tetap mengusik hatiku.... Aku tetap harus mencari tahu.... Maafkan aku....
(Bersambung)

02 July 2008

Misteri Bunga Melati (2)



Akhirnya, aku menjadi punya kebiasaan baru sebelum memasukkan pakaian kotor mas Yudi ke dalam mesin. Selalu kurogoh dulu sakunya. Bukan untuk mencari kertas-kertas catatan reportase atau sekedar bon yang suka dengan "slordeg" ditumpuk begitu saja di saku, baik kemeja maupun celana panjang. Itulah suamiku. Sudah kujelaskan sebelumnya bukan? bahwa ia adalah orang yang jujur dan apa adanya. Selama ini ia telah membuktikan bahwa tidak pernah selembar kertas pun yang kutemukan membuatku curiga. Pagi ini kutemukan 4 kuntum bunga melati, masih putih, masih harum. Kemarin juga 4 kuntum. Kemarinnya lagi agak banyak, entah 8 entah juga 9. Tanyaku dalam hati, mungkin saat ini sedang tidak banyak berbunga. Tapi heran juga, sudah sebulan ini, tidak pernah tidak selalu ada melati itu disakunya. Berarti subur sekali tanaman itu? Subhanallah.... Tentu harum sekali aroma disekelilingnya. Dengan 4 kuntum saja, kemeja suamiku menjadi tetap harum, padahal sudah dipakai seharian penuh. Ah... mengapa aku jadi parno sendiri begini? Sementara mas Yudi tidak mempertanyakan lagi kemana bangkai-bangkai kuntum melati itu kubuang. Ia seakan tidak peduli sama sekali.
Semakin hari gumpalan rasa ingin tahuku semakin besar. Aku sungguh ingin tahu sumber kuntum-kuntum melati itu. Kuputuskan untuk mencari tahu, apa yang sedang terjadi pada mas Yudi, suami tercintaku. Aku memarkir mobilku agak jauh dari kantornya, dan kuamati sekeliling kantornya. Kupicingkan mata untuk mencari, apakah ada tanaman melati disana.... huuh aku menghela napas... tak ada. Aku mengernyitkan dahiku sambil meletakkan kepalakau disandaran kursi. Gila... kenapa aku jadi parno begini? Aku seperti sedang menjadi seorang detektif dalam film-film. Aaah... kenapa rupanya? Aku juga seorang wartawati. Tentu naluri investigasikupun telah mengusik ketenangan hatiku, dengan hadirnya melati-melati itu. Sambil masih menerawang menatap bangunan kantor mas Yudi, terdengar alunan lagu keroncong dari radio mobilku... "Cemburuku... karena cinta.... Cemburuku karena sayang... ku tak ingin walau hanya sekejap, siapa jua menyentuhmu...."Begitu tarikan suara Lucy Koes Endang (penyanyi jadul, adik dari Hetty Koes Endang). Kujawab "Bener banget mbak Lucy, aku tak ingin siapapun menyentuh mas Yudi... mas Yudi adalah milikku selama-lamanya..." desisku. Naaah betul kan aku jadi parno. Mungkin Lucy sendiri sudah tidak ingat bahwa ia pernah menyanyikan lagu itu. Keroncong pula... sejak kapan aku concern dengan keroncong?.... Astaga...
Tiba-tiba sekitar pukul 16, mas Yudi nampak bergegas memasuki mobil sambil membawa laptopnya dan segera melaju. Waduuh... kemana dia? akupun segera mengikutinya dari belakang dengan jarak aman. Ingat? aku juga seorang wartawati, oleh karenanya seluk beluk investigasipun aku paham. Mas Yudi melaju kearah Cikini dan berbelok ke kiri, memasuki kawasan Taman Ismail Marzuki. Sebelum mengikutinya masuk kawasan TIM, aku menyapu pandanganku ke poster-poster yang terpampang disana... Apakah mas Yudi ada liputan budaya? Atau sekedar mau nonton film? Sambil kulayangkan pandanganku ke poster film. Entahlah aku belum tahu jawabannya. Ini sedang dicari jawabannya bukan? Begitu memasuki kawasan TIM, pertama kali yang kulakukan adalah mencari tanaman melati. Siapa tahu saja disana ada bunga melati. Aku sungguh ingin melihat, proses ketika mas Yudi memasukkan kuntum-kuntum bunga melati itu kedalam sakunya. Itu saja... !!!
Mas Yudi memarkir mobil paralel di depan deretan warung-warung disisi sebelah kiri, bila kita memasuki kawasan TIM. Ia turun, tanpa menunjukkan wajah curiga ada orang yang membuntuti... Ia duduk disudut sebuah warung seorang diri. Seperti biasa, ia melepas kacamatanya dan mulai menyalakan rokok kreteknya. Ritual itu yang kusuka darinya... Tidaklah aku salah pilih rupanya. Sungguh ia telah membuatku tergila-gila, hingga aku rela mati untuknya.
Tak berapa lama, datanglah seorang laki-laki berbadan gemuk mengenakan topi ala almarhum pak Tino Sidin (pelukis anak-anak yang selalu mengatakan "BAGUS" itu). Mereka duduk berdua, berbincang panjang, bercanda sambil menikmati pesanan kopi mereka. Siapa laki-laki itu? yang telah membuat suamiku betah duduk berjam-jam disudut warung yang panas dan berdebu. Tak terasa sudah 2 jam aku mengamati mereka, hingga akhirnya ku dengar suara merdu panggilan untuk segera menaikkan sholat Magrib. Lalu dari mana datangnya melati-melati itu? Jelas disini tidak ada tanaman melati, hingga aku dapat mengatakan bahwa melati itu bukan dari tempat ini. Aku sungguh ingin melihat bagaimana kuntum-kuntum putih mungil itu masuk kedalam saku kemeja suamiku? Mas Yudi memetiknya sendiri, atau ada seseorang yang memberikan adanya? Lalu siapa orang itu? Haruskah aku melanjutkan investigasiku lagi?
(Bersambung)

Misteri Bunga Melati (1)



Mas Yudi suamiku, pulang larut malam, bahkan pagi sudah menjadi hal yang biasa bagi ku. Aku sudah sangat mengenalnya luar dalam, dan menjadi hal yang wajar mengingat profesinya sebagai seorang wartawan.
Tapi yang membuatku heran adalah, sudah sebulan ini selalu kutemukan bunga melati di saku kemejanya. Masih segar, berarti baru dipetik malam. Sehingga ketika pagi aku memasukkan cucian ke dalam mesin, bunga itu masih terasa harum. Setiap kali aku ingin bertanya padanya aku selalu lupa. karena aku sendiri juga bekerja. Jadi setelah memasukkan cucian ke mesin, lalu aku berangkat ke kantor. Kesibukan kantor membuatku selalu lupa tentang melati itu. Selain itu juga mas Yudi tidak menunjukkan gelagat yang aneh. Dia tetap menunjukkan perhatiannya padaku, tidak pula berubah pada Cici putri kami yang memang sangat dekat dengan ayahnya. Komunikasi kami tetap baik, ia selalu menelponku untuk mengingatkan makan siang, tetap menanyakan keberadaanku saat waktu pulang kantor tiba. Sama sekali tidak ada yang berubah. Ia tetap seorang mas Yudi yang kukenal sejak puluhan tahun lalu. Sikap mas Yudi di tempat tidurpun tidak berubah, ini penting bagiku. Perilakunya tidak semakin hangat untuk sekedar menutup-nutupi atau malah dingin. Tidak sama sekali. Semua berjalan seperti biasa. Ia tetap mencumbuku sebelum kami mengarungi lautan asmara sebelum kami tiba bersama-sama. Juga tidak ada yang berubah pada hari wajibnya ia menafkahi bathinku setiap malam jum'at sesuai sunah Rasul.
(Bersambung)

29 June 2008

BmW Sayang !!!!


Tidak ada yang lebih membahagiakan saat kita mendapatkan sesuatu yang selama ini hanya menjadi sebuah rajutan angan dan tumpukan mimpi.


Seperti seseorang bermimpi mengendarai mobil BMW...

(jangankan memiliki, untuk mengendarainya saja sudah menjadi sebuah mimpi)


Betapa berharganya BMW...!!!


Sebuah Intermeso...
Peace....

PEREMPUAN KEUMALA

Lyric : Geunta Keumala
Arr : Iwan Fals

Ketika semua tangan terpaku di dagu
Ragu untuk memulai segala yang baru
Lirih terdengar suara Ibu
Memanggil jiwa untuk maju….

Dari tanahmu hai Aceh….
Lahir perempuan PERKASA
Bukan hanya untuk dikenang
Tapi dia panglima, Laksamana Jaya
Memanggil untuk kembali berjuang

Dia Perempuan Keumala
Alam semesta restui
Lahir jaya, berjiwa baja
Laksamana MALAHAYATI,
Perempuan Kesatria Negeri…

Tinggal kubur kini hening sepi menanti
Langkah-langkah baru tunas pengganti
Hai INONG NANGGROE !!!!
Bangkitlah berdiri
Ditanganmu kini jiwa aneuk negri....

Dinyanyikan dalam :

Konser “HIKAYAT RINDU TIGA MAESTRO”
Stadion Harapan Bangsa, Lhong Raya.
Banda Aceh, Nanggroe Aceh Darussalam
21 April 2007



“Sebuah bukti perjuangan… MORENK ORGANIZER;
Ahmad Mauladi, Terima kasih banyak “

KEUMALAHAYATI : Laksamana Perempuan Pertama di DUNIA


Sejarah menunjukkan, bahwa di ujung barat kepulauan Nusantara terdapatlah sebuah Kerajaan Islam Aceh Darussalam, yang tercatat sebagai satu dari lima kerajaan Islam terbesar di jamannya. Sebagai sebuah kerajaan yang terletak di ujung barat, maka Kerajaan Aceh Darussalam menjadi pintu gerbang pelayaran di Selat Malaka. Oleh karenanya tidak mengherankan bahwa Kerajaan Aceh Darussalam memiliki Armada Laut yang luar biasa kuatnya. Dalam perjalanan sejarah, pada masa pemerintahan salah seorang Sultan yaitu Baginda Sultan Alaiddin Riayat Syah Al Mukammil pada abad ke 16 - 17 tepatnya pada tahun 1589 hingga 1604, sejarah mencatat nama besar seorang pahlawan perempuan yaitu LAKSAMANA MALAHAYATI. Ia adalah seorang Laksamana perang perempuan yang memimpin lebih kurang 1000 orang pasukan Inong Balee (satu-satunya pasukan yang terdiri dari kaum perempuan) dengan gagah berani.
Menjadi menarik, karena Laksamana Malahayati bukan saja hanya Laksamana pertama di Indonesia, melainkan ia adalah seorang Laksamana perempuan pertama di dunia. Dalam sejarah perjalanan pengabdiannya pada Kerajaan Aceh Darussalam ia juga telah membuktikan keberaniannya dengan membunuh Cornelis De Houtman, seorang Belanda pertama yang menginjakkan kaki di bumi Nusantara. Tidak salah bila Laksamana Malahayati juga telah ditetapkan sebagai salah satu pahlawan perempuan Indonesia sebagai jasanya membela tanah air.
Dari sepak terjang pengabdiannya pada Kerajaan Aceh Darussalam, jelas Laksamana Malahayati memiliki andil besar dalam mempertahankan tanah tumpah darahnya. Selain Laksamana Malahayati, telah banyak dikenal pula pahlawan-pahlawan perempuan dari tanah rencong yang terkenal keberaniannya, seperti, Laksamana Muda Tjut Meurah Inseuen, Laksamana Leurah Ganti, Cut Meutia, dan seorang pahlawan perempuan yang sudah sangat dikenal yaitu Cut Nyak Dien. Selain itu juga pada masa abad ke 17 Kerajaan Aceh Darussalam telah pula diperintah oleh ratu-ratu perempuan yang sangat berpengaruh, yaitu ; Ratu Tajul Alam Safiatuddin Syah, Sri Ratu Nur Alam Nakiatuddin Syah, Sri Ratu Inayat Syah Zakiatuddin Syah dan Ratu Kumala Syah.
Berangkat dari perjuangan yang telah dilakukan oleh perempuan pada masa lampau, maka dapat dikatakan bahwa perempuan Aceh memiliki keberanian yang tinggi. Mereka membuktikan bahwa perempuan bukan mahluk lemah dalam mempertahankan cita-cita, agama dan hak asasinya, walaupun tidak melupakan tugas utama kodrat mereka sebagai ibu yang melahirkan anak-anak negeri penerus perjuangan. Hal inilah yang penting untuk disosialisasikan kepada perempuan pada saat ini, khususnya bagi perempuan Aceh dan bagi para perempuan di seluruh Indonesia pada umumnya. Dengan demikian jelaslah bahwa perjuangan perempuan telah dilakukan sejak jaman dahulu kala. Hal ini dibuktikan dari adanya sejarah yang bukan hanya untuk dikenang, tetapi dapat dijadikan sebuah semangat untuk membangun jiwa perempuan yang kuat dan berkarakter.

19 June 2008

KEMANA PERGIMU….PASTI KAN KEMBALI…..


Darahku kental dengan seni
Tetapi aku tidak terlahir dalam dunia seni
Oleh karenanya selama hidupku ini
Seni menjadi mati suri…………………..
Tetapi seni telah membawaku kesini
Menemukan lagi jati diri
Nyata harus disanalah aku berdiri
Setelah ribuan jalan kutapaki
Seni telah hidup kembali
Dari panjangnya mati suri .............................
Berdesir mulai dari lirih
Hingga teriakan histeris
Tertumpah dari hati yang pernah teriris
Seni yang pernah mati suri …..
Seni yang kukira tak kan pernah ada lagi
Kini mulai hidup kembali
Kini mulai merangkak lagi…………………….
Tunas-tunas seni yang pernah mati dalam diri
Mulai bergerak…. Mulai berontak…..
Dan menjelma dalam gerak jemari…. Melalui indahnya tari……


Medio 25 Januari 2005
08:30

“ Ketika Kurasakan lagi…
Napas-napas seni… hidup kembali


Halte


Di Indonesia ini apa sih sebenernya fungsi halte? Coba kita lihat perilaku bis, metro mini, kwk dan entah apa lagi namanya. Mereka bisa berhenti disembarang tempat dan disembarang waktu sesuai dengan perintah penumpang. Benar-benar menerapkan motto pembeli adalah raja. Enak juga sebenarnya ya jadi penumpang, bisa sesuka hati memberhentikan bis saat kita naik dan menyetopnya dimanapun kita mau, walaupun bukan di halte. Kan udah bayar? Sedaap….Sang angkot dengan gagahnya akan segera menepi bila kita sudah melambaikan tangan untuk menumpang, atau mengetuk langit-langit kendaraan kalau mau turun. Siiiuuuttt....langsung menepi, walaupun saat itu mereka sedang berada di jalur tengah. Diprotes orang? Emang gue pikirin… Ini lah kerasnya hidup di Jakarta meeeen…TST laaah, Simpel kan? Nah, kembali ke pertanyaan awal... apa sih fungsi halte?

18 June 2008

Hidup ini penuh warna

Hidup ini penuh warna, meski tak semua mesti bisa tergapai. Sudah pasti setiap orang ingin mencoba menikmati semua warna yang dia punya - meski tak banyak yang beruntung bisa mewujudkannya. Paling tidak, kita mesti mencobanya, selagi kita masih punya kesempatan untuk itu. Apapun hasilnya, tentu kita harus bisa menerimanya.
Blog ini ada, sebagai salah satu wujud dari keinginan, pada sebuah pencapaian itu, yang barangkali tertunda atau membentur sebuah realita.
Apapun itu, saya senang bila anda mau menjenguknya, kemudian bersapa, dan mungkin bisa terjalin sebuah pertemanan, atas dasar kesamaan hobi, hubungan bisnis, bertukar cerita, atau apapun - atas dasar niat baik. Itu saja
Salam